BAGIAN XIX
Sambil bersenandung kecil Adisya menyeduh kopinya. Sementara lewat jendela kaca yang terbuka, cahaya mentari pagi mulai menerobos masuk. Wangi kopi tubruk memicu rasa tak sabar Adisya untuk segera meneguk cairan hitam dalam cangkir putih yang pinggirannya dihiasi lukisan klasik kuning keemasan. Ia berharap kafien mampu mengusir kantuk yang masih berat bergelayut, akibat berjaga semalam suntuk menyelesaian berkas yang sebentar lagi akan dijemput.
Benar saja, belum lima menit menyadarkan pinggang di kursi malas, terdengar ketukan pelan di pintu depan. Adisya beranjak bangun lalu memutar anak kunci, daun pintu bercat putih itu terkuak perlahan. Didepannya sekarang berdiri seorang perempuan langsing semampai, wajahnya yang cantik kian sempurna dengan polesan make-up minimalis. Bukan cuma itu, rambut bergelombang merah keemasan juga terlihat sangat pas membingkai wajah tipikal Barbienya Чªπğ berwarna putih susu. Dahi Adisya seketika berkerut begitu mengenali wangi tubuh dan raut wajah tamunya.
“Lita…!?” Serunya kaget bercampur takjub.
Wanita di hadapannya tersenyum, tapi Adisya membaca ada sesuatu di balik senyuman itu. Firasatnya menyentuh ranah terdalam, yang hanya kalbu bisa menterjemahkannya. Dengan sopan ia persilahkan tamunya masuk. Setelah Lita terlihat duduk nyaman, Adisya meninggalkannya sejenak dan kembali dengan cangkir berisi teh panas serta setoples camilan.
“Silahkan dicicip, maaf adanya cuma ini .” Sekali lagi kata-kata Adisya hanya dibalas dengan seulas senyuman manis. Dalam tenangnya Lita menyimpan gundah dan harapan atas keinginan hati yang butuh persetujuan.
Tadi, sebelum meninggalkan rumahnya perempuan itu menyempatkan diri menegakkan sholat sunat dua rakaat dengan sangat khusuk. Lama jiwa dan fikirannya berbincang dengan Tuhan, mengadukan resah, memaparkan penyesalan dan rasa berdosa pada mantan suaminya yang telah begitu sabar menghadapi polah tingkah buruknya selama ini. Semoga saja maksud baiknya dapat terwujud.
Lita baru menemukan kesadaran bahwa alangkah sedikitnya lelaki sebaik Safta di jaman sekarang ini. Kesadaran yang timbul setelah dirinya berkali-kali dikhianati dan di zolimi suami keduanya. Ia menyesal atas semua yang telah dilakukannya pada mantan suami dan adik iparnya, yang ternyata adalah orang-orang baik berhati lembut dan penyabar. Orang-orang yang tak pernah membalas dan dendam atas semua kebodohannya dalam mengartikan kasih sayang serta ketulusan. Ketika Aldo sakit, anak sulungnya itu berkali-kali minta bertemu ayahnya, hal ini kian membuat Lita kian sadar, bahwa menjauhkan suami dari anak-anak selama ini pun adalah perbuatan keji dan sangat dimurkai Tuhan.
Mengapa selalu saja penyesalan itu datang belakangan? Kenapa rasa membutuhkan itu justru terasa saat mereka sudah berpisah?
Lita ingin menyatukan keluarganya kembali. Safta adalah kekasih yang dipilihkan Tuhan, ia ingin menjadikan itu sebagai takdir hidupnya. Itulah mengapa perempuan itu kemudian memutuskan bertemu Adisya. Mustahil atau tidak memang harus dicoba, dari pada penyesalan membelenggunya seumur hidup, karena membiarkan Safta menikahi Adisya. Tiba-tiba rasa sedih yang dalam menguasai diri Lita, hingga tanpa disadarinya butiran bening bergulir di sepanjang lekuk wajahnya.
“Kamu menangis?” Adisya tersenyum arif melihat pergulatan bathin tamunya. Sikap Lita yang diam dan tenang laksana telaga di kehijauan alam.
Selalu ada seribu misteri yang melekat di setiap kediaman dan kesenyapan. Bathin Adisya.
