Aku Tak Pernah Mencintaimu

"AKU TAK PERNAH MENCINTAIMU"
Oleh: Rieska Praditya Ernaningtyas


Janji Pertemuan

Bukit Lampu di tengah gelap malam begini, terlihat sangat unik. Bila berdiri di lerengnya yang sejuk, sepanjang tatapan mata yang terlihat hanya kerlap kerlip lampu kapal dan perahu nelayan, berpijar dengan sinar berbeda. Ada yang putih bening, ada yang kemerahan, ada yang pijarnya terang benderang, ada yang redup seperti mata penganten merindu, malu-malu ingin mengisyaratkan kalau dia ada dan tetap ingin dinikmati, dicumbui oleh balutan malam yang kian dingin, menusuk hingga ke tulang. Sisi bukit gelap pekat. Syifa selonjoran di kursi teras depan villa. sudah dua hari perempuan itu di sini, dia ingin merenung sejenak. Apa yang di alaminya ini, sungguh kenyataan yang tidak tarbantahkan. Kenyataan yang membahagiakan, sekaligus membuat pusing di kepala. Syifa menemukan dua hal sekaligus. Rasa lengkap karena telah menemukan kembali sosok yang selama ini begitu dicintai, dan dirindukannya. tapi di sisi lain, ia juga harus membuat keputusan yang merubah semua jalan hidup. Kehidupan ke depan yang akan ia jalani, tidak akan pernah sama lagi, tidak akan sederhana lagi. Jalan hidup memang berliku, Syifa yakin dan percaya tidak akan pernah lelah, untuk dilewati, bila bersama dengan kekasihnya. Hanya kebahagiaan selalu tak pernah utuh datangnya. Syifa memang akan menjalani kehidupan masa depan yang jelas, dengan pintu, dan sosok lelaki, yang terlihat siap membimbing dirinya, melangkah memasuki gerbang yang terang benderang. Tapi Rumah ini dibangun dengan dua halaman dan Syifa hanya ada di salah satunya.

Sejak kepergian suaminya Hans, perempuan itu beberapa kali mengalami tekanan bathin yang hebat. Ada rahasia yang tidak pernah bisa diuraikan, dan tidak mampu diungkapkan, sehingga lelaki yang telah bertahun-tahun menemani kehidupannya itu, tidak pernah tahu satu hal, yang mungkin akan membuat goresan luka mendalam dihatinya. Hingga menutup mata, rahasia tetaplah menjadi rahasia milik hati Syifa.  Bila bukan alam yang mempertemukan mereka, Syifa yakin Abypun tidak akan pernah tahu, apa yang telah terjadi padanya. Dusta itu berawal dari sebuah kerinduan yang tidak bisa ditepis. Bayangan yang tidak bisa beranjak. Hingga kesalahan tergurat hitam di atas lembaran putih janji pernikahan.
"Aku menunggumu disini"
"Ya, aku akan datang"
"Kapan?”
"Ketika dada ini tak sanggup menampung beban rindu yang sarat”
"Aku tidak akan kemana-mana”
"Ya..aku tahu"


                                                          ******  


Udara siang cukup terik,  ketika Aby  memarkir mobil di seberang terminal kota  Cilegon  yang panas. Ia berdiri tepat di depan  "Pool Arimbi Transport"  Sudah lebih dari lima mobil Arimbi yang keluar masuk terminal,  tapi sosok yang  ditunggunya  belum juga kelihatan. Ini sudah rokok yang ketiga  yang di isap lelaki itu,  sambil selonjoran. Panas terik menghantarkan  gelegak di jiwa yang merasa harap cemas.  Janji itu adalah hari ini,  dan Aby,  sudah menunggu hampir setengah jam. Ada WorkShop "Penulis Dunia Maya” di Anyer besok, dan dia adalah salah satu yang ditunjuk sebagai panitia, karena memang berdomisili paling dekat dengan lokasi acara. Mau tidak mau,  suka tidak suka,  Aby menerima tanggung jawab itu. Ada Dua puluh orang yang bertindak sebagai penanggung jawab. Ia didapuk  menjadi  penyedia tempat,  serta pengadaan akomodasi selama acara berlangsung.  Sebenarnya Aby kurang suka keramaian, walau sangat suka mengelola room silaturahim dunia maya.  Anggota roomnya yang memiliki hobi menulis kemudian berinisiatif  mengadakan pertemuan,  untuk membahas karya-karya mereka. Pertemuan ini diharapkan bisa menjadi wadah untuk mencari solusi   sehingga apa yang mereka buat selama ini, bukan lagi hanya  tulisan mati, tapi bisa bermanfaat dalam segala hal. Iseng-iseng berhadiah, kata mereka pada Aby waktu itu. Siapa tahu malah bisa menjadi penulis yang handal. Aby tersenyum mengingat bagaimana room inilah yang mempertemukannya dengan seorang perempuan, cantik, pintar, kreatif, dan lembut hati,  bernama Syifa Risfana. Pertemuan yang diawali oleh rasa tidak suka. Hidup memang penuh misteri, dari rasa kesalpun cinta bisa mengintai sehingga mengikat hati sedemikian kuatnya.  Dari  hidup yang tersisa,  Aby tidak yakin apakah masih bisa melupakan perempuan ini, kehadirannya, dan cara mereka dipertemukan sungguh unik dan special. Getar telepon genggamnya mengagetkan Aby, serta mereta lelaki itu meraih handphone yang  dia taruh sembarangan di jok mobil.
“Aku ada di seberang jalan”.
Itu pesan yang tertulis di inbox handphonenya. Serta merta  kepala lelaki itu melongok keluar jendela,  mencari  sosok yang mungkin saja sangat tidak familiar bagi matanya . Tapi sungguh  berbeda untuk hati dan bathinnya.  Sosok yang akan ditemuinya   ini,  adalah belahan jiwanya, kekasihnya, wanita impiannya. Aby belum melihat siapa-siapa meskipun sudah keluar dari mobil dan sekarang ia agak bergegas menyebrangi jalan menuju Pool  Arimbi yang ramai dengan penumpang. Ada seorang  wanita tua dengan seorang gadis kecil,  susah payah menuruni tangga, disusul seorang lelaki berjaket hitam,  dengan tangan menggengam Koran.  Sedangkan di halaman depan Pool,  beberapa penumpang juga kelihatan sibuk mencocokan barang bawaannya,  kuatir  tertukar satu dengan yang lain. Aby yang meminta Syifa menggunakan Bis, karena bila naik Taxi pastilah wanita itu tidak tahu mau turun dimana, dan dia juga akan sangat khawatir bila kekasihnya ini malah nyasar kemana-mana. Makanya  Aby meminta Syifa naik bis sehingga pasti akan berhenti di sini dan Aby merasa itulah yang paling baik buatnya.

