Adisya membereskan barang-barang yang masih ada di dalam laci meja kerjanya kemudian menyusun berkas-berkas itu dengan rapi dalam sebuah kotak kardus. Sore kemaren sepucuk surat pengunduran diri sudah di taruhnya di meja Manager, sedangkan untuk Safta, Adisya menulis cukup panjang. Sebenarnya Adisya belum tahu mau melakukan apa? Tapi yang jelas ia ingin pulang dulu ke rumah Ibu, setelah itu baru berfikir tentang apa yang baik buat masa depannya.
“Mau lari kemana lagi, Adisya Lukito.” Sebuah suara mengejutkan Adisya, tanpa menoleh pun ia tahu siapa pemiliknya. Setelah mengatur nafas sejenak sehingga hatinya tenang, perempuan itu kembali melanjutkan menyusun peralatan tulis-menulisnya di dalam sebuah kardus berukuran sedang.
“Bisakah menyelesaikan persoalan dengan musyawarah, Bu Adisya. Lari, bukan cara yang bijaksana.” Melihat lawan bicaranya masih diam Safta melanjutkan.
“Apakah menurutmu dengan “lari”, aku akan kembali kepada Lita? Lalu bisakah kamu menjamin masalah serupa tidak akan menimpamu kembali?” Ruangan itu senyap, hanya suara buku-buku bersentuhan satu dengan yang lain saja yang terdengar.
“Apakah kamu tidak benar-benar mencintaiku? Sehingga kamu ijinkan aku kembali kepada Lita?” Gerakan tangan Adisya menggantung di udara.
“Lihat aku, Adisya. Persoalan rasa dan cinta tidak bisa selesai hanya dengan menulis sebuah cerpen.” Adisya mengerutkan dahi.
Cerpen…?
Safta menganggap apa yang ditulisnya di beberapa lembar kertas itu sebuah cerpen? Tidakkah dia tahu alangkah berat dan sulit menulisnya. Tidakkah dia mengerti mengambil keputusan itu bukan perkara gampang, apalagi bila hal itu berkaitan dengan perasaan dan harapan yang mulai menjadi sebuah tujuan masa depan? Adisya mengatupkan geraham dengan kuat, berharap rasa sedihnya tidak akan pernah tumpah dalam buliran airmata.
“Adisya.”
“Ya.”
“Apakah dengan rujuknya aku, kamu bisa merasa tenang seperti apa yang kamu tulis?”
“Ya.” Safta menarik nafas mendengar jawaban perempuan di depannya.
“Kalau begitu berdirilah, ikut denganku.” Adisya kaget mendengar ucapan Safta. Tapi akhirnya ia berdiri dan sekarang mereka tegak berhadapan. Wajah Safta terlihat tawar tak seperti biasa. Suasana beginilah yang paling tidak disukai Adisya, makanya dia selalu memilih menghindar saat persoalan yang menyentuh area pribadi seperti ini menimpanya.
“Kemana?” Adisya berusaha terdengar santai. Safta mengukir sebentuk senyum mendengar pertanyaan perempuan di depannya.
“Kerumah Lita, supaya kamu bisa menyaksikan bahwa aku patuh pada perintah mu.” Sengaja laki-laki itu menekan intonasinya ketika mengucapkan kata perintah. Seteguk kelat meluncur di tenggorokan Adisya.
Apakah Safta ingin menguji seberapa jauh keikhlasanku?
Kalau begitu, akan kubuktikan, bahwa aku memang menginginkan mereka bersatu kembali. Adisya membathin
“Ya, baiklah.” Sekali lagi Safta mengulum senyum di bibirnya, lalu ia berkata dengan suara lebih lembut.
“Kamu tidak perlu sampai mengundurkan diri, kalau hanya ingin aku kembali kepada keluargaku. Karena aku tidak pantas menerima pengorbanan yang begitu besar.” Adisya tidak berkata apa-apa selain menyambar tas kerjanya kemudian mengikuti langkah Safta meninggalkan ruangan. Setumpuk buku dan kardus yang masih terbuka terbiar begitu saja.
Di perjalanan Safta menceritakan banyak hal kepada Adisya, soal masa kecilnya dengan orang tua dan teman-teman, saat Andin lahir dan mereka tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sangat rukun. Sayangnya keluarga Safta banyak yang merantau ke luar negeri, sehingga yang tinggal hanya keluarga inti saja. Lalu bagaimana kemudian satu persatu orang tua mereka meninggalkan dirinya dan Andin adiknya yang masih remaja. Cerita Safta terkadang lucu kadang malah sedih dan mengharukan. Adisya tidak mengerti mengapa Safta menceritakan semua itu kepadanya, tapi ia menyimaknya dengan hati. Lelaki ini memang orang baik, sayangnya Tuhan tidak menakdirkan orang baik ini menjadi menjaga hatinya.