“Maaf kalau aku mengganggu, Mbak.” Wanita cantik bagai boneka Barbie itu tercenung lama, dengan mata semakin basah.
“Aku sudah tahu yang hendak kamu sampaikan Lita. Maaf bila tanpa ijin aku sudah menguping pembicaraanmu dengan Safta di rumah sakit kemaren.” Lita mengangkat wajahnya mendengar kata-kata Adisya.
“Aku dan Safta memang memiliki hubungan, walau belum terlalu lama. Tapi aku juga perempuan yang memiliki mata hati seorang ibu, sama halnya dengan dirimu. Aku mendukung apa yang menjadi tujuanmu datang kemari. Menurutku Safta memang lebih dibutuhkan oleh kamu dan anak-anak.”
“Mbak Adisya…?” Lita tak sanggup melanjutkan kata-kata, dengan reflek ditanggkupnya kedua lutut Adisya dan menangis sesugukkan di pangkuan perempuan itu.
“Kamu adalah malaikat, Mbak. Semua jalan yang tadinya terlihat sulit menjadi mudah olehmu. Cuma Tuhan yang bisa membalas semua kebaikan Mbak Adisya.”
“Setiap orang berhak memperjuangkan kebahagiaan hidupnya. Kedatanganmu ke sini pun merupakan usaha untuk itu, bukan?” Adisya diam beberapa saat sebelum melanjutkan.
“Semoga penyesalan yang kamu rasakan adalah murni dari hati, jangan ulangi semua sikap dan sifat yang bisa membuat orang-orang yang mencintaimu terluka. Karena sesungguhnya kebahagiaan itu bukanlah seberapa banyak materi yang mampu kita berikan untuk mereka, tidak sesulit itu. Kebahagiaan lebih sederhana dari itu, ia dapat dirasakan saat orang-orang di sekitar kita terlihat mampu dan leluasa menikmati hidup serta mimpi mereka. Itulah bahagia yang sesungguhnya. Kamu tahu artinya…?” Lita mengangguk.
“Saling menghargai Mbak, itulah yang tidak aku lakukan dulu saat masih menjadi istri Mas Safta.” Bisik Lita serak.
“Berjuanglah untuk mendapatkan cinta Safta kembali, karena baginya kamu adalah wanita yang sangat berarti. Itulah kenapa sampai saat ini dia masih saja sendiri.”
“Mbak Adisya, yakin?”
“Kamu punya anak-anak, Lit. Itu adalah senjata terampuh yang mampu melumpuhkan pertahanan Safta.” Mereka saling rangkul dalam waktu yang cukup lama. Adisya melepaskan kepergian Lita, ketika perempuan itu pamit hendak ke rumah sakit melihat kondisi Andin dan juga Safta.
Setelah itu…?
Sepi lah yang menyelimuti kembali ruang tamu berukuran sedang dimana Adisya berdiri mematung dan tercenung, sepi itu bahkan lebih senyap dari sebelumnya. Satu rongga kembali melepaskan kepompong Чªπğ gagal jadi kupu-kupu di hatinya. Tapi aneh, dalam kekosongan itu ada perasaan lega dan bahagia, membayangkan tak akan ada lagi anak-anak yang hidup gamang tanpa figur seorang ayah hati Adisya menjadi tenang.
Safta membutuhkan wanita pendamping yang bukan hanya sekedar ibu bagi anak-anaknya. Sebenarnya itu semua sudah dimiliki oleh Lita, hanya sayang dia tidak sabar dan terlalu terburu-buru ingin menguasai bahagia itu sendirian. Wanita itu lupa kalau orang-orang disekitarnya juga butuh kebahagiaan dengan porsi sama seperti keinginannya.
Sudah hampir jam sepuluh pagi, tapi tanda-tanda Gatot maupun perwakilan kantor Чªπğ hendak menjemput berkas ke rumahnya belum kelihatan. Adisya akhirnya memutuskan mengantar sendiri hasil kerja kerasnya tadi malam. Setelah menutup jendela dan pintu samping rumah, ia menuju teras menunggu taxi yang sudah dipesan. Ketika itulah mobil yang ditumpangi Gatot muncul, lelaki tambun itu bergegas turun, wajahnya terlihat kusam.