Beberapa  orang,  juga terlihat sudah turun dari pintu belakang  bis. Sejurus kemudian Aby  terpana,  ketika seorang wanita bergaun panjang,   berwarna hijau tosca polos,  dengan kembang-kembang maron keunguan,  di lengan dan pinggiran bawah gaunnya,  baru saja turun dari pintu depan bis Arimbi.  Kerudungnya senada,  juga hijau tosca walau lebih cerah, dengan cristal-cristal kecil di pinggirnya. Perempuan itu mengenakan kaca mata hitam lebar, sehingga hampir menenggelamkan sebagian wajahnya yang manis. Aby menyipitkan mata, mencoba menelusuri. Tubuh perempuan itu  sedang,  tidak terlalu tinggi bahkan cendrung mungil."Dia sama sekali tidak  tersenyum ketika wajahnya nyata-nyata  berbenturan dengan tatapan mataku?" bisik hati Aby. Jarak yang cukup jauh memang,  dan Aby pun ragu,  di balik kaca mata hitam lebarnya, apakah perempuan itu memang memandang  ke arahnya  atau bukan. Entah mengapa,  matanya tidak lagi mencari-cari,  diantara para penumpang yang masih saja muncul satu persatu dari pintu. Aby hanya mengikuti setiap gerakan wanita bergaun hijau tosca, yang sekarang melangkah santai. Dia tidak membawa apa-apa,  selain tas tangan yang tersampir di pundaknya. Jalannya pun berirama dan tidak kelihatan tergesa. Tanpa sadar,  Aby  mengusap dahinya  yang tiba-tiba berpeluh. Seketika rasa gugup menyergap pikiran, inikah  dia? Sungguh  sangat mencengangkan kalau memang benar. "Berapa  lama perempuan ini harus mengumpulkan keberanian untuk tekad sampai, pada kunjungannya ke kota ku? bisik hati Aby.   Jarak antara Aby dengan perempuan itu sudah tidak jauh lagi, Aby bisa melihat  wajahnya. Walau ditutupi  kaca mata lebar bewarna hitam, dan tidak tersenyum. Dia adalah wanita yang menarik , hampir tidak  berbeda   dengan yang dibayangkan selama ini. Di hadapannya  sekarang  berdiri  makhluk bergerak dan hidup, bukan  cuma sekedar  bayangan wajah yang hadir menghiasi layar monitor.  Ketika jarak mereka  tinggal beberapa meter, Aby lihat wanita itu menghentikan langkah,  tertegun, menatap penuh pada dirinya. Aby  berusaha bisa tegak berdiri, matanyapun menatap penuh.
"Aby?"
 Suara perempuan itu lembut dan hampir berbisik, tapi Aby dapat mendengarnya, dan tahu kalau wanita itu menyebut namanya. Ia sama sekali  tidak bisa menebak   ekspresi  wajah perempuan cantik didepannya.  Kacamata  yang lebar,  menenggelamkan hampir separuh wajah kuning langsat,  yang terpahat  indah,   di balik kerudung   lebar. Aby  berusaha tenang,  dan dengan pelan membalas sapaan itu. 
"Syifa"
Perempuan berbaju tosca,  melangkah kearahnya. Namun sejurus kemudian, langkahnya tiba-tiba terlihat kaku. Abypun tanpa  terasa menggenggam kunci kontak mobilnya  lebih erat. Sekarang jarak antara mereka hanya tiga langkah saja, Aby memutuskan mengulurkan tangan lebih dahulu kearah perempuan di depannya.
“Apa kabar  Syif?”
“Baik”
Genggaman Aby yang kuat dan hangat, membuat bibir Syifa mengembang membentuk senyum samar.  Hmmm... senyum  yang begitu dihafal Aby.  Senyum yang  telah begitu lama menemani malam-malamnya. 
"Mobilku di seberang sana"
Syifa tersenyum kembali,  ia berusaha menjejeri langkah Aby,  menyeberangi jalanan aspal penuh mobil besar dan kecil yang berseliweran. 
“Bagaimana perjalanannya?”.  Aby bertanya   diantara rasa haru yang tiba-tiba terasa sesak di dada.
“Baik”
“Silahkan”. Aby membukakan pintu mobil, tapi perempuan di depannya masih saja tersenyum dan tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
“Kenapa?”
“Aku masih ingin meyakinkan diri aku,By. Kalau aku memang bertemu denganmu”
Suara Syifa yang lembut, membuat jantung Aby berdetak lebih kencang. Tapi itu hanya sebentar dia cepat menguasai diri.
“lantas”
“lantas?”
“Apa yang terlihat”
“hmmm”
“Aku mengecewakan?”. Aby sengaja membuat mimik lucu di wajahnya,   dan Syifa tertawa berderai.
“Tidak, aku cepat menyesuaikan diri”
“So…..?”.
“ Aku ikut”
Syifa tertawa renyah,  dan masuk kemobil,  Aby menutup pintu dengan mulut masih penuh senyum.
Ketika mereka sampai, Pantai Anyer  terlihat  mengkilat diterpa terik matahari. Pukul dua belas lewat lima menit. Aby membawa mobil dengan santai.
“Jam berapa dari Jakarta?”
“Sembilan tiga puluh”
“Untung cuacanya bagus ya, aku pikir bakalan hujan,  karena kemaren,  satu hari penuh enggak berhenti”
“Iya”
“Pembukaannya kapan?”
“Besok sore.”  Aby tersenyum, melirik Syifa sekilas.
“Sudah Cek-In?”
“Sudah. Baru sampai  aku Cek-In dulu, selesai  beberes, baru deh ke sini”
“Pantesan nyantai banget”
“Bawa laptop?”
“Ya.... pastinya”
“Bagus,  nanti aku copykan saja semua bahan yang ada padaku”
“makasih.”  Hati Syifa terasa berdegup  kencang, rasanya sudah tidak sabar untuk  mendapatkan semua objek-objek yang dijanjikan Aby.
“Berapa orang yang ikut?”  Tanya perempuan itu
“Lebih seratus, tapi aku enggak nginep di lokasi yang sama dengan  yang lain?”
