Tentang Perasan Bagian XXII

BAGIAN XXII

          Pohon cemara tumbuh berjejer, pokoknya yang tinggi menjulang menghalangi sinar bulan jatuh di hamparan rumput hijau buram. Sinar lampu pun tak cukup memberi cahaya pada alam hingga ekspresi wajah Adisya yang pias tak terlihat. Sebotol air mineral berukuran sedang yang diulurkan Syam segera disesapnya sampai rasa mengganjal di tenggorokan berangsur berkurang dan hilang.
“Maaf mengagetkanmu.” Wajah Syam  prihatin saat mengucapkan kata-kata itu. Adisya mengibaskan tangan sebagai tanda kalau dia tidak mempermasalahkan.

Rupanya  mereka  sudah saling  mengenal?

          Pantas saja lelaki ini begitu antusias memandang Adisya. Hera mencoba mencerna kejadian yang baru saja terjadi.
“Hera kenalkan ini Syam.” Adisya  menyentuh lengan sahabatnya yang terlihat bingung.

          Hera menilai-nilai dengan hati manakala lelaki itu  mengulurkan tangan. Wajah oriental yang sempurna. Kematangan usia justru makin memperkuat guratan kharismatik diwajahnya. Genggaman tangan Syam begitu kokoh dan bersemangat saat mereka saling berjabatan. Meski terkesan pendiam, tapi cahaya gemerlap terpancar diwajahnya menandakan kalau ia sangat menyukai pertemuan ini. Sebaliknya Adisya terlihat tak antusias, cara berdiri dan senyumnya terlalu dieja, hal itu kian menguatkan dugaan Hera.
“Masih suka joget?” Syam kembali menawarkan kesiapannya menemani Adisya untuk ikut bergabung dengan  pasangan yang tampak asyik mengikuti irama musik.
“Tidak terima kasih, Uda. Kelihatannya yang turun anak muda semua.” Adisya tergelak.
“Memangnya kita sudah tua?” Syam menyeringai, ketika mengatakannya.
“Tua sih tidak, cuma di bilang muda pun juga sudahjauh.”  Hera menyambar guyonan Syam.

           Ada sesuatu yang disembunyikan Adisya. Tentang sebuah hubungan yang tak biasa yang pernah terjalin di antara mereka sebelumnya? Apakah sebuah hubungan yang spesial? Atau ada pengalaman buruk yang membuat sahabatnya itu menjadi trauma? Hera bisa berasumsi begitu karena Adisya tidak pernah terlihat  sekaku ini, biasanya serumit apa pun situasi dan kondisinya, ia tetap terlihat konfiden.
“Uda…!”  Seorang wanita berhijab hijau pupus  berjalan mendekat. Seruannya membuat semua berpaling.
“Adisya yang mana , Uda?” Tanyanya lantang.
“Adik mencari saya?” Adisya segera menjawab.
“Oh, jadi Mbak yang bernama Adisya?” Senyumnya merekah.
“Ya, saya Adisya. Adik siapa?” Adisya  balik bertanya.

