BAGIAN KE XXI
Pagi itu Adisya menemukan selembar surat mutasi tersampul rapi di atas meja kerjanya. Ia dipindahkan ke bagian lain?, sesungging senyuman tersamar di bibirnya ketika selesai membaca .
Kenapa bisa kebetulan begini…?
Mungkin ini awal yang baik? Bisik hati Adisya. Setelah merenung sebentar, Adisya akhirnya memutuskan mengambil cuti sebelum memulai aktifitas di tempat tugas yang baru, sekalian untuk meredakan kecamuk emosi yang akhir-akhir ini datang bertubi. Ia memikirkan satu tempat yang rasanya cukup menarik. Kali ini Adisya tidak sendiri, Hera ikut menemaninya.
“Ada rencana liburan, ya.” Hera menghampiri Adisya yang baru saja selesai mengetik selembar surat permohonan cuti tahunan.
“Mau ikut?” Adisya melambaikan surat di tangannya.
“Boleh, kebetulan suamiku lagi di Banjarmasin. Rencananya berapa hari?”
“Seminggu, tapi buat liburan cukup tiga hari saja.” Adisya tergelak, melihat antusias Hera.
“Kemana?” Wanita itu menyesap minuman kotak yang dibawanya.
“Pengalengan.” Jawab Adisya.
“Oke, setuju.”
“Berangkat kapan?” Tanya Hera lagi.
“Besok atau lusa. Secara lisan sudah disetujui, ini aku mau mengantar suratnya ke bagian SDM.” Hera membaca berkas mutasi Adisya yang tergeletak begitu saja di atas meja.
“Adisya.” Katanya.
“Ya.”
“Ada untungnya juga kamu dimutasi ya.” Adisya mengerutkan dahi, mendengar ucapan sahabatnya.
“Kenapa?” Tanyanya kemudian.
“Kita jadi bisa liburan bareng, tanpa mengganggu kelancaran dinas.” Hera tertawa, Adisya juga.
“Tapi otomatis kita jadi beda ruangan.” Hera mengangkat alisnya.
“Tapi tidak beda gedung, kan?”
“Beda lantai saja.” Balas Adisya.
“Perbedaan yang menguntungkan, buat saat ini.”
“Semoga ke depannya benar-benar banyak keberuntungan.” Pungkas Adisya.
“Maksudmu?”
“Aku mulai capek.” Hera menangkap nada sedih dalam kalimat sahabatnya.
“Mungkin Pak Mano ngeliat kalau kamu mulai capek kerja bareng dia, apa lagi sampai ngepak-ngepakin barang segala. Akhirnya? Ya... mutasi, deh.” Hera berusaha menetralisir keadaan.
“Ngaco amat.” Adisya mencibir, gelak pun pecah di ruangan yang masih sepi itu.
====OOO====
Bangunan Tua berarsitektur sunda yang ada di tengah perkebunan teh malabar itu sudah termakan usia, genteng bangunan terlihat merah kusam dan berbercak hitam. Dari kejauhan jendela kaca berbentuk kotak-kotak kecil yang sangat banyak tampak berkilau. Sepertinya cahaya matahari akan bebas masuk melewati jendela kaca kotak-kotak yang terlihat menempel di segala penjuru.
Bangunan ini berada di tengah-tengah halaman yang luas tanpa ada bangunan lain. Disekitarnya dataran hijau penuh bunga warna-warni khas kota kembang. Adisya mengarahkan kamera dan mulai membidik objek di depannya beberapa kali. Ia tadinya tertarik dengan atap bangunan yang terlihat sangat tinggi, tapi ternyata setelah berada di dalam, plafon bangunan tidaklah setinggi yang diperkirakan. Dinding bangunan terdiri dari dua bagian. Bagian bawah terbuat dari batu kali berwarna hitam dengan nat berwarna putih, sedangkan bagian atas hanya tembok biasa diberi warna kuning muda lebih cendrung ke warna krem.
Adisya sudah jarang sekali melihat bangunan tua berarsitektur sunda seperti ini, makanya ketika menatap bangunan tersebut suasana tempo dulu benar-benar terasa.
Inikah Wisma Malabar ? kantor Administratur perkebunan sekaligus rumah tinggal Karel Albert Rudolf Bosscha yang terkenal dermawan dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi itu?.