“Maksudnya, Aby enggak gabung sama panitia yang lain?”
Abyi tertawa kecil, mendengar pertanyaan perempuan di sampingnya. Dari dulu kalau ada acara-acara seperti ini,  mana pernah aku  mengikutinya.  Kalau sekarang ikut, itu  karena memang tidak ada pilihan lain, dan memang hanya aku  yang paling paham daerah ini. Dan terus terang, aku ingin sekali bertemu denganmu, Bathin lelaki itu.
“Aku enggak gabung sama mereka, aku suka jadi manusia belakang layar saja.”
“Kok gitu”
“Ya gitu.”   Aby tergelak
“Hm”
“Maaf Syif, bukan begitu. Aku orang yang selalu tidak nyaman dengan keramaian”
“Hm”
“Kok Hm, memang begitu adanya. Bila dua atau tiga orang sih, aku  masih bisa. Tapi kalau suasana rame dengan jumlah sebegini besar, terus terang aku sama sekali  tidak bisa menikmati acaranya.”  Aby melirik perempuan  disampingnya, yang dilirik malah memandang lurus kedepan.
“Terima kasih sudah menemui aku ya”
“Iya, terima kasih juga sudah susah-susah menjemput aku”
“hahaha”
“Kenapa ketawa, memang ada yang lucu?” Syifa memonyongkan mulutnya
“Enggak apa-apa.” Aby tetap tertawa, Saat ini hatinya sedang bahagia,  dan masih tidak percaya dengan pertemuan ini.
“Tunggu saja sampai  aku perlihatkan beberapa objek yang bagus”
“sekarang aja” sela Syifa.
“Sekarang?”
“Iya, mumpung acara belum mulai”
“Kalau begitu ke tempat aku saja dulu”
“Memang Aby  nginep dimana?”
“Di Ambarukmo, enggak  jauh sih,  dari tempat acara berlangsung, masih di desa Karang Bolong juga”
“Oo,  pantesan  tetap bisa memantau jalannya acara”
“Betul banget”
“Tapi tetap  saja  aneh.”   Aby tertawa, mendengar komentar Syifa.
“Panitia kok malah ngumpet”
“Laa....biarpun di sini aku tetap bertanggung jawab kok, bila diperlukan”
“Hm.. Begitukah?”
“Tentu.”  Syifa tergelak, Aby  juga. 
Tempat penginapan Aby,  sangat  apik.  Sebuah kamar deluxe, dengan satu sofa besar,  terlihat nyaman dari pintu kaca besar transparant. Mereka duduk di balkon yang menghadap langsung ke pantai Anyer yang nyaman. Di halaman, rumput hijau seolah menjadi hamparan permadani,  mengalas akar pepohonan kelapa yang tumbuh saling berdekatan. Sungguh suasana yang membuat tentram di jiwa dan pikiran.  Suasana yang mampu  mengundang keinginan  menulis, menuangkan segala keindahan alam ini,   keatas kertas putih,  sehingga berubah menjadi puisi, atau sekedar artikel sebuah perjalanan liburan. Sungguh maha karya Allah yang tak bisa diurai dengan kata-kata.
“Melamun”
“Mengkhayal." Syifa tergelak, menerima minuman kaleng yang disodorkan Aby padanya.
“Tentang apa?”
“Alam”
“Ooo”
“Kok Ooo?”
“Aku pikir menghayal tentang kita.” Syifa mencibir, mengernyitkan muka dan tergelak mendengar komentar Aby,  tapi setelah itu hatinya tiba-tiba ciut, ingat  mereka di sini hanya berdua. Banyak hal yang dibicarakan,  membuat canggung hilang.  Tetapi ketika Aby  menyinggung  tentang keadaan mereka, wanita bergaun hijau tosca itu merasakan dadanya berdebar tidak menentu. Aby berjalan mendekat, menarik satu kursi jati yang masih tersisa lebih dekat ke meja.Syifa memperhatikan lelaki di depannya membuka Laptop,  dan mulai  terlihat asyik mengcopy  beberapa file dari flash disk ke laptopnya.
“Beberapa alamat web yang bisa dikunjungi ada  di sini”
“Hmm…iya”  Syifa berguman
“Isinya lengkap, ilustrasi tempat, foto-foto pendukung.”
Aby juga merasakan perubahan sikap perempuan yang duduk di sebelahnya.Makanya sert merta lelaki itu mengganti topik pembicaraan, melihat  perempuan cantik ini diam, sungguh membuat hati jadi tidak enak. Dia tidak suka kekakuan ada diantara mereka. Aby suka suasana seperti tadi,  yang terasa akrab dan saling mengerti satu dengan lainnya. Tapi dia melihat Syifa semakin lama semakin diam.
“Kenapa?”
Syifa tersenyum, wajah lelaki didepannya sungguh tidak asing, tapi saat ini jadi terasa aneh, setelah wajah itu memiliki suara dan begerak tepat didepannya.
“Aku masih belum sadar sepenuhnya, bahwa saat ini kita benar-benar bertemu”
“Begitukah?” Aby mengeryitkan dahinya
“Iya, aneh aja melihat Aby  dihadapan aku, bukan dilayar monitorku”
“Hmmm, begitu ya?”
"hmm...iya"
"Jangan terlalu dirasa-rasa"
"Enggak  dirasa-rasa, tapi terasa sendiri" Syifa tersenyum kecut. Aby menghentikan kegiatannya, 
"Lalu apa yang harus aku lakukan supaya Syifa tenang?'
Mata Syifa bulat penuh menatap padanya.
"Ga ada, aku saja yang harus membiasakan diri kayaknya By"
"Syif"
"Ya"
Aby meraih wajah Syifa,  dan mengusap sisi wajah perempuan itu dengan lembut. Gerakan yang tiba-tiba dan sama sekali tidak diduga. Lama  mata mereka saling bertaut. Syifa diam Aby pun bungkam. Ketika dengan lembut Aby menyentuh bibir kekasihnya, Syifa tak sanggup berkata-kata, atau sekedar menepispun tidak. Perempuan itu  hanya mampu memejamkan mata,  menerima semua keindahan dari dahaga yang bersambut.


