TERBELENGGU SUMPAH
Rieska Praditya Ernaningtyas
Musim semi sepertinya akan tertunda, dan bunga bunga takkan berubah
menjadi putik. Buah tak sempat dipanen, bibit padi tak akan disemai.
Benih akan mengering jadi serbuk, air beku tak sanggup mengaliri. Waktu
patah dua menjadi kerontang panjang.
Bumi Padang mengalir dan
bergerak, patuh di tangan manusia. Tak menjerit dan tak mengeluh. Hanya
ketika begitu sarat beban yang dipanggulnya, atas mimpi anak manusia
yang tak pernah puas, dan ketika tempat
mengaji serta rumah matipun disulap jadi gedung tinggi. Kala itulah
Ranah Minang menggeliat sakit, menggeleng kuat tanda mulai gerah dengan
coreng moreng di wajahnya, dan luluh lantaklah sebagian mimpi itu terban
amblas ke dasar alam. Sebentar pantai sepi maksiat, tapi setelah itu
terlupa kembali. Merajalelalah kebutuhan, tersungkurlah kebenaran.
Maksiat memang nikmat bila di cicipi.
Siti Rianah banyak
belajar dari pemikiran dan tulisan orang-orang di sekitarnya, tapi
pembelajaran tak membuat semuanya lebih baik. Rianah hanya butuh
diceraikan dari sepi dan sunyi. Apakah yakin bisa atau tidak
melakukannya, tanpa pasti atas pergi dan ditinggalkan. Rianah tidak
berani menjawab pikirannya sendiri, lantunan duka masih sibuk membenahi
sekarat harapan. Sesungguhnya pikiran telah ikhlas berpisah, tapi hati
masih berkata lain. Tetap ada yang bersisa, masih ada yang tertinggal.
Itu menjadikan semua kekuatan berkurang, padahal Rianah sangat pasti
kalau hidupnya akan menawarkan perjalanan yang makin rumit dan berliku.
Bila di angkasa bulan sudah tak terlihat, wajar saja. Hujan begitu
deras tercurah dari langit, dan alasan yang lainnya karena memang sunyi
ini adalah tengah malam. Tak ada yang aneh, bila mata takkan bertemu
kepakan gemulai burung burung bersayap perak, atau sekedar lintasan
burung besi dengan ekor bertuliskan huruf warna warni. Ini tengah
malam, kalbu Rianah berbisik, mencoba mendamaikan hati. Tapi mata masih
sulit dipejam, banyak dari tanda tanya kehidupan yang tak mampu
dicernanya. Hanya tengah malam yang peduli pada sepi, hanya sendiri yang
mengerti, betapa resah Rianah telah menghunjam sampai menggores nadi.
“Berapa lama aku menunggumu, itu tak penting” bathin Siti Rianah,
perempuan itu mengusap buliran yang jatuh dari kelopak matanya. Ia
beranjak, meninggalkan jendela kayu borneo bercat hitam. Ukiran dinding
yang juga terbuat dari kayu disapu dengan warna merah, hijau, dan
kuning, Ruangan itu kehilangan objek, saat Rianah meninggalkan
jendela, yang dibiarkannya terbuka.
Satu setengah tahun setelah
meninggalnya Uniang Alaimah, karena radang selaput otak. Rianah
meraung, merasa gamang. Mandehnya itulah yang membesarkan dia, hingga
seperti sekarang. Yang kata orang Minang Bak Nak Gadih Jolong
Gadang*), berparas ayu, bermata sayu. Bibir bagaikan “limau sauleh”
Tipis tapi manis dilihat dan dipandang. Tubuh Rianah mungil dan sintal,
dasar tumitnya merah jambu, ketika tersentuh lantai. Ujung kuku jemari
tangan perempuan itupun runcing dan semarak dihiasi inai bewarna merah
tua kehitaman. Rianah tak mengenakan kutek pewarna kuku, seperti yang
selalu dipakai gadis metropolis. Di kampung tak lazim anak perempuan
mengenakannya, karena akan menghalangi udhu dan tidak syah untuk
menegakkan sholat. Hari Rianah satu persatu luruh menjadi derai
airmata. Pertanda apakah? Perempuan itu tak tahu. Yang dia tahu saat
ini, dirinya sedang tersandung dengan banyak permasalahan kejiwaan.