“Ada apa?” Adisya yang duluan bertanya.
“Andin kritis, kondisinya drop. Tingkat kesadaran sudah di bawah lima.”
“Apa…!” Adisya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Ceritanya nanti saja, ya. Sekarang mana berkas Чªπğ mau di bawa team ke Banjarmasin. Mungkin yang berangkat bukan aku, karena mustahil meninggalkan Safta sendiri dalam situasi seperti ini.” Sambungnya.
“Iya.” Hanya itu yang sanggup diucapkan Adisya. Langkah perempuan itu panjang-panjang mengikuti Gatot menuju mobil yang terparkir. Gatot merogoh saku saat merasakan getaran telephone selularnya. Air mukanya terlihat tegang begitu membaca pesan singkat yang ada di inbox. Dengan cekatan tangannya langsung menghidupkan mesin mobil begitu selesai membaca.
“Ada berita apa Mas?” Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Gatot menyerahkan handpone itu pada Adisya.
Telah berpulang ke Rahmatullah dengan tenang. Adik, dan saudara kami tercinta Andinita, pagi ini di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Semoga Mendapat tempat yang mulia di Sisi-Nya. ( Ttd Hera)
“Inalillahi wainnailaihi rojiun.” Adisya bergetar ketika mengucapkan kata-kata itu, ada rasa perih di ulu hatinya, persendiannya pun terasa lemas. Sampai memasuki jalan utama, mereka masih tetap bungkam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Baik Gatot maupun Adisya memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi berita kematian Andin. Ketika sampai dirumah sakit, Adisy tidak melihat keberadaan Safta demikian juga Lita, sedangkan jasad Andin sudah ditutup kain berwarna putih tulang. Sudah tak ada lagi selang yang terpasang di tubuhnya.
Ada sekelebat sesal melumuri hati Adisya. Keputusannya pulang dan meninggalkan Safta sendirian semalam, ternyata keputusan yang salah. Kini ia merasa seolah berada di luar lingkaran, sama seperti orang-orang kebanyakan di ruangan itu saja. Safta tentu kecewa dengan sikap yang diambilnya. Ketika dia butuh dukungan dari orang yang paling dekat, seseorang itu malah pergi bagai tidak peduli terhadap persoalan yang dihadapinya. Tapi, memaksakan diri untuk tetap berada di antara Safta dan mantan istrinya dalam waktu yang lama sangat membuat perasaan tidak nyaman. Adisya kuatir salah tingkah, salah bicara dan salah tafsir terhadap hal-hal yang terjadi. Ia tak ingin merusak suasana dengan interpretasinya yang keliru.
Sekarang Adisya malah merasa canggung, karena kehadirannya yang terlambat, Andin ternyata ditakdirkan kembali lebih cepat dari yang mereka duga. Allah telah menuntaskan semua problematika kehidupan wanita muda yang beberapa waktu belakangan ini sangat dekat dengannya,
dan dia…?
Dia kemana saat adik kekasihnya itu berjuang menjalani operasi pengangkatan janinnya yang keburu meninggal di dalam rahim. Kenapa Adisya jadi tak peka terhadap keadaan? Kenapa Adisya tiba-tiba jadi egois hanya karena perasaan takut tersaingi dengan kehadiran Lita?
Tersaingi…?
Adisya mengusap matanya yang basah, saat selesai membuka kain penutup wajah Andin. Dalam lelapnya yang panjang Andin terlihat begitu tenang, laksana tidur biasa walaupun wajahnya sedikit berwarna biru lebam. Pergilah dengan tenang Andin, bidadari kecilmu menunggu kembalinya sang Ibu di syurga-Nya yang indah. Semoga اَللّهُ menyedikitkan kesulitan untuk kalian bisa berkumpul kembali dalam keabadian dan kekekalan.
Adisya membuka Al-Quran kecil yang diambilnya dari laci nakas rumah sakit. Lalu mulai membacanya baris demi baris dengan suara serak bercampur tangis.