===============

* ) " Mungkin aku tidak seindah kelopak  mawar atau tak seputih dan sesuci kembang  melati, tapi ijinkan  aku mencoba     memberi yang terbaik menurut kapasitas diriku yang jauh dari sempurna, untuk mencintaimu, bersemayam dalam hati     sebagai kekasih impian hingga akhir menutup mata."
*) "Kau tau......???.  Aku tak punya apa-apa yang bisa membuat semua menjadi lebih baik. Tapi aku punya kejujuran  atas cinta ini.......apakah kau mau memilikinya...????


                          ******
                                                       

Hati yang Terluka

Aby  menggeliat, merentangkan  kedua  tangannya.   Membuka  mata,  sesaat  kemudian  menutupnya kembali.  Gorden  kamar   kuning  gading  masih  tertutup  rapat,  sehingga matahari tidak bisa mengintip masuk,   membagi  cerahnya.   Kepala  Aby  terasa  berat  masih  digayuti  kantuk. Sejenak lelaki itu malas-malasan, tapi saat dia merasa  sadar  sepenuhnya, Aby terlonjak bangun, memandang kesekeliling.  Kamar ini kenapa  cuma   ada  dirinya? bukankah  sebelumnya. ..
“Ya Tuhan….Apa  yang  sudah  terjadi?”  bathin lelaki itu.
“Syifa ……, dimana  Syifa?”
Aby  bangkit  berdiri  tapi  segera  sadar  keadaan. Tubuhnya    hanya  berbalut  selimut  tebal  berwarna putih tulang. Dipungutnya  pakaian  yang  ada  disisi  tempat  tidur,  lalu mengenakannya.  Lama Aby  hanya terduduk,  sambil menutup  wajah  dengan  kedua  telapak tangan.  Bagai slide semua  berkelebat   kembali.  Oh……alangkah indahnya,  begitu menakjubkan,  begitu memukau.  Tapi kenapa  Syifa meninggalkannya begitu saja.  Tak ada kata,  tanpa  ada pesan.

Hanya  butuh  empat  puluh  lima  menit, Aby  sudah  memacu  mobilnya  menuju  lokasi  acara. Hotel Mambruk Anyer, terlihat  dikejauhan,  ketika mobinya memasuki desa Cikoneng.  Jalanan yang masih lengang membuat Aby bisa memacu mobil lebih kencang lagi.  Hatinya diliputi kecemasan.  Entah mengapa.  Loby  hotel  sepi  ketika Aby masuk,  hanya ada dua tamu sedang membaca Koran dan  Resepsionis  juga  kosong.  Lelaki  itu memencet  bel, tak berapa  lama  kemudian, muncul  seorang  gadis  cantik  dengan  gaun  batik  warna  ungu,  dilehernya  terbelit  scraft  warna-warni  cerah.
“Ada  yang bisa   dibantu   pak?”   Tanyanya  pada Aby.
“Mau Tanya,   Bu Syifa  di kamar nomor berapa ya?”
“Sebentar Pak”    gadis  berbaju  ungu  mengecek buku tamunya, dan sesaat kemudian  mengangkat kepala.
“Maaf Pak, sepertinya  Bu  Syifa  sudah  Cek-Out   tadi  pagi, katanya ada  urusan  mendadak  di Jakarta”
Aby  merasa  ada  yang memukul dalam kepalanya.  Rasa kecewa dan marah yang membuncah.  Banyak pertanyaan menohok–nohok  hati. Kenapa?….kenapa?……kenapa?….kenapa melakukan ini Syifa, kenapa  sayang,  kenapa…?????

Dengan gontai Aby meninggalkan haltar parkir, menyetir mobil perlahan,  meninggalkan halaman  Hotel  Mambruk,  memasuki   jalanan  aspal sepanjang  pantai  anyer  yang  terlihat indah dikejauhan. Aby memacu mobilnya lebih kencang lagi, dijalanan yang berkelok dan  menurun.  Masih terlalu pagi, tapi hatinya sudah demikian murung. Sarapan tak disentuhnya sama sekali, bahkan ketika matahari sudah diubun-ubun siang,  berkali-kali handphone yang tergeletak diatas ranjang bergetar berputar-putar minta respon darinya, tetapi  laki-laki itu  melihatpun tidak.  Didalam kepalanya hanya  ada satu kata saja yaitu …Syifa…Syifa dan Syifa.

Sedih atau tidak , suka ataupun tidak suka,  acara tetap berlangsung.  Menjelang sore semua peserta sudah berkumpul di taman belakang hotel. Sebuah saung besar begitu artistik berdiri diatas hamparan hijau rerumputan. Ada pohon  aru yang  rindang diselingi oleh pokok kelapa tinggi menjulang,  mengirimkan angin semilir,  sehingga membuat suasana tetap nyaman, meskipun matahari sore masih cukup terik menyoroti laut,  yang memantulkan kembali cahaya sisa siang itu,  kesemua mata yang berada dipinggir pantai Anyer.  Suasana hingar binga, penuh tawa dan canda. Bahkan ada juga yang saling berjabat tangan dengan wajah ragu dan malu-malu. Beberapa diantaranya malah terlihat berdiri kaku dan canggung. Tapi  sorot mata mereka semuanya terlihat begitu antusias,  antara rasa penasaran, dan ingin tahu yang besar, begitu juga  rasa tak percaya bahwa inilah wujud asli dariWarga Room  Dunia Maya mereka.