Perjalanan selama satu jam menuju kediaman Lita sungguh tak canggung sama sekali, mereka pun mampir dibeberapa tempat sekedar membeli oleh-oleh. Safta juga mengajak Adisya istrahat sambil menikmati minuman kelapa muda yang lokasinya berada di pinggir sebuah danau buatan, pemandangannya sungguh indah. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, Safta menceritakan awal pertemuannya dengan Lita, mencintainya dan kemudian menjadikannya sebagai pasangan hidup.
Alangkah susahnya untuk tetap duduk tenang mendengar apa yang dituturkan Safta. Bagaimana tidak, lelaki yang dicintainya menceritakan sebuah hubungan yang begitu indah dengan wanita lain, wanita yang fisiknya jauh lebih sempurna dari dirinya sendiri. Adisya berharap rasa sedih yang melumuri hatinya tidak terlihat dan tak terbaca oleh lelaki itu. Semua diceritakan Safta dengan sangat deskriptif tanpa unsur emosi dan rasa, betul-betul gaya bercerita paparan. Walau pun tetap tak paham mengapa Safta menceritakan perjalanan hidupnya sampai demikian komplit, wanita itu tetap saja mendengarnya dengan sepenuh hati. Sesekali ia menimpali dan bertanya. Begitulah Adisya memposisikan diri, dan membujuk perasaannya sendiri. Sehingga semua terlihat sangat biasa dan alami.
“Kita sudah sampai.” Adisya melirik sekilas wajah Safta yang masih terlihat konsentrasi menyetir mobil yaris putih susu miliknya. Dalam hati wanita itu bersyukur karena akhirnya ia tak lagi harus mendengar soal Lita, Lita dan Lita dari mulut Safta.
Kini dihadapan mereka terpampang sebuah rumah besar bergaya spanyol. Semua catnya berwarna putih tulang. Bangunan itu terlihat menonjol di kehijauan alam yang melingkupinya. Sebuah gazebo menghiasai sudut halaman hingga kolam bermain jadi terlihat lebih asri. Safta membiarkan Adisya turun lebih dulu, ia tidak segera mematikan kontak. Dengan perlahan dimundurkannya mobil mencari tempat parkir yang lebih teduh.
Dari dalam mobil lelaki itu menatap lekat wanita bergaun cokelat susu berpadu blazer hitam dan jilbab krem khaki. Adisya selalu pintar memadu-padankan busana. Walau sederhana potongan dan detailnya, tapi tetap saja terlihat rapi dan berkelas. Ada rasa sedih melumuri hati Safta, mengingat datarnya penerimaan Adisya terhadap semua ceritanya.
Apa betul wanita itu sama sekali tak tersentuh, tak sedih dan tak cemburu dengan apa yang telah diceritakannya?
Benarkan aku sama sekali tidak memiliki arti di hatimu? Apakah selama ini aku hanya bertepuk sebelah tangan? Ataukah engkau hanya berpura-pura saja mencintaiku, Adisya? Safta mengusap sudut matanya yang berembun, ia tak bisa membohongi diri sendiri, bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta pada wanita bernama Adisya Lukito. Dalam kesederhanaannya, dengan semua yang dimilikinya. Baginya Adisya adalah wanita yang baik, cantik dan pintar. Dia tak butuh wanita berharta dan jelita untuk bisa menjadi bahagia dalam menjalani sisa hidupnya.
“Mas Safta…!?” Lita terpana melihat siapa yang kini berdiri di depan pintu rumahnya, di samping mantan suaminya itu juga terlihat Adisya. Dengan hati tak menentu dipersilahkannya kedua tamunya itu masuk.
“Anak-anak, mana?” Ruangan besar itu terlihat sepi, Lita mencoba tersenyum ketika menjawab.
“Ibu dan Randi sedang ke luar. Aldo ada di kamarnya.” Jawab Lita.
“Boleh aku melihat, Aldo?”
“Ya, Mas. Tentu saja boleh. Mari Mbak.” Lita meraih pundak Adisya yang berdiri di sebelahnya. Safta berjalan di depan sementara Lita dan Adisya mengikutinya kemudian. Setelah menaiki tangga di sisi sebelah kiri bangunan yang memiliki pintu menuju ke sebuah balkon Safta berbelok ke kanan.