Pekuburan Mandeh Alaimah tak jauh dari rumah yang kini masih
ditinggalinya. Hanya perlu menuruni jalan setapak menuju sungai kecil di
belakang rumahnya. Kanan kiri jalan setapak pohon pisang lidi, tumbuh
meranggas. Kemarau kali ini memang lumayan panjang. Kalau hanya itu
saja, mungkin hati perempuan itu tak sedih benar. Beberapa saat setelah
itu, Rianah mendengar kabar, tanah warisan di kampungnya kali ini tak
hanya sekedar tergadai, bahkan sudah pula laku dijual adiknya.
Pernikahan lelaki garang, pemberang, bernama Sutan Bagindo dengan
seorang perempuan tanah seberang, membuat kehidupan saudara lelaki
Rianah itu luluh lantak. Terlalu patuh dan sayang Sutan Bagindo
dengan Teteh Lilis, perempuan semok berkulit selembut beludru. Apapun
kata istrinya, tak pernah dapat ditolak Gindo. Lelaki bertubuh legam,
berkaki besar, bertangan kekar itu, pasrah menyerah bagai kehilangan
taring, bila permintaan Teh Lilis mulai merayu, membelai-belai lembut
ujung telinganya. Sesulit apapun, semustahil apapun keinginan
istrinya, Gindo selalu berusaha memenuhi. Akhirnya yang terdengar sampai
ke rumah Siti Rianah hanya kabar. Selalu kabar buruk yang berhamburan,
menjelajahi waktu ke waktu. Dari penggadaian tanah, hingga akhirnya
terjual sudah. Bahkan rumah pusako-pun tak luput dari incaran perempuan
seberang bernama Teh Lilis. Kabarnya lagi di tanah kelahirannya nun
jauh di sana, pusaka tinggi keluarga Rianah, telah pula berganti menjadi
singasana megah, tempat Lilis mengukiri kehidupannya, setelah hengkang
dari Bumi Minang. Gindo tidak mendapat tempat, dia disingkirkan dengan
kejam. Adiknya yang tak kuasa menjengut cinta dari hatinya pada
perempuan yang dipanggilnya istri itu, putus asa, hilang gairah hidup,
kala nyata-nyata dicampakkan, setelah tak ada satu tumpakpun tanah yang
akan digadai, tak sebuahpun rumah yang akan dijual. Dunia adik
lelakinya itu berakhir di atas jalanan berdebu. Dengan sekali loncatan
dari salah satu jembatan tinggi kota besar nun di tanah seberang, Gindo
menutup perjalanan berkehidupannya. Tak ada yang bertanggung jawab,
apalagi mengaku bertanggung jawab, ketika semua terjadi. Mungkin
memang sudah kehendak Illahi, tapi cara pergi Gindo, setelah apa yang
dilakukan lelaki itu pada kehidupan Rianah, tetap membuat pelupuk mata
perempuan itu sembab. Ia masih menyayangi saudara seperutnya itu. Bila
dikupaspun tujuh lapis kulit di tubuhnya, Gindo tetap tidak akan menjadi
orang lain. Tali darah tak bisa terputus begitu saja.
Derita
Gindo, ternyata bagai kutukan sampai pula padanya. Rianah jatuh cinta,
tapi cintanya tak jatuh di Ranah Bumi Bundo Kanduang. Asam di gunung
ikan di laut, dalam kuali bertemu juga. Hati Rianah telah dicuri lelaki
tanah seberang, turunan berkebangsaan Bugis, yang menetap di Pulau
Jawa. Hanya burung besi yang terbang tinggi mampu menyuakan rindunya
dalam hitungan menit, bila hendak berjumpa. Lebih satu hari perjalanan
ditempuh, bila raungan mobil yang dipakai untuk menjemput mimpi
Rianah, yang memang dipisahkan oleh gunung dan lautan. Luas terbentang
semua jalan alam, saat berat sakit rindu melecut-lecut dada perempuan
itu. Tapi dunia maya mendekatkannya. Memperkenalkan Lambose pada
Rianah. Dari sosok yang tak pernah nyata, dari hanya sekedar berbagi
goresan, dan cerita. Teknologi membuat Minang Kabau kehilangan cinta
salah satu daranya. Hingga tak terlihat lagi tampannya Ajo Jamhuri,
atau gagahnya Uda Syamsul Bahri. Bahkan Timbunan harta Sutan Lembang
Alam yang berleak*). Tak hanya di Tanah Datar, ruko dan tokonya
berjejer di pasar ateh Bukittinggi, hilang sudah pesona semuanya oleh
sosok Lambose. Rianah mabuk, hatinya hanya tertuju sayang pada Lelaki
tanah seberang, yang telah beranak berbini itu.