Sore itu Aby mengenakan  T-shirt warna biru muda, dipadu jeans  yang terlihat pas ditubuh atletisnya.  Kacamata yang bertengger diwajah tampan itu,  terlihat menambah kharisma dan kesan  berbahaya.  Wajah lelaki sejati.  Wajah yang selalu tak ingin dibantah, dan menyiratkan kalau karakter  pemiliknya cukup keras. Tapi ketika bibirnya tersenyum,  semua  kesan  berbahaya itu   luntur  seketika.  Beberapa  waktu  Aby  terlibat  pembicaraan,  sedikit tersenyum dan terbahak. Tapi  itu tidak berlangsung lama, lelaki itu kemudian mengundurkan diri,  menyelusup diantara  keramaian mencoba mencari  dunianya  kembali. Sambil memainkan kunci mobil ditangannya  Aby  melangkah perlahan, tapi  seketika  dia  tertegun  saat  merasa  seseorang  menjamah  pundaknya.
“Mau kemana By?”
Seorang  perempuan  bergaun   hijau lumut  menjejeri  langkahnya.
“Mencari ketenangan”
“Apa?”
Wanita berwajah putih bersih berlipstik pink tipis itu terbelalak.
“Kok kaget?” Tanya Aby.
“Iyalah,  mencari  ketenangan  kok  malah  ikut  dalam  acara  seperti  ini,”
“Ya,  resiko”
“Resiko?”
“Iya”
“Kok?”
Aby tergelak, melihat  perempuan  disampingnya bengong.
“Ibu dari mana?” Abi bertanya , mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aduh jangan panggil ibu donk, panggil aku Mila”
“Ya Mila, dari mana?”
“Pekanbaru”
“O….Sumatra  ya?”
“Iya”
 “Terus terang aku sangat terhibur dengan Room yang Aby buat. Beberapa teman bahkan   sempat mengunjungi aku dan kami sudah seperti keluarga.   Aby sangat pandai membuat room ini hidup dan menjadikan semua warganya merasa dekat satu dengan yang lain.  Dekat,   seperti  sebuah keluarga besar.”
“Ibu…eh  Mila berlebihan”
“Enggak berlebihan, cuma…..”
“Cuma apa?”
“Dikenyataannya, Aby  ternyata  engga  begitu  friendly.”
“Maksud Mila?”
“Ya……Aby  terlalu diam, dari yang seharusnya,  setidaknya  dari  yang  aku  bayangkan  selama  ini”
“Oh”
“Oh?”
“Laa….aku harus  bilang  apa?,  kalau  Mila sudah menilai aku begitu,  ya bisa jadi begitu”
“Idihhhhh…….payah,   Aby payah..”
“Emang, dari dulu juga  udah  payah”
“Haahahaha”
Mila  tertawa lepas, dan lelaki itu mengeryitkan dahi  heran.
“Kenapa  Mila  tertawa?”
“Hihihi..kalau  jawaban yang ini,  memang Aby banget”
“Maksudnya”
“Iya,  kalau koment  ini, emang  Aby banget  deh. Di  room  kan suka nulis ini juga”
“O…”
“Idihhhhhh” Mila memukul pundak Aby,  kesel dengan sikap cuek yang bikin dia tambah penasaran, dengan  sosok  ganteng  berkarakter  aneh  tapi  memikat ini.
“Aby  sengaja  ya?”
“Sengaja  apa?”
Mila tergelak,  melihat sikap lelaki disampingnya.
“Sengaja  bersikap  seperti  ini, biar lain sendiri,  jadinya   berkesan  lebih  dalam bagi  orang lain?”
“Huahahahaha” gantian Aby yang tebahak mendengar kata-kata barusan.
“Ketawa…….., jadi bener ya?”
“Jauh banget…… ya bukanlah, aku memang tidak suka keramaian itu saja. Kalau soal menarik atau tidak bagi orang lain,  bodo”
“hmmm…” Mila kaget juga, mendengar akhir kalimat Aby. Sedikit kasar, tapi itu tidak menyurutkan hatinya  yang  terlanjur  suka  dengan  penampilan  aneh  lelaki  ini.
“By….”
“Ya”
“Kalu Mila undang  Aby suatu saat,  Aby mau datangkan?”
“Undang?, undang kemana?”
“Ke kota aku donk, seandainya ada acara keluarga, atau acara kumpul-kumpul?”
“O..”
“Mau datang kan By?”
“Engga”
“Lho…..kok  Aby  jawabnya  begitu” Mila  menekuk  muka, kesel  mendengar  jawaban  seenaknya itu.
“Enggak mungkin, “
“Memangnya  kenapa?”
“Aku tidak bisa,  anakku masih kecil-kecil  dan aku tidak  biasa meninggalkan mereka”
“Lho bukan ada mamahnya,  ada baby sitter”
“Itulah,  aku tidak  pernah percaya sama yang namanya baby sitter. Dan istri juga seorang wanita karier jadi  ya  enggak mungkin aja”
“Jangan bilang Aby ikut menjaga anak-anak lho”
“Hmm…memang  kenapa  kalau  aku  ikut  menjaga  anak-anak.  Mereka kan  anak  aku  sendiri?”
Mila tidak bicara lagi,  percuma  bathinnya.  Sosok  Aby jadi tidak menarik lagi karena terlalu cuek dan hati  perempuannya  terlanjur  kesal,   dengan  penolakan yang  nyata-nyata  seperti   tadi. 
“Aku  mau  bergabung  dengan  yang  lain, Aby  mau  bantu  mengantar  aku  kesana?”
“Ya tentu,  Mila takut ya?”
“Hm”
Mila merasakan kelembutan kata-kata terakhir  yang keluar dari bibir Aby, sangat menyentuh hatinya. Tapi sudahlah. Mila sudah tak berminat melanjutkan. Mungkin laki-laki  ini memang hanya  enak buat dinikmati  di dunia maya saja. Kalau didekati secara personal,  sangat membuat  tidak nyaman.