Pemandangan itulah yang pertama kali dilihat Safta saat masuk ruangan. Di sampingnya Lita terlihat juga berwajah murung, matanya sembab tanda baru habis menangis. Lelaki itu mengurungkan niatnya menghampiri Adisya yang masih terlihat tekun melafazkan ayat suci dengan suara perlahan. Safta terharu melihatnya. Sebenarnya tanpa Adisya bicara pun, Safta sudah tahu hampir semua isi hatinya. Kenapa Adisya tiba-tiba memutuskan pulang, padahal sebelumnya sudah berkata akan menunggu hingga operasi Andin selesai. Ia tahu sebabnya, makanya Safta tidak marah apalagi memaksa kekasihnya itu untuk tetap menemani di rumah sakit.
Perempuan itu makhluk pencemburu, karena jiwanya yang halus lembut…
Pemakaman Andin baru saja usai, jasad bayi mungil yang sedianya dimakamkan di pekuburan keluarga Hera, dibatalkan. Kedua jenazah akhirnya di bawa ke sukabumi, kota Чªπğ merupakan tanah kelahiran dankediaman keluarga besar Safta. Rumah itu sangat asri sama seperti rumah-rumah disekitarnya. Udara yang sejuk, bunga-bunga Чªπğ tumbuh subur di halaman bahkan di sepanjang pinggiran jalan pun bunga liar mekar dan tak kalah indahnya.
Tak banyak pelayat yang datang, karena sejak orang tuanya meninggal Safta dan Andin boleh di bilang tak pernah pulang, rumah pun dibiarkan kosong dan tidak disewakan. disamping harga sewa yang masih murah, perabotan rumah juga menjadi salah satu pertimbangan, sehingga akhirnya diputuskan mencari penjaga yang bisa dipercaya saja untuk mengurus pemeliharaan bangunan penuh sejarah dan kenangan itu.
“Cape, ya.” Safta mendekati Adisya yang duduk bersandar di teras samping rumah. Beberapa rekan kantor lainnya juga duduk bersandar dengan mata terpejam. Perjalanan yang mereka lalui memang sedikit melelahkan, ditambah lagi mereka juga habis berjaga semalaman. Adisya menoleh ketika Safta ikut duduk di sampingnya.
“Aku minta maaf.” Akhirnya Adisya mampu mengucapkan kata itu sebagai ungkapan rasa penyesalan yang dari pagi tadi mengganjal di pikiran.
“Tidak ada yang perlu di maafkan, aku tahu betapa sulitnya kamu memilih. Apakah mendahulukan tugas kantor atau menemani aku.” Suara Safta yang lembut dan datar memberi rasa tentram hingga perasaan sungkan yang tadi kental melumuri hati Adisya terasa berkurang.
“Bukan menemani saja, Saf.” Balas Adisya setengah bergumam.
“Iya, Andin pasti paham. Karena dia lebih tahu apa yang ada di hati kita saat ini.” Adisya tersentak mendengar kata-kata Safta, hatinya berdesir karena disadarkan. Bila benar Andin saat ini tahu apa yang ada di fikirannya. Betapa malunya dia, karena tentulah alhmarhumah calon adik iparnya itu dapat melihat kalau dirinya tengah dilanda cemburu dan gamang. Tentulah Andinita dapat membaca betapa perih rasanya menghentikan mimpi yang baru saja dimulai.
Apakah aku harus lari meninggalkan cinta kembali , demi sebuah kehidupan dan cinta yang lain…?
Adisya mengatupkan geraham kuat-kuat, untuk menahan rasa sedih yang dengan cepat menyergap. Ia tak ingin sedih itu tumpah menjadi derai air mata. Safta dan Lita harus tetap melihatnya sebagai sosok yang tegar, sehingga ketika ia pergi kelak mereka tidak dihantui rasa bersalah dan berdosa karena merasa telah melukainya. Ia ingin melihat Safta mampu bahagia kembali bersama keluarga yang sudah dimilikinya. Bila pernah ada pertikaian antara lelaki itu dan Lita mantan istrinya, toh bisa diperbaiki. Apalagi mereka sudah memiliki anak-anak yang masih sangat butuh kehadiran kedua orang tua kandungnya. Bila bisa diperbaiki, untuk apa memulai yang baru. Belum tentu yang baru lebih baik dari sebelumnya. Kesadaran Lita akan semua kesalahan, adalah tiket kebahagiaan buat lelaki bernama Safta. bagaimana llaki itu sebenarnya mulai menempati ruang di hati Adisya, itu urusan lain. Dia harus ikhlas bila itu memang untuk sebuah kemaslahatan. Pengorbanannya tak akan sia-sia, karena dlakukan atas dasar kasih sayang dan kemanusiaan.