          Syam terlihat jengah manakala lengannya digamit setengah paksa oleh Rachma, dengan sopan ia kemudian memperkenalkan istrinya. Hera melihat Adisya  berangsur membaik, sikapnya  lebih terbuka setelah mengetahui kalau Rachma adalah istri Syam, ia bahkan mengundang  keduanya untuk berkunjung ke villa. Mereka  punakhirnya ngobrol bersama menghabiskan malam sambil menikmati kacang rebus panas dengan secangkir besar bandrek yang wangi dan nikmat. Adisya sudah menemukan  percaya dirinya  kembali malam ini.
“Jadi Mbak dulu pernah dinas di Padang?” Rachma meneliti wajah wanita di depannya. Masih muda dan sangat menarik, walau tidak berkulit putih, tapi rona feminin terpahat sempurna pada dirinya. Adisya tidak cantik, tapi sulit mencari cela di lekuk dan tekstur wajahnya.
“Betul, Dik. Saya baru lima tahun pindah ke sini.”
“Bandung memang  sangat indah.” Pembicaraan yang ringan, bathin Hera.
“Bukan sekedar indah, kota ini juga penuh dengan jejak kenangan sebelum dan sesudah pergerakan kemerdekaan.”
“Padang juga begitu, banyak tokoh yang terkait pergerakan kemerdekaan berasal dari sana, tapi tetap kalah nuansa alamnya dengan Bandung.”
“Dik Rachma asli Padang?” Adisya menyodorkan piring berisi kacang rebus panas, manakala  dilihatnya piring di depan Syam sudah kosong.
“Aku asli Bukittinggi, Mbak. Kota dingin yang hampir mirip dengan Bandung.”
“Kelahiran di sana.”
“Iya betul Mbak. Kalau Mbak sendiri kelahiran mana?”
“Jogyakarta.”
“Pantas saja Mbak sangat ayu.” Adisya tergelak dinilai secara terbuka oleh Rachma.
“Kalau dilihat dari raut wajahnya, tentulah sekarang Mbak mulai memasuki usia  kepala tiga, betulkan?” 
“Aku…?” Adisya menunjuk hidung.
“Apakah salah?” Rachma meringis.
“Aku empat puluh delapan, akhir tahun ini.” Jelas Adisya. Hera melihat Syam terlalu sibuk dengan kacang rebus di piringnya, mata lelaki itu tak lepas dari layar kaca yang sedang menyiarkan pertandingan keras smackdown. Ia pun kemudian memilih menyesap cangkir ke dua bandrek panas yang mampu mengalirkan hangat ke tubuhnya yang dingin. Percakapan Adisya dan Rachma sepertinya didominasi oleh mereka berdua saja.
“Mbak sudah empat puluh delapan?” Kembali Rachma bertanya, raut wajahnya setengah tak percaya.
“Kok kaget begitu?”
“Mbak awet muda, padahal beda usia dengan Uda tidak terlalu jauh.” Rachma melingkarkan tangannya ke pundak Syam yang terlihat kaget diperlakukan seperti itu di hadapan yang lainnya. Hera tak dapat menyembunyikan tawa, manakala  Syam terpaksa menyerah pada sikap kolokan  sang istri.

           Lewat tengah malam ketika Syam pamit, uluran tangannya disambut Adisya dengan senyum penuh pengertian. Ia tahu karakter Syam, karena tidak sebentar waktu yang mereka lewati dalam mengayuh biduk bernama rumahtangga. Rachma tentulah pilihan keluarga, tapi mungkin wanita seperti inilah yang mampu mengimbangi “ke-diam-an”  Syam. Bisik hati Adisya.
“Senang bertemu denganmu.” Ucap Syam.
“Aku juga. Akhirnya kita dipertemukan kembali oleh Tuhan dalam suasana yang jauh lebih baik.” Senyum Adisya memang manis, Syam masih merasakan sebuah perasaan nyaman melihat senyum itu.
“Senang mengenalmu, Rachma. Jaga dan cintailah Uda dengan baik.” Rachma tidak tahu kenapa dia menyukai perempuan bernama Adisya ini. Apakah karena hatinya menyatakan kalau Adisya bukanlah musuh? Wanita itu hanya masa lalu,  bukan momok yang berpotensi merusak kebahagiaan yangbaru saja dibangunnya bersama Syam. Setidaknya  Adisya tidak membangkitkan rasa cemburu yang tadi siang  sempat melecut-lecut perasaan Rachma.
         
 ======OOO=======


“Dia mantan suamiku.” Hera menutup daun pintu dengan perlahan, saat tanpa ditanya Adisya mengatakannya.  Seketika tubuhnya lemas, nyaris merosot mendengar pernyataan itu. Wajarlah semua reaksi yang diperlihatkan Adisya malam ini, karena Hera sendiri tak bisa membayangkan harus bersikap bagaimana bila hal yang sama terjadi padanya. 