Bukan hanya dipertemuan itu saja Syifa tak ada. Di layar monitorpun perempuan itu lenyap tidak tahu kemana rimbanya. Aby menjalani keseharian dengan senjang, tidak mudah melupakan sosok wanita ayu  dengan tutur kata lembut dan malam yang special. Tapi hidup terus berlanjut, bulan bergulir dengan cepat, hanya ternyata melupakan memang tak pernah semudah  menemukan.  Kehidupan dilewati  Aby seperti biasanya,  tidak ada yang aneh. Dia masih mengasuh room itu dan  rutin mengupload  kegiatan  setiap anggotanya. Membagi tautan-tautan yang  berguna dan bermanfaat dalam mengasah bakat dan talenta  warga room itu. Dalam  kehiduapn sehari-haripun. Aby masih beraktifitas seperti biasa. Perusahaan jasa Advertising yang digelutinya cukup menjanjikan.  Semakin hari semakin banyak pelanggan yang memakai jasa iklannya. Rahayu istrinya juga baik-baik saja.  Masih bekerja  sebagai asisten apoteker,  dan sering mendapat shift  malam.  Pekerjaan yang digelutinya hingga malam terkadang sering membuat  Rahayu telihat mengabaikan anak-anak.  Dan hal  Itu pula yang selalu menjadi  satu dari sekian  banyak pemicu pertengkaran diantara mereka.

Aby baru kembali dari klien,  ketika ditemukannya  Chika menangis.  Ternyata jari gadis kecilnya melepuh terkena lilin yang meleleh.  Aby terkejut melihat balitanya yang baru berusia 3  tahun, bermain lilin hanya ditemani Abangnya yang juga baru berusia 7 tahun.  Kemana Rahayu?  Bukankah hari ini dia libur, setelah kemaren dines malam hingga pagi. Ketika Aby masuk kekamar,  didapatinya Rahayu berbaring,  tapi mata wanita itu  tidak terpejam.
“Mama enggak dengar,  kalau  Chika menangis?” Abi bertanya  dengan  suara keras.
“Iya sebentar”
“Jari Chika melepuh  Ma, kok Mama bisa santai begitu? Lagian kenapa Chika dibiarin main lilin sendiri sih?”
Aby berusaha menahan amarah,  melihat istrinya dengan santai turun dari ranjang, dan menggendong Chika.  Wanita yang telah mendampinginya  selama sepuluh tahun itu cuma diam, sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Aby, dan memang selalu begitu. Terkadang  justru kediaman istrinya itulah yang  membuat Aby tidak tahan. Sungguh  dia tak pernah tahu apa yang ada dalam hati Rahayu,  sehingga begitu acuh terhadap sekitarnya.  Apakah  pekerjaan  yang digeluitinya  begitu  membuat  capek?

Aby  berusaha menenangkan hati menarik nafas dalam berkali-kali. Dia tahu, apapun bentuknya, amarah  sebenarnya tidak pernah baik dijadikan  alat untuk memecahkan persoalan dan menjawab pertanyaan yang ada dikepala. Rasa jenuh terhadap sikap Rahayulah yang kemudian membuat Aby tenggelam lebih jauh dalam pekerjaan dan hoby  onlinenya, selain memang banyak hal yang  bermanfaat  dalam  menggali  kreatifitas  berkarya  diperoleh   Aby  dari hobynya  ini.

Membuka Facebook  selalu membuat pikiran lelaki itu kembali pada  bayangan seraut wajah ayu, yang  telah memikat hatinya. Suara yang lembut, tatapan mata  yang teduh.  Apakah  ada cara,  supaya dia bisa melupakan?.  Sungguh tak nyaman ketika hati diliputi amarah begini, rasa rindu pada sesuatu yang telah begitu lama tidak hadir juga datang mengganggu pikiran. Saat  Aby memeriksa berandanya membaca beberapa status, lelaki itu serta merta mengerutkan dahi.

"Kadangkala kita tersenyum sekadar untuk menutup luka dihati dan kadangkala kita tertawapun hanya untuk mengobati kesedihan dalam diri. Adakalanya kitapun  melangkah dengan penuh keyakinan  sedangkan perasaan goyah menunggu rebah. Bahkan saat  menangispun  tak pula seorangpun boleh tahu”