Lelaki itu ternyata masih hafal dengan interior rumah mertuanya. Bathin Adisya.
Ketika sampai di sebuah kamar yang pintunya tidak terkunci Safta berhenti, ia berpaling ke arah kedua wanita yang berjalan di belakangnya.
“Ini kamar Aldo?” Pertanyaannya di jawab Lita dengan anggukan. Perlahan Safta melongokkan kepala ke dalam kamar itu. Di dalam kamar yang sangat besar dengan perabotan serba lux, terlihat sesosok tubuh kecil berbaring dibalik selimut tebal. Seketika kening Safta berkerut.
“Itu Aldo?” Kali ini Lita juga menganggukkan kepala, wajahnya terlihat memuram dengan cepat.
“Dia tidur siang?” Tanya Safta lagi.
“Tidak, Mas Safta. Sejak kecelakaan itu Aldo memang tidak bisa berdiri lagi.”
“Apa..!?” Safta mengenyahkan pikiran buruk yang seketika melintas.
Lita tidak pernah menceritakan keadaan yang demikian serius telah menimpa anak lelaki mereka. Rumah mewah dengan segala isinya ternyata memang tak pernah mampu membuat putranya bahagia. Aldo hanya mampu terlentang di atas sebuah sofa besar berwarna cokelat tua, tubuhnya kurus dan terlihat lemah. Safta segera mendekati tempat tidurnya.
“Aldo, sayang. Apa yang terjadi padamu nak.” Tubuh anak lelaki itu tak bergerak, tapi matanya perlahan terbuka. Dari mulutnya terdengar suara lirih.
“Papa…!?”
“Iya sayang ini papa.” Safta merangkul putranya, hatinya diliputi amarah dan rasa sesal yang kental. Emosinya memekat di kepala. Tapi dia tak dapat melepaskan semua yang dirasakannya. Karena memang tidak ada yang bisa dipersalahkan. Ini adalah takdir yang memang harus dilaluinya. Begitulah kemudian Safta menyabarkan hatinya sendiri. Setelah merasa tenang kembali. Ia menatap wajah Aldo, anak lelakinya itu menangis sambil terus memanggil namanya.
“Papa jangan pergi lagi ya.” Pintanya.
“Iya, sayang. Papa tidak akan pergi.” Jawab lelaki itu, rasa haru menyergapnya. Tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.
“Benar papa tidak akan pergi lagi?” Suara Aldo dilumuri rasa tak percaya. Adisya menggigit bibir menahan haru mendengar percakapan itu. Sedangkan Lita terlihat sangat terpukul ia makin dalam menyesali semua kebodohannya selama ini.
“Papa janji tidak akan meninggalkan Aldo?”
“Papa, janji. Nak.” Semakin kuat Safta menekan gerahamnya. Tiba-tiba sebentuk rasa haru merembati relung sukmanya. Rasa terimakasih yang dalam, untuk sebuah surat yang telah ditulis oleh Adisya. Bila berkata soal cinta, benar surat itu telah membuatnya patah hati. Tapi bila melihat kondisi anaknya, tak ada cinta yang terasa terlalu besar untuk dikorbankan. Karena cinta kepada kedua buah hatinya itu jauh lebih bernilai dan patut diperjuangkan. Dulu karena cinta kepada merekalah sehingga Safta mengijinkan Lita membawa serta anak-anaknya, dan kini karena cinta kepada ke dua buah hatinya itu pulalah Safta merasa ikhlas harus melepaskan cintanya kepada Adisya.
Engkau memang malaikat berwujud manusia Adisyaku sayang.
Sekarang Safta merasa lebih tenang, ia sudah tahu langkah apa yang terbaik buat semua permasalahan yang dihadapinya. Adisya pun diam-diam mengikhlaskan sebuah cinta yang pernah dia titipkan tunasnya di hati Safta untuk tak tumbuh sebagaimana mestinya. Kalau ini yang terjadi, dia rela dan tak akan pernah berkecil hati bila harus melepaskan Safta. Sebagai rasa hormatnya pada lelaki itu, Adisya juga berniat membatalkan pengunduran dirinya di perusahaan. Safta bukanlah lelaki yang pantas dihindari. Ia tidak boleh berlaku kejam kepadanya.
“Terimakasih Adisya, aku tidak tahu bagaimana lagi caranya mengungkapkan rasa terimakasih atas semua pengorbanan yang sudah kamu lakukan.” Adisya terharu mendengarnya. Bila selama ini dia sanggup tidak menangis tapi saat sekarang, buliran bening itu merembes membasahi kedua pipinya.