Tuhan akan memberkahi semua niat baik bila dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Sudah dua hari Histo dan keluarganya menginap di Villa mereka yang terdapat di daerah subang selatan. Villa itu berdiri megah di lereng bukit dusun Banceuy, sebuah desa di daerah Sanca yang masih satu kecamatan dengan objek wisata alam ciater. Di depan Villa, terhampar luas Чªπğ menghijau, beberapa petak sawah bulir padinya bahkan terlihat mulai menguning. Sudah dua hari pula hujan turun tak kunjung berhenti membasahi bumi tanah pasundan itu. Ardan mulai rewel karena tak sabar ingin segera menikmati keindahan objek wisata alam Ciater yang selalu mereka kunjungi disaat liburan. Akhir-akhir ini job agak sepi, pemesan barang tidak sebanyak biasa, sehingga laki-laki itu memutuskan mengajak keluarganya sejenak berlibur untuk menyegarkan badan dan fikiran.
Sehabis jogging pagi Histo duduk santai menikmati pemandangan di halaman belakang Villa, dari perbukitan terlihat aliran sungai yang juga merupakan saluran irigasi menuju ke area persawahan. Dinding bukit yang terjal lebat ditumbuhi semak pakis berdaun lebar-lebar, sungguh Indah melatari pemandangan di belakang Villa. Awalnya Histo tidak begitu tertarik untuk membeli Villa ini. Cuma rekan bisnisnya mengatakan kalau tempat ini sangat dekat dengan Objek wisata Ciater, suasananya juga nyaman dan aman, akhirnya Histo tertarik membeli. Tidak salah memang, karena ternyata Mega dan anak-anak juga sangat menyukainya.
Villa itu sengaja dibuat dari kayu, hampir keseluruhan bangunan menggunakan material kayu ulin keras. Lantai dasarnya juga dilapis dengan kulit kayu, sehingga di musim kemarau pun villa tidak kehilangan kesejukkannya, cuma saja saat musim penghujan seperti saat ini permukaan lantainya jadi sedikit lembab terinjak kaki.
“Mas, beli telur donk, Ardan minta dibuatkan nasi goreng dengan dadar telur. Tapi telurnya ternyata habis.” Mega menenteng seember pakaian yang terlihat habis di cuci.
“Anissa masih tidur, Ma.”
“Hooh.” Mega bergumam. Histo masuk ke ruang dalam Villa, saat melongok ke kamar ternyata Anissa memang masih tertidur pulas. Di ruang tengah Ardan sibuk dengan remote control, mencari channel yang disukai.
“Ikut papa, yuk!” Ardan menolehkan, matanya bulat menatap Histo.
“Papa, kemana?” Tanyanya.
“Beli telur ke warung, ikut?” Adran tertawa lebar dan langsung turun dari kursi.
“Ijin mama dulu ya, Pa.” Ucapnya sambil berlari kehalaman belakang.