Abi membaca status yang tertulis  diberandanya.  Apakah dia bermimpi, melihat profil itu muncul diantara daftar teman-temannya yang online?  Alangkah inginnya Aby  “mengunjungi,”  Tapi tiba-tiba,  hati lelaki itu diliputi keraguan. Sudah lebih tiga bulan.  Tidak ada kontak sama sekali diantara mereka. Aby menghisap rokoknya dalam-dalam,  dan menghembuskan asapnya.  Asap putih keabu-abuan itu berkejaran seperti wedus gombel dari kawah gunung berapi menerjang permukaan layar,  berputar-putar  kemudian perlahan  buyar . Dan mata lelaki itu terbeliak ketika di monitor, sebuah icon senyum  hadir dengan tulisan singkat.
“Hai”
Aby menelan ludahnya yang tiba-tiba kelat. Ada sebongkah rasa marah melintas, tapi dia mengenyahkannya,  karena  rasa ingin tahu jauh  lebih besar. Kenapa dia ditinggalkan. Itu pertanyaan yang sekian waktu , dan belum  memperoleh jawaban.
“..?”
 Aby menjawab hanya dengan sebuah tanda baca.
“Assalamu’alaikum wr wb”
“Alaikumsalam wr wb”
“Bagaimana kabarnya By?”
“Baik”
“Maafkan aku ”
“Untuk apa?”
“Aku mencintaimu By”
“Iya aku tahu,  makanya aku ditinggalkan begitu saja”
“Aby salah”
“O…jadi  siapa yang benar?”
“Aby,  aku…”
“Apakah  kamu akan  membuat suatu keputusan Syif?”
“Aku mencintai  Aby,  tapi aku menginginkan cinta yang halal”
“ya..tapi  saat  ini,  apa masih ada yang  halal?”
“jadi, …?”
Sekelebat  rasa  aneh  menjalari hati  lelaki itu, ada apa?. Kenapa Syifa tiba-tiba menghubunginya  dan  Aby tidak sempat melanjutkan renungannya,  karena apa yang muncul  dilayar monitor lebih  mengejutkan lagi.
“Aku ingin Aby menikahi  aku”
"Apa..?"
"Aku minta,  nikahi aku By"
“Tiga bulan lebih meninggalkan aku tanpa kabar,  tiba-tiba  kamu minta dinikahi?”
“Bukankah Aby mencintai aku”
“Ya…”
“Apalagi?   aku minta,  nikahi aku”
“Tidak segampang itu Syif. Tidak mudah  untuk mewujudkannya”
“Kenapa?”
“Karena banyak sekali yang akan dikorbankan”
“Bukankah Aby  dan  istri  sudah  tidak cocok lagi"
"Hmm..."
 "Aku  bersedia menerima  anak-anak”
“Masalahnya bukan pada diriku Syif, tapi anak-anak. Mereka masih terlalu kecil  untuk dipisahkan dari ibunya.  Apapun kondisinya  Rahayu adalah ibu dari anak-anakku. Kalaupun aku  sudah kehilangan begitu banyak rasa cintaku padanya tidak demikian dengan anak-anak”
“Aku akan memperlakukan mereka seperti anak-anakku sendiri” 
Aby tercengang membacanya. Tiga bulan tidak bertaut, tiba-tiba Syifa mengunjunginya dengan topik yang  berat, terus terang  Aby  belum siap.
“Syifa,  engkau adalah wanita yang lembut dan baik. Bagiku engkau adalah matahari, dan tetaplah jadi matahari   yang  bisa menerangi  dan memberi  hangat  pada sekitarmu.”
“Maksud Aby?”
“Kita sama-sama saling mencintai. Tapi bukan hanya aku yang mencintaimu Syif, suamimu juga”
“Ya, lalu apa masalahnya. Aku siap meninggalkan suami,  kalau Aby menikahi aku”
“Apa kamu bener-bener sudah tidak mencintai suamimu lagi?”
“Bukan soal cinta By, tapi…..”
“Aku harap kamu mengerti Syif, aku sangat mencintai anak-anak. Aku ikhlas mengorbankan diri dan rasa cintaku padamu demi mereka”
“Hmmmm……begitukah”
Syifa kecewa, hasratnya untuk menyampaikan hal yang sebenarnya lenyap, karena percuma, Aby sudah menutup jalan untuk itu, pernyataan Aby barusan menyadarkan syifa. Seharusnya dia tak pernah menghubungi Aby apapun yang telah terjadi dan menimpa dirinya.
Nun diseberang yang jauh,  Aby juga  tercenung lama, tidak percaya apa yang barusan dibacanya. Begitu tiba-tiba.  Rahayu yang cuek dan Syifa yang menawarkan sebuah jalan keluar?. Aby merasakan kepalanya berdenyut.  Dia sangat mencintai perempuan ini, rasa cinta yang dirasakannya bukan cinta biasa. Bukan sekedar pelampiasan rasa  sepi dari hubungan yang  tak harmonis antara dirinya dan Rahayu. Tidak, bukan itu. Tapi meninggalkan semua yang sudah sekian lama dijalaninya bersama,? dengan dua buah hati yang sudah ada diantara mereka. Aby tiba-tiba merasa sangat kejam bila melakukan itu pada keluarganya. Hatinya sakit mendapati syifa terluka, tapi  tubuhnya ngilu membayangkan kedua buah hatinya terengut jauh dari kasih sayang sang bunda.  Pada dasarnya Aby tak pernah siap berpisah dari anak-anaknya, bidadari kecilnya, apalagi bila membayangkan ibu mereka membawanya pergi  ketika perpisahan itu terjadi.
“Aby  ternyata tidak benar-benar mencintai aku.”
“Syif bukan  begitu,  dengar penjelasanku dulu”
“Enggak  perlu  By, Aku sudah tahu maksudnya. Aku sudah tahu selama ini,  sebagai apa aku bagi Aby?”
“O ya …sebagai apa?”
Tak ada sepotong katapun yang muncul dilayar. Aby terhenyak, apa yang harus aku lakukan buat menenangkan  keadaan ini, mengapa jadi kacau, mengapa  ketika aku susah payah menahan emosiku pada Rahayu,  Syifa malah menuntut yang bukan-bukan?  Pernikahan butuh pemikiran yang panjang, bila keadaannya  seperti sekarang.  Kalau saja Syifa tahu bagaimana galaunya hatiku tiga bulan ini karena  kehilangan yang dalam.
“Bodohnya aku, selama ini percaya dengan rayuan Aby”
Lelaki itu melotot membaca tulisan di depannya. Ia tak percaya syifa sanggup menulis kata-kata itu
“Syifa, aku tidak merayu?”
“Jangan kuatir By, aku berjanji engga akan mengganggu  kehidupan Aby lagi. Ini resiko yang harus aku tanggung  sendiri  karena  sudah  berani  mencintai suami orang”
“Syif..jangan katakan itu, aku yang jatuh cinta, aku yang  memulai semuanya”
“Aby tahu, kalau aku ikhlas menjadi  istri  kedua  Aby,”
“Aku tahu, aku bahkan sama sekali tidak keberatan kalau kamulah istri pertamaku, tapi”
“Apakah memang hanya kata “tapi”  yang bisa aku miliki By?”
“Syif,  tenangkan hati dulu, kamu terbawa perasaan”
Aby merasakan ngilu didada.  Bagaimana menjelaskan semuanya pada perempuan yang sedang kacau. Bagaimana menenangkan kalau jarak diantara mereka begitu jauh, bila dekat mungkin sebuah sentuhan dan tatapan mata yang menentramkan  akan membantu sedikit banyaknya. Tapi sekarang?  Aby pusing  memikirkan cara apa yang bisa membuat Syifa mengerti.
“Cinta memang  tidak perlu balasan, aku salah menuntut sesuatu yang memang bukan hakku”
“Syifa hentikan”
“Aku tidak akan menghubungi Aby lagi. Aku sudah paham semuanya”
“Syifa, aduhh..dengarkan aku dulu. Tidak seperti itu. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Apa kamu fikir mudah ditinggalkan begitu saja. Ditelantarkan tanpa berita.  Menunggu yang tak pernah pasti?. Aku juga sangat menginginkan,  apa kamu impikan.  Tapi kita bukan lagi  sosok  sendiri. Yang hanya memiliki kebutuhan pribadi. Kita sudah memiliki tanggung jawab. Ada yang mesti dipertimbangkan. Kalau hanya untu diriku, tak akan ada yang diragukan. Aku  dengan segenap jiwa raga memilihmu. Hanya dirimu, karena kamulah yang pertama bisa membuat aku tunduk dan menyerah, merindu dengan hati resah. Membayangkan dengan hasrat menggebu”
“Cukup”
“belum”
“Aku  tidak mau  mendengar lagi”
“Begitukah?  Apa yang bisa membuat kamu tenang, katakan padaku”
“Aku sudah salah menjatuhkan pilihan pada hatimu By”
“Jangan berbohong, karena semua kebohongan hanya akan menyakiti. Bukan Cuma buat dirimu Syif,  tapi aku juga. Cuma bila kebohongan yang bisa menjadi jalan keluar untuk masalah ini, maka aku akan melakukannya buat kamu”
Aby, putus asa membaca apa yang ditulis Syifa setelah itu, semua berisi untaian kata penyesalan dan air mata. Aby sangat tahu kalimat itu adalah pelampiasan akan keinginan yang tak sampai, karena semua kata itu adalah suara hatinya sendiri.  Jeritan kalbunya juga. Cuma lelaki ini merasa semua harus dihentikan. Tak baik  berlarut-larut  dalam ketaknyamanan. Selama ini dia sudah terbiasa berkorban. Kalau kali ini dia mengorbankan hatinya kembali ,  sepertinya sudah tidak  masalah lagi. Karena terus terang  realita kehidupan memang tidak  memberinya  banyak  pilihan.
“Baiklah Syif, dengar baik-baik apa yang akan aku katakan”
“Apa”
Aby sedih membaca tulisan yang nadanya ketus ketika sampai dihati, memang mereka tidak saling menatap, tidak berada ditempat yang sama.  Semua serba terbatas dan berjarak.  Tapi Aby merasakan nuansa  marah yang  berlebihan  dan  terluka  yang  begitu  dalam.
“Aku tak pernah mencintaimu”
Aby menuliskan kata itu dengan rasa sedih, bahkan jemarinya sampai gemetar ketika menekan tuts keyboard  perlahan, satu persatu, huruf demi huruf, dan hasilnya luar biasa. Tidak ada lagi jawaban,  tak ada kata-kata penuh emosi atau lagu bahasa putus asa.  Layarnya kosong, hening sesaat, sehingga Aby melanjutkan.
“Aku tak pernah menyayangimu Syif, jadi aku ikhlas kalau memang engkau ingin mengakhirinya”
“Aku sudah terbiasa gagal, aku sering menelan kegagalan, kesedihan,  kesialan,  keputus asaan. Jadi kalau hari  ini aku mencicipinya kembali,  tidak masalah. Aku tidak akan terkejut.  Karena aku telah begitu hafal rasanya”