“Jangan menangis.” Safta menggenggam kedua tangan wanita yang duduk tertunduk di depannya.
“Aku hanya terharu, Saf. Aku senang dapat membuat keputusan yang benar, yang memang seharusnya kulakukan. Aku tidak lari menghindar seperti katamu bukan?”
“Iya, aku tahu kalau kamu memang perempuan yang baik.”
“Aku ikhlas.”
“Aku mencintaimu.” Safta berbisik.
“Aku juga mencintaimu. Karena cintalah aku melakukannya.” Serak suara Adisya ketika mengucapkannya.
“Iya, kekasihku. Aku tahu kemuliaan hatimu, dari dulu aku tak pernah meragukannya.” Safta merengkuh pundak Adisya, dibiarkannya air mata mengalir di pipinya sendiri. Lelaki terkadang juga butuh menangis.
Hal yang terjadi hari ini adalah peristiwa yang memang sangat dalam menggores perasaannya. Lita juga tak kuasa membendung air mata. Dialah yang bersalah, bila dulu tak bersikap buruk, tentu Safta tidak akan membagi hatinya dengan wanita baik ini. Sehingga Adisya juga tidak perlu berduka karena harus mengikhlaskan cinta yang pergi demi kebodohannya. Rasa bersalah yang dalam benar-benar memukul bathin perempuan jelita itu, hingga dalam penyesalannya Lita roboh tak sadarkan diri.
“Mama…!” Teriakan Aldo menyentakkan Safta dan Adisya. Melihat tubuh Lita tergeletak di lantai Safta dan Adisya sama-sama terkejut. lelaki itu membopong dan membaringkan Lita di samping Aldo. Adisya kemudian mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung mantan istri kekasihnya itu.
“Mama kenapa, Pa.” Aldo menangis melihat keadaan sang ibu.
“Mama tidak apa-apa sayang, sebentar lagi siuman. Aldo jangan nangis.” Safta mengusap mata putranya dengan sepenuh sayang. Ketika sadar kembali, Lita memeluk tubuh Adisya, ia sesugukan di pundaknya.
“Maafkan saya, Mbak. Saya sama sekali tidak bermaksud merusak kebahagiaan hidup Mbak.” Isaknya terbata-bata. Adisya mengusap-usap pundak wanita itu dengan penuh rasa haru.
“Ada hal-hal yang bukan merupakan kuasa kita sebagai manusia, Lita.” Lita menatap Adisya dengan mata kuyu, tatapannya penuh rasa bersalah.
“Kamu tidak sepenuhnya bersalah, aku juga tidak mesti memaksakan kehendak ketika takdir itu datang. Yang bisa kita lakukanhanya ikhlas menerima. Sehingga kita tetap menjadi manusia yang selalu bisa bersyukur.” Safta memalingkan wajah berusaha tetap jadi lelaki tegar. Walau hatinya sudah tak kuasa menolak tangis yang berkali-kali terasa sesak di tenggorokkannya.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan manusia untuk menyembuhkan luka hati yang berdarah karena disakiti cinta, tapi bila kemudian cinta mesti terengut karena keadaan dimana sebuah kehidupan sedang dipertaruhkan karenanya. Tidak ada luka yang ditinggalkan, tak ada sayatan yang membuat bekas permanen hingga ada alasan untuk prustrasi dan putus asa bahkan dendam yang terbalut dalam gelisah serta perasaan dengki yang kemudian membuat manusia jadi bodoh dan kejam.
Adisya memang merasa sangat sedih harus melepaskan Histo, Safta, Andinita. Orang-orang yang belakangan ini sangat dekat dalam kehidupannya. Tuhan masih terus mengujinya, syarat yang harus ia jalani untuk memperoleh kebahagiaan ternyata masih belum cukup. Ada rahasia lain yang mesti di urainya hingga bisa memetik bahagia. Tapi bila pun kebahagiaan duniawi memang tak ditakdirkan untuknya, masih ada kebahagiaan yang kekal abadi, yang disediakan untuk setiap insan Tuhan kelak, surgalah tempatnya. Adisya menguatkan hati, ia menerima semuanya dengan tetap belajar ikhlas.
“Aku akan menarik kembali surat pengunduran diri yang kemaren kuletakkan di meja manager.” Adisya memecah kebisuan diantara mereka. Ketika mobil sudah kembali memasuki kota bandung yang malam itu dibasahi gerimis.