Histo memanaskan mesin mobil sambil menunggu jagoannya kembali. Ketika bermaksud menghidupkan dvd, ia merasakan mobilnya berguncang hebat disertai gemuruh yang sangat dahsyat, suaranya memekakkan telinga. Lelaki itu terpana beberapa saat sebelum kesadarannya kembali. Ketika memalingkan wajah ke belakang mobilnya, mata lelaki itu terbelalak tak percaya, Berbongkah-bongkah tanah tebing meluncur tajam menghantam bangunan Villa. Begitu cepat dan dalam sekejap mata bagian belakang Villa sudah tertimbun longsoran tanah bercampur bebatuan dan pepohonan. Histo berteriak histeris menyadari kalau istri dan anaknya ada di dalam bangunan yang kini hanya bersisa separoh. Tapi getaran hebat Чªπğ mengguncang bumi tempat ia berdiri membuat lelaki itu sama sekali tak dapat bergerak, ia hanya mampu berteriak memanggil nama istri dan anak-anaknya, sebelum ia sendiri jatuh tertelungkup. Walau pun berkali-kali mencoba untuk bangkit, hebatnya getaran membuat ia terjatuh kembali. Setelah suasana sedikit reda Histo mencoba berlari sekuat tenaga mencapai pintu Villa ketika memutar gagang pintu ternyata macet dan sulit dibuka posisi bangunan yang sudah tidak simetris lagi membuat dudukankunci bergeser dari tempatnya semula. Setengah Histeris, lelaki itu berteriak minta pertolongan, dalam sekejap warga pun berdatangan. Semua orang sama terkejutnya dengan Histo, saat melihat runtuhan tebing yang membawa serta aliran irigasi dari arah bukit ke area persawahan. Bukan hanya Villa Histo dan beberapa b angunan lainnya saja yang nyaris tertimbun, tanah setinggi sepuluh meter itu juga menimbun daerah persawahan di pinggiran tebing bukit sepanjang dua puluh meter lebih. Menyaksikan semua yang ada di hadapannya, jiwa lelaki itu terguncang hebat, sedetik kemudian ia roboh tak sadarkan diri.
Ketika sadar, Histo mendapati dirinya terlentang di sebuah ranjang, bau obat-obatan tajam menusuk penciuman. Saat ingatannya pulih kembali,r suara raungan dan tangisan terdengar memenuhi ruangan. Lelaki itu sontak berdiri ingat kejadian yang baru saja terjadi.
“Mega, Ardan, Anissa.” Mata Histo nanar mengitari ruangan persegi panjang yang dipenuhi oleh korban bencana, rata-rata mereka pekerja di sawah dan beberapa balita. Saat hendak turun dari ranjang seorang lelaki berpakaian rapi yang dikenal sebagai Lurah, mendekat dan memegang pundaknya.
“Tenang, Pak Histo. Kami turut berduka atas apa yang menimpa keluarga Bapak.”
“Istri dan anak-anak saya dimana. Pak?” Tanyanya.
“Anak Bapak, Anissa baik-baik saja, dia sekarang ada di rumah saya. Sedangkan anak lelaki bapak, mengalami patah tulang kaki. Tapi sudah mendapat perawatan di rumah sakit ini juga.” Histo merasa sedikit lega mendengar penjelasan Pak Lurah Чªπğ kini masih merengkuh pundaknya.
“Bagaimana dengan istri saya, pak?” Lirih Histo.
“Bapak yang tabah, sampai saat ini istri bapak masih ditangani secara intensif oleh pihak medis.”
“Bisa mengantarkan saya ke tempat istri saya dirawat. Pak?” Histo memandang wajah lelaki di sampingnya.
“Untuk sementara belum bisa, Pak. Saya antar Bapak ke tempat putranya saja ya.” Lelaki itu berdiri diikuti Histo yang berjalan masih dengan perasaan setengah tak percaya.
Tuhan selamatkan istriku….
Siapa yang bisa meramal nasib. Siapa yang mampu membaca takdir. Sekuat apa pun manusia, setinggi apa pun kekuasaan dan ilmu pengetahuannya. Manusia tetap makhluk yang diciptakan dengan segala keterbatasaan sebagai insan kamil. Bahwa Tuhan lah yang memegang kendali atas semua kejadian, mengatur semua alur berkehidupan yang tak pernah bisa ditawar. Mega tak mampu melawan takdir dan kuasa yang melebihi kemampuan manusiawinya. Wanita itu menghembuskan nafas dalam upaya medis Чªπğ tak putus diberikan. Ia menyerah pada kekuasaan alam. Kembali bersatu dengan semesta yang maya. Histo mendengar kabar itu dengan tubuh lemas, jiwanya terguncang walau berkali-kali diteriakkannya asma Allah sang Maha Pencipta Alam itu di dalam kalbu dan rongga jiwanya. Tapi sedihnya tak mampu disembunyikan lagi. Lelaki itu diam tapi hatinya begitu gaduh dalam raungan panjang.
Bersambung............