Hati Adisya mengagumi tempat dan sosok penghuninya yang menurut sejarah juga merupakan seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya astronomi, saking cintanya dengan dunia asronomi dia kemudian membangun Observatorium Bosscha di Lembang dengan memakai lensa buatan Carl Zeiss yang paling canggih dimasanya.
“Luar biasa.” Adisya berguman.
“Luarnya yang biasa, dalamnya lumayan tuh.” Hera menimpali sambil bercanda.
“Aku suka piano di sudut ruangan itu. Kesan jadulnya membuatku seolah benar-benar berada di masa Bosscha.”
“Ini beneran piano yang sering dimainkan Bosscha mengisi waktu luangnya.” Hera merinding.
“Katanya sih begitu.” Adisya memainkan tone suaranya dengan ekspresi muka sedikit dibuat horor.
“Aku pulang, lho.” Ancam Hera merinding.
“Eits, segitu aja ngambek.” Mereka kembali tergelak bersama.
Adisya dan Hera menyempatkan diri memainkan tuts piano yang bertuliskan “Piano Zeiter & Winkelmann braunschweig gegr. 1837″. Puas menikmati interior bangunan, mereka beranjak menuju pintu keluar. Ada empat pintu masuk dan keluar, semuanya langsung menghadap ke lapangan rumput yang luas, Dari ke empat pintu itu pemandangan halaman yang disajikan berbeda-beda, tapi semuanya adalah hamparan kekayaan alam yang indah dan sangat asri.
Lokasi yang mereka tuju berikutnya adalah sekumpulan pohon teh raksasa yang terlihat berdiri berjejer, letaknya ada diantara Wisma Bosscha dan makam Bosscha. ‘Konon’ kabarnya pohon-pohon ini tidak pernah dipetik dan dibiarkah membesar sehingga kita bisa memanjatnya .
“Lapar.” Hera membersihkan lensa kameranya dengan selembar tissue.
“Iya, ternyata sudah mulai siang.” Adisya mengemasi peralatan yang masih tergeletak di bangku.
“DI sini mana ada yang jual makanan.” Hera menyesal tidak membawa persediaan selain sebotol minuman kaleng.
“Ini cukup?” Adisya menyodorkan dua mie gelas dan dua botol air mineral ukuran sedang.
“Cukup, cuma air panasnya enggak ada?” Sekali lagi Adisya merogoh ransel. Di tangannya sekarang tergenggam termos ukuran kecil, cukup buat menyeduh dua mie gelas.
“Dasar Doraemon, apa pun yang diminta langsung ada.” Hera tersenyum lebar.
“Idih, disiapin malah ngeledek.” Mereka kemudian duduk santai menikmati dua mei gelas panas yang jadi terasa lebih lezat.
“ Dari puncak perkebunan ini, ada jalan menurun menuju Situ Cileunca, mau ke sana?” Tanya Adisya.
“Masih kuat jalan, Bu.” Hera balas bertanya.
“Aku masih, kamu bagaimana?” Hera mangut-mangut.
“Oke, meski lama tinggal di Bandung, terus terang aku juga belum pernah ke sana.” Terangnya.
Warung-warung di sekitar Situ Cileunca tidak begitu ramai dikunjungi, katanya penjual makanan di sini suka pasang tarif tidak masuk akal, alias mahal. Jadi meskipun banyak yang berenang, rata-rata mereka bawa bekal sendiri. Begitu informasi yang Adisya baca di salah satu pemilik bloq yang pernah berwisata ke lokasi itu. Adisya dan Hera kembali sibuk membidikkan lensa kamera. Mereka bergantian berpose ditempat-tempat yang dianggap menarik dan berkesan.
Di sebuah warung serombongan wisatawan terlihat asik menyantap hidangan makan siang. Dari logatnya jelas terdengar kalau mereka berasal dari Sumatera Barat. Riuh rendah suara gelak dan tawa mereka serta-merta membuat Adisya dan Hera berpaling, Sehingga sepasang mata kaget dan terkesima saat melihat salah satu dari keduanya. Sebentar sosok itu berhenti menyuap makanannya, mencoba meneliti ulang apa yang terlihat. Hatinya berdetak kencang manakala menyadari perempuan dengan kamera tergenggam ditangannya itu adalah orang yang sekian lama dicarinya.
Adisya...?