Itu pangkal
mulanya. Awal Rianah berseteru dengan mandeh Alaimah. Suatu hari
perempuan itu malah pernah berjalan kaki dari Lapai sampai ke Simpang
Haru, karena di usir mandehnya. Rianah dikatai anak tak membalas budi,
setelah disekolahkan, sampai mengecap pendidikan sebagai mahasiswi di
perguruan tinggi bergengsi, yang tak sembarang orang bisa kuliah di
sana. Tapi perjuangan mandehnya itu ternyata tak dihargainya, Rianah
malah menjatuhkan pilihan hati pada lelaki berbini. Tak tanggung
tanggung, tiga orang anakpun telah pula terlahir sebagai bukti, kalau
lelaki itu memang mencintai istrinya, telah membangun kehidupan lain,
lama sebelum Rianah masuk dan merasuk dalam kehidupan cintanya.
Lepas menyelasikan kuliah di Universitas Andalas, mandehnya jatuh
sakit, tak main-main sakit yang dideritanya. Sakit parah, radang selaput
otak. Rianah menyelesaikan "lari"-nya, dan kembali ke rumah mandeh
Alaimah. Ia mendapati tubuh mandehnya merenta dengan cepat. Kurus dan
cekung kelopak matanya, tirus berkerut pipi wanita yang biasanya gemuk
bergelambir itu.
“Maafkan saya Mandeh, maafkan saya” Bisikan Rianah dibalas senyum kering dari bibir Alaimah yang pucat.
“Sudah pulang kau Rianah”
“Iya Ndeh, saya sudah kembali”
“Jangan kau pergi lagi, aku tak punya siapa-siapa selain kau”
“Iya Ndeh, saya tidak akan pergi lagi”
“Hidupku tak akan lama lagi Anah, berjanjilah kau untuk tidak melanjutkan cinta haram dengan si Lambose itu”
Rianah menyembunyikan luka hatinya mendengar nada keras dari suara
lirih Mandehnya. "Tanpa kau mintapun aku akan meninggalkan Lambose
Mandeh, tak tega aku melihat kondisimu sampai begini" Jerit hati
Rianah.
“Mau kau berjanji buatku, Anah?”
“Iya Ndeh, maafkan saya”
“Jangan kau tinggalkan Minang, untuk mengejar sesuatu yang tak pasti.
Kau lihat nasib Gindo adikmu. Yang silau dengan kecantikan gadis negeri
seberang. Mati dia Anah!”
“Anah”
“Ya Ndeh”
“Kita tidak
tahu tabiat mereka, maksud mereka, alam lingkungan mereka, pendapat
mereka. Asal-usul mereka. Jangan kau kira orang tua seperti aku ini
menindas anak-anaknya. Kami hanya ingin melindungi, dengan apa yang
kami anggap benar, dan menjadi kebenaran yang bertahun-tahun dipakai
sebagai aturan di keluarga kita”
“Iya Ndeh”
Mandeh Alaimah
menutup mata, dari ujung kelopaknya mengalir butiran, laksana embun
jatuh di atas tanah retak-retak. Pipi tirus itu beku. Bibir yang
biasanya ramai berceloteh, kini bungkam. Mata mandeh Alaimah sudah
terkatup rapat selamanya.