“Tidak perlu Adisya.” Perempuan itu memalingkan wajah ke arah Safta.
“Kenapa?” Tanyanya heran.
“Selesai membaca suratmu, aku memutuskan tidak akan membiarkanmu pergi, apapun alasannya. Aku sudah mengambil surat itu sebelum siapapun melihat keberadaannya di sana.” Terang Safta. Adisya tersenyum samar.
“Terimakasih sudah melakukannya.”
“Bila ada yang harus berterima kasih, akulah orangnya. Bukan kamu.”
“Mari tidak membahasnya lagi, ya.” Adisya tersenyum, bagi Safta itulah senyuman termanis yang pernah dimilikinya. Ia akan berpisah dengan senyuman itu, ia tak akan lagi melihat kilatan cinta dari mata bulat dan indah milik perempuan berhati emas ini. Tapi demi kesembuhan anakku, aku ikhlas melepaskan kebahagiaan bersamanya.
Saat Safta meninggalkannya di depan rumah bercat putih dengan model klasik jaman belanda itu, Adisya membiarkan Safta memeluk dan mengecup keningnya.
“Aku mendoakan semoga kamu mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku.”
“Terima kasih. Aku juga mendoakan semoga keluargamu kelak kembali dalam kebahagiaan seperti sediakala. Mudah-mudahan Rido bisa sembuh kembali.”
“Terima kasih, sayang.”
“Kamu pantas mendapatnya, karena kamu adalah lelaki yang baik.” Bisik Adisya serak.
“Maafkan aku ya, karena di sepanjang perjalanan ke Bogor tadi siang, sengaja menyakiti hatimu. Itu kulakukan hanya karena merasa tidak terima diputuskan sepihak.” Adisya menatap wajah Safta, bibirnya gemetar menahan tangis.
“Jangan menangis, kekasihku. Jangan menangis.” Adisya merasakan betapa hangatnya pelukan Safta, jantungnya yang berdetak teratur dan lengannya yang begitu kokoh melindungi. Semoga dengan cinta yang ada di dalam dadanya. Rumah tangga mereka yang dulu sempat goyah dapat utuh kembali.
“Aku masuk.” Safta melepaskan pelukannya.
“Istirahatlah, besok semuanya akan lebih baik.” Lelaki itu mencoba tersenyum. Adisya membalas senyuman itu dengan hati terasa lapang dan pikiran yang tak lagi kalut seperti malam kemaren.
“Kamu tinggal sendiri di rumah?” Adisya menggeleng.
“Hera meminjamkan Bi Romlah, sudah dua hari dia di sini menemaniku.”
“Tidurlah yang nyenyak, Adisya.”
Ketika yaris putih susu itu telah sempurna hilang dari pandangan, barulah Adisya masuk ke dalam. Ruang tamu yang sama menyambut kedatangannya. Banyak peristiwa telah terjadi dalam ruangan ini. Dengan perabotan yang sama, Adisya telah melewati banyak hal. Kali ini ia akanmulai semuanya dari awal kembali, awal yang harus lebih indah dari sebelumnya. Ketika hendak membuka pintu kamar, Bi Romlah muncul dari ruang belakang.
“Mbak Adis sudah pulang.” Tegurnya.
“Iya, Bi. Maaf ya, saya sengaja tidak membangunkan Bibi, karena sudah larut.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Mau Bibi bikinkan apa, Mbak?” Tanya perempuan sepuh itu sopan.
“Tidak usah Bi, tadi di jalan kita sudah makan. Bibi istirahat saja, saya juga mau langsung tidur.”
“Baik, Mbak. Kalau gitu selamat istirahat ya, Bibi ke belakang dulu.”
“Iya, Bi. Silahkan.”
Saat hendak membaringkan tubuh, handphone Adisya bergetar. Ketika diraihnya ternyata pesan pendek dari Safta. Sebuah ucapan selamat tidur, Adisya membalasnya dengan kata-kata yang sama.
Tuhan berikan aku sebuah kebahagiaan, kebahagiaan yang tidak berbagi lagi dengan yang lain.
Adisya memejamkan matanya, sementara malam yang kian larut mulai menenggelamkan setiap cahaya dalam nyenyak gulitanya. Tidurlah dalam dekapan mimpi dan harapan, sebuah kata bahagia yang hilang belum tentu akan selamanya. Banyak mukjijat lain diberikan Tuhan sebagai pengganti kesedihan yang datang dari ketulusan, kesetiaan dan cinta.
BERSAMBUNG......