Luar biasa bila mereka bisa bertemu tanpa direncanakan seperti ini. Selintas rasa ngilu menerjang ulu hatinya, saat menatap wanita yang terlihat sibuk membidikkan lensa kameranya ke arah permandian yang ramai dipadati para pengunjung. Sudah bertahun-tahun mereka berpisah, bahkan sudah pula seorang perempuan hadir menggantikan tempatnya. Tapi ketika bertemu, ternyata perasaan rindu itu tidak pernah hilang, hanya berhenti sesaat. Kini rasa itu perlahan menguasai segenap sanubarinya kembali.
“Uda melihat siapa?” Sebuah suara mengagetkan si lelaki.
“Adisya.” Jawabnya pendek.
“Siapa Adisya?” Kembali si wanita bertanya dengan rasa ingin tahu yang lebih besar.
“Mantan istriku.” Jawab si lelaki, sementara matanya masih fokus memandangi semua gerak-gerik Adisya dari tempat duduknya.
“Apa…?” Nada meninggi dari suara perempuan disampingnya, segera menyadarkan lelaki itu.
“Maafkan Uda, Rachma. Tapi apa yang Uda katakan itu benar adanya.” Kilatan cemburu menajam dalam sinar mata perempuan yang dipanggilnya Rachma.
“Uda masih mencintainya?”
“Mengapa jadi membahas soal itu? Uda cuma bilang, dia adalah mantan istri, itu saja kan?”
Wanita bernama Rachma adalah seorang perempuan muda, tubuhnya langsing dan semampai. Masih terlalu muda malah buat lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan Uda. Rachma mengenakan gamis berpotongan modis, pertanda ia paham dengan kewajiban seorang muslimah. Hijabnya juga menjulur hingga menutupi dada. Sungguh pun demikian ia tetap terlihat cantik.
“Semoga perempuan itu cepat pergi.” Ucap Rachma setengah bergumam.
“Tak baik menggerutu seperti itu, lagian Uda kan hanya terkejut tidak menduga bisa bertemu kembali.” Rachma mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Sudah, lanjutkan lagi makannya. Jelek kalau kamu ngambek begitu.” Sang lelaki mencoba berguarau, Rachma pun dengan terpaksa melanjutkan suapannya, tapi ia sama sekali sudah kehilangan selera makan. Selesai makan rombongan itu terlihat menuju sebuah bus pariwisata yang cukup besar, lalu tanpa sepengetahuan Adisya, mobil pun perlahan bergerak pergi meninggalkan Situ Cileunca walau beberapa saat sepasang mata lelaki paruh baya menatap lekat Adisya yang masih tetap asyik dengan lensa kamera di tangannya.
Mereka kembali ke villa saat hari sudah menjelang magrib, lelah juga berjalan kaki pulang pergi dengan rute jalanan yang menanjak dan menurun, sepanjang mata hanya terlihat hamparan hijau pepohonan teh. Sekeranjang strawberry hasil petikan sendiri juga mereka bawa. Adisya sama sekali tak suka dengan rasa buahnya. Berbeda dengan Hera, wanita itu sangat menyukai rasa asam manis segar buah strawberry, apalagi aroma wangi buahnya yang matang dengan sempurna.
“Huff, cape.” Hera menghempaskan tubuh di kursi teras Vila.
“Nanti malam ada pertunjukan di halaman Villa, ikut yuk!” Adisya meletakkan sepiring kacang rebus yang masih mengepulkan asap di atas meja. Sementara Hera hanya melirik sambil tetap bermalas-malas di kursinya.
“Ikut nggak…?” Adisya kembali bertanya.
“Acaranya apa?” Hera meluruskan posisi duduknya.
“Beberapa kesenian daerah, dan live musik dari STSI Bandung.” Jawab Adisya, sambil matanya menelusuri selebaran yang tadi diberikan room boy kepadanya.
“Bisa ketemu brondong, donk.” Hera tergelak, saat Adisya menyilangkan jari telunjuk di dahinya.
“Dasar.” Gerutu Adisya sambil tertawa.
Lepas Isya mereka keluar dari kamar pavilliun Villa Cemara menuju lokasi acara yang mulai dipadati pengunjung. Baik dari tamu Villa maupun masyarakat setempat. Gelaran seni daerah seperti calung dan angklung terdengar semakin jelas.
“Sebenarnya aku lebih suka ngobrol di kamar.” Hera merapatkan jaket ke tubuhnya karena hawa pegunungan yang dingin mulai menyelusup diantara pori-pori.