Oh, Adisya…

          Tidak semua perempuan mampu bertahan ketika mengalami apa yang tengah kamu jalani sekarang, di saat engkau ikhlaskan  Safta kembali kepada keluarganya, kemesraan mantan suami dengan istri barunya malah terpampang pula di depan mata. Hera menahan diri untuk tidakmemeluk  Adisya, dalam diam dia mencoba mengalirkan ketegaran. Dalam bungkamnya Hera memberikan sinyal kalau semua akan baik-baik saja. Karena Tuhan tahu apa yang terbaik buat umatnya.
“Jangan cemas, aku sudah lama melupakan Syam.”  Adisya tersenyum melihat diamnya Hera. Ia memang beruntung memiliki sahabat yang begitu mengerti hatinya.
“Aku percaya, kamu memang perempuan hebat.”
“Tahukah kamu Hera?” Adisya memandang bulan dari jendela.
“Aku sudah tidak tahu lagi, apa yang mesti aku lakukan.” Bisiknya serak.
“Kamu bisa curhat padaku bila mau.” Hera menatap sahabatnya dengan seksama.
“Mungkin aku memang harus sendiri.” Adisya tergelak.
“Sendiri tidak buruk, asal jangan merasa sepi. Kamu masih punya kami.”
“Ya, aku punya banyak sahabat dan saudara. Kemaren aku memutuskan resign, karena berencana pulang ke rumah Ibu.” Suara Adisyas setengah berbisik.
“Lalu, kenapa berubah fikiran?”
“Karena melihat kondisi anak Safta, Dia orang baik, kembali ke istri dan anak-anaknya bagiku bukanlah hal yang bisa menyakiti perasaan. Safta melakukannya demi nyawa buah hatinya sendiri.” Adisya berbalik menatap penuh pada Hera.
“Kamu masih mencintai Safta?” Hera bertanya, pelan suaranya.
“Aku tidak mencintai Safta dengan perasaan menggebu layaknya orang kasmaran. Aku sayang padanya, dan makin sayang karena tahu dia lelaki bijaksana. Tidak mengabaikan orang-orang yang membutuhkannya hanya demi pemuasan diri sendiri.”
“Tuhan akan memberikan kamu rasa bahagia yang utuh atas kebaikanmu, Adisya.” Ucapan Hera membuat Adisya terharu. Hatinya mengamini  bait-bait kata yang terdengar begitu menentramkan.
“Sudah saatnya tidur.” bisiknya.
“Iya, mari kita beristirahat.” Hera mengikuti langkah Adisya menuju ke kamar.

          Lalu malam menghantarkan lelap pada setiap  mata yang masih terbuka. Lelah menidurkan diri dengan sempurna. Separoh bulan tertutup mega kelabu kehitaman, sinarnya yang buram menjadi perhiasan peraduan. Begitulah alam memberi manusia kesempatan memulihkan diri hingga tubuh beristirahat dalam damai yang menentramkan.
                                   
 ====OOO====


          Sudah hampir dua jam Histo duduk di ruangan itu, dan sudah dua orang pembicara yang tampil menyampaikan informasi seputar perkembangan bisnis yang dikelola bersama antara perusahaan dengan para mitra binaannya. Intinya tak lain mengenai  manfaat dan keuntungan bagi ke dua belah pihak bila kerjasama antara mereka tetap terjalin. 

Kemana  perginya wanita  itu…?

          Sampai selesai makan siang pun ia tetap tidak menemukannya.  Histo tersenyum ketika Safta rekan sekerja Adisya menghampiri.
“Apa  kabar Pak Histo.” Safta menjabat tangannya dengan kuat.
“Baik. Presentasi Bapak tadi sangat menarik.” Safta tergelak menanggapi pujian itu.
“Mudah-mudahan  bukan cuma menarik buat didengar, Pak.  Saya masih berharap Pak Histo tetap setia bermitra dengan kami.”
“Sejauh masih sama-sama menguntungkan kenapa tidak.”  Safta meraih pundak lelaki berkemeja batik itu, beriringan mereka ke luar ruangan  menuju musholla.
“Bagaimana kabar keluarganya, Pak.”
“Ehm.” Histo tidak siap dengan pertanyaan yang dilontarkan Safta. Melihat reaksi rekan bisnisnya, Safta merasa sedikit heran. Histo segera tersenyum mencoba terlihat baik-baik saja.
“Keluargaku mengalami musibah, Pak.”
“Musibah?” Rasa bersalah merasuki hati Safta, merasa sudah lancang bertanya. Tapi sekali lagi Histo memberi isyarat bahwa ia tidak keberatan.
“Istriku meninggal dalam musibah itu, sementara anak lelakiku yang besar sampai saat ini belum pulih, sebelah matanya masih butuh donor kornea.”
“Apa yang terjadi.” Safta menghentikan langkahnya, Histo pun demikian.
“Tebing  di belakang villaku runtuh saat kami liburan di sana.”
“Astagfirullah…” Safta tak menduga  kejadiannya demikian buruk.
 “Semuanya  sudah takdir.”
“Mudah-mudahan istri Bapak mendapat tempat mulia di sisi Nya.”

          Percakapan mereka terputus saat kumandang azhan memenuhi ruang musholla.  Histo yang beranjak terlebih dahulu menuju tempat berudhu, sementara Safta menyempatkan diri menurunkan kain pembatas antara shaf lelaki dan perempuan, sebelum kemudian menyusul ke tempat udhu. Ketika Muazin mulai mengumandangkan iqomah, Safta baru memasuki Musholla, ia melihat Histo berdiri  satu shaf di depannya. Hingga selesai melaksanakan Sholat dan para jemaah satu persatu meninggalkan gedung berbentuk trapesium itu,  Histo masih terlihat duduk dengan kepala tunduk. Lewat sudut matanya Safta melirik lelaki yang  tengah khusuk berdo’a itu.  Suatu waktu dulu Adisya pernah begitu takut padanya,  hingga dialah yang mencarikan kamar hotel sebagai tempat pelarian.