Rianah memang tak meninggalkan ranah
Bundo Kanduang. Minang tetap sebagai bumi tempat dia berpijak. Padang
juga selalu menjadi alamat kemana lelahnya beristirahat. Pantai Purus
dengan payung warna warni yang semarak, tetap menjadi santapan matanya
dikala sore hari, saat Rianah selesai bekerja dan hendak pulang ke
rumah. Jalan setapak sepanjang danau buatan, dan rumah berdinding kayu
berjendela warna hitam dengan dinding berukir warna warni. Rianah telah
menghuninya sendiri lebih dari dua belas tahun. Tidak ada lagi Lambose,
tidak ada Gindo dan Teh Lilis, tak ada Mandeh Alaimah. Di rumah ini
hanya dia sendiri yang berkuasa, bebas menuangkan pikiran sepinya,
leluasa meraungkan tangisnya.
Rianah menulisi blognya,
beberapa tulisan sudah naik cetak. Tadi juga puisinya tentang “Pekuburan
Budaya Beku Di tangan Generasi Muda” juga telah diterbitkan oleh
koran budaya lokal. Aku hanya ditakdirkan menulis di sepanjang sisa
hidup, bisik hati perempuan itu. Rianah mengukir sebentuk senyum. Pipi
penuhnya kemerahan karena musim panas masih mencengkramkan gerah,
walaupun malam sudah melewati puncak menuju dini hari. Rumah kayu itu
tak ber-AC, tak berkipas angin. Itulah mengapa Rianah selalu membiarkan
jendela tetap terbuka, tak siang ataupun malam. Terlalu egois rasanya
bila isi rumah ini hanya aku, biarlah udara masuk, tak apa angin turut
ikut. Datanglah. Karena hanya alam dan malam yang setia dan tak berbagi
ketika aku butuh memiliki. Kaki Rianah menjauhi bibir jendela, tumitnya
merah jambu kala menyentuh lantai kayu yang berdenyit, salah satu paku
di lantai kayu itu lepas hingga meninggalkan bunyi berkerinyit saat
terinjak. Hujan di luar masih lebat. Perempuan itu banyak diam menjalani
kehidupan, hanya jari dan pikirannya yang bicara, itupun sekedar buat
menyambung kehidupan yang terus berlanjut.
Dari rambut Rianah yang lebat terurai kala dia tidurkan lelah, dari matanya yang terpejam, Rianah selalu memimpikan pertemuan.
“Apa kabarmu bidadariku” Lambose membelai rambut Rianah hingga tengkuk. Rianah tengadah. Ujung matanya mengalirkan rindu.
“Mengapa selalu menangis” Lambose berbisik kembali. Rianah mencoba mengukir senyuman.
“Aku merindukan berjumpa”
“Kita sudah berjumpa”
“Aku rindu pertemuan denganmu, Tuanku”
“Kita sudah bertemu” Lambose tersenyum, Rianah juga
“Tak mengerti Tuan rupanya, pertemuan ini dibelenggu sumpah. Rianah ini tak akan bisa pergi menjelang Tuan ke tanah seberang”
“Kenapa”
“ Aku telah bersumpah dengan Mandeh, tak akan lagi mendurhaka”
“Tapi Mandeh tlah pergi”
“Janji tak mati bersama jasad”
“Kau memang perempuan setia Rianah”
“Aku mencintaimu”
“Ya Aku juga mencintaimu”
“Cinta ini yang memaksaku untuk setia”
“Maafkan aku Rianah, tak bisa mewujudkan mimpimu, mimpi kita”
“Aku bangga masih punya mimpi, karena di sini aku leluasa dengan opini dan pendapat”
“Apa itu”
“Aku bisa menjadikan semua alam tunduk dengan mauku”
“Selebihnya?”
“Aku akan bisu dalam menyelesaikan penantian menunggumu Tuan”
Perempuan merindu, menangis diam-diam. Aksara jiwanya berlompatan, dari
hitungan alam atas waktu yang terus bergulir. Bahkan saat Padang
menenggelamkan mimpinya, saat Bumi Minang melelapkan jasadnya. Rianah
menyimpan rindu dan cinta, menimbunnya jadi satu, ketika pusara dari
tanah terban Alam Minang Kabau menidurkan dirinya selamanya.