“Masa liburan ngendon di kamar?” Adisya menjejeri langkah Hera sambil mempererat lilitan syal dilehernya. Udara memang terasa semakin dingin tapi Adisya suka, suasana seperti inilah yang bisa membuat semua ketidaknyamanan sirna dari pikiran dan tubuhnya.
Bila Adisya terlihat sangat menikmati pertunjukan kesenian yang ditampilkan, Hera justru sibuk membidikkan lensa kamera ditangannya ke berbagai penjuru. Moment yang dianggap unik dan menarik selalu diabadikan dalam berbagai sudut. Kali ini Hera membidikkan lensanya ke arah keramaian di sebelah kanan arena pertunjukkan, kening wanita itu seketika berkerut. Seorang lelaki tertangkap kamera sedang menatap lekat,
Padanya…?
Penasaran Hera kembali mengarahkan lensa pada sosok lelaki yang masih begitu antusias menatap dirinya…? Tapi ketika diamatinya lebih seksama, ia yakin sama sekali tidak kenal wajah lelaki yang matanya tampak mencorong tajam. Sejurus Hera terpana, seperti disadarkan akan sesuatu.
Bukan aku ternyata yang sedang dilihat oleh lelaki itu, tapi…Adisya..!?
Ketika melirik ke arah sahabatnya, yang dilirik malah terlihat asyik menikmati pagelaran seni Angklung dipandu seorang mojang priangan berkebaya modern dengan amben berkilau yang begitu lekat membalut tubuh sintalnya. Jari tangan sang kondaktur memberi berbagai kode untuk mewakili nada dari alat seni musik tradisional berbahan dasar bambu itu. Hera menyikut Adisya beberapa kali, ia ingin tahu apakah Adisya mengenal sosok lelaki yang berdiri tak jauh dari tempat mereka sekarang berada.
“Ada apa?” Adisya merespon gerakannya.
“Coba kamu lihat lelaki yang berdiri di sana.” Hera menunjuk ke arah dimana lelaki aneh itu berada, tapi dia kaget sendiri saat menyadari kalau lelaki yang diceritakannya sudah tidak berdiri ditempatnya lagi.
“Yang mana.” Adisya mengikuti arah telunjuk Hera.
“Hm, sudah tidak ada.” Ucap perempuan itu setengah kecewa.
“Kamu melihat brondong?” Adisya terang-terangan meledek.
“Berondong? Oh tidak! Ini lebih dari sekedar seorang brondong Adisyaku.”
“Maksudnya?”
“Sayang aku tidak bisa menjelaskan, setidaknya belum sekarang. Aku masih butuh sedikit bukti lagi.” Adisya tergelak melihat gaya bicara sahabatnya.
“Ow, seperti detektif Tintin, dong.” Cibir Adisya melucu.
“Lihat saja nanti, aku yakin analisaku tidak meleset.” Hera merasa tertantang.
“Aku menunggu saat itu datang, Heraku sayang.” Perempuan itu menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekalitidak gatal, hatinya setengah geram tidak bisa memberikan sebuah bukti dengan segera untuk menguatkan dugaannya pada Adisya.
Pertunjukkan kian seru ketika live musik digelar. Lagu-lagu berirama latin dengan aransemen yang sangat apik dan menggelitik membuat suasana memanas. Beberapa penonton terlihat turun dengan pasangannya bahkan ada juga yang nekad sendirian, mereka asyik berjoget mengikuti irama. Adisya mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ikut terbawa arus.
“Mau joget juga?” Adisya tergelak melihat ekspresi Hera ketika bertanya.
“Tidak kalau tanpa pasangan.” Jawabnya asal.
“Artinya kamu akan berjoget bila ada yang mengajak.” Wanita itu kian geli mendengar komentar Hera.
“Tentu saja, sampai kedua tungkai kakiku merasa lelah.”
“Oh, God.” Hera tak bisa membayangkan ia dan suaminya meliuk-liukkan tubuh, seperti itu? Semoga saja tidak akan pernah terjadi.
“Bolehkah aku mengajakmu berjoget, Adisya?” Sebuah suara menghentikan gerakan kakinya. Suara seorang laki-laki, ia seperti pernah mendengar suara itu. Adisya terkejut saat memalingkan wajah dan mengetahui sang pemilik suara yang ternyata adalah
“Syam…?”
Wajah Adisya pucat pasi. Ludah di tenggorokannya kelat seketika, ia terbatuk hebat hingga ke dua bola matanya memerah,
BERSAMBUNG................