Kenapa…?  Apakah artinya suatu saat, Adisya pun pernah begitu mencintainya…? 

          Sebagai sesama lelaki Safta menilai Histo termasuk pengusaha yang ulet. Kegigihannya  dalam berusaha  terlihat dari hasil kerjanya yang kian harikian mapan. Safta kemudian memikirkan sesuatu yang tiba-tiba melintas di  kepalanya, sebuah kebetulan yang tidak biasa. Benarkah dibalik semua kejadian selalu ada rencana dan campur tangan Tuhan? Bahwa antara peristiwa dengan peristiwa  lain tak pernah berdiri sendiri, selalu berkaitan satu dengan lainnya? Lalu benarkah semua yang terjadi dan dialaminya sekarang mempunyai keterkaitan yang berdampak pada kisah dan perjalanan hidup  orang-orang disekitarnya juga…?

          Ketika Safta menceritakan soal pertemuannya dengan Histo kepada Adisya manakala mereka bertemu,  reaksinya ternyata tak seperti yang diduga. Adisya bersikap biasa saja, sama sekali tak ada riak di wajahnya.
“Kasihan sekali,  anak-anaknya masih kecil.” 
“Begitulah yang namanya takdir. Tak satu pun dari kita tahu apa yang bakal terjadi. Semuanya adalah kuasa Tuhan.”
“Bila bertemu lagi, sampaikan rasa turut berdukacitaku kepadanya.” Suara Adisya yang datar, seolah menutup  celah bagi Safta untuk melanjutkan obrolan.
“Adisya.”
“Ya.”
“Boleh menanyakan sesuatu?” Adisya mengerutkan dahi.
“Soal apa?” Ia balas bertanya.
“Apakah kamu masih mencintai Histo?” Sebentar Safta melihat perempuan itu diam seperti berfikir, kedua alis matanya diangkat lebih tinggi dari biasa.
“Aku sudah tidak memikirkan soal itu lagi.” Jawabnya  kemudian.
“Maksudmu?” Adisya tergelak ketika merasa Safta mulai  nyinyir.
“Apakah  mesti aku yang harus menjadi  pendamping  pengganti buat Histo?”
“ Ya, tidak begitu juga.” Adisya tergelak, melihat raut wajah Safta.
“Setidaknya ketika kamu mengikhlaskan aku kembali kepada keluargaku karena menurutmu mereka lebih membutuhkan kehadiranku, kamu pun bisa melakukan hal yang sama.” Kali ini Adisya tidak tertawa, wajahnya serius dan tatapannya dalam.
“Aku bukanlah  satu-satunya  orang  yang disediakan Tuhan buat Histo, Safta.”
“Tapi…”
“Bila dulu aku pernah mencintainya, bukan berarti aku akan bersedia mencintainya hanya karena harus berhenti mencintaimu.”  Sekejap Safta jengah mencerna kata-kata Adisya, lalu sambungnya.
“Setidaknya kamu sudah tahu karakter Histo seperti apa.”
“Histo orang yang baik, tapi bukan berarti dia kemudian harus denganku.”
“Maaf, aku tidak bermaksud memaksamu.” Pungkas Safta akhirnya.

          Kemudian sepi menjeda di antara mereka. Adisya membereskan beberapa berkas pekerjaannya, sementara Safta hanya duduk sambil memainkan ujung dagu.
“Maafkan  aku.” Safta bangkit berdiri, ia berjalan mendekati Adisya yang masih terlihat sibuk berbenah.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Wajah Adisya terlihat jernih ketika mengatakannya.
“Jangan lupa datang minggu depan, kami sangat mengharapkan kehadiran dan doa restumu.”
“Oke, aku pasti datang.”
“Pasti…?” Mereka tertawa dengan reaksi masing-masing.
“Insya Allah, asal sehat aku akan datang.”  Ralat Adisya.
“Salam buat Lita dan anak-anak.” Setengah berteriak Adisya mengatakannya, Safta yang hampir menghilang di balik pintu, memundurkan  langkah dan berpaling.
“Siap Adisyaku sayang.” Lelaki itu terbahak saat Adisya mencibir ke arahnya.

BERSAMBUNG..............