Betapa banyak  manusia menyalahgunakan dan mengotori kata “cinta” yang sesungguhnya amat indah dan suci. Hampir semua orang mempunyai pandangan dan keinginan  memaksakan cinta.   Hanya saja bedanya,  ada yang bersikap halus dan ada pula sebagian orang  yang bersikap kasar. Cinta yang didengung-dengungkan selama ini, benarkah itu cinta? Ketika kita berani bersumpah bahwa kita mencintai, Maka hati kemudian jadi egois,  menginginkan agar orang yang kita cintaipun membalas cinta dengan sama besarnya, bahkan lebih dari itu, kita menginginkan orang yang kita cintai dapat  menyenangkan hati,  melayani jiwa,  memenuhi hasrat,   dan  kemudian cintapun semakin menuntut agar  hanya kitalah yang dilihat, yang terlihat,  jangan menoleh kepada orang lain lagi. Bila semua keinginan ini dilangga, walau  satu saja dari sekian kehendak cinta, yang tak terpenuhi, “cinta” kemudian merubah diri  menjadi  kebencian  yang  penuh dengan cemburu dan kecewa.

Apakah ini cinta? Ataukah ini hanya merupakan suatu cara untuk memenuhi keinginan hati, dalam memenuhi kesenangan, baik kesenangan lahir maupun bathin?  Aby dapat melihat airmata mengalir di pipi tirus Syifa, bayangan yang selalu dan akan selalu menyiksa,  bila semakin dipikirkan. Sungguh tidak berbeda jauh,  bahkan mungkin sama seperti hatinya yang juga tertoreh karena luka yang dibuatnya sendiri. Tak ada jalan lain. Hanya jalan ini yang dimilikinya. Mengorbankan diri, membohongi hati, karena tak ingin cinta ini memberikan banyak luka lain yang lebih tidak siap akan datangnya perubahan.

Malam  menjatuhkan  diri  lebih gelap, dan Aby berharap semua luka dapat tersimpan dengan baik. Lelaki itu tak sanggup berjanji, tak mampu memberikan  kata pasti,  bahkan buat kenyamanan hati dan hidupnya sendiri. Terkadang  takdir memiliki tangan yang kejam, merengut semua keindahan,  walaupun  hanya sepotong impian yang baru dan begitu manis tereguk. Sepertinya banyak scene kehidupan yang memang ditakdirkan buruk pada perjalanannya,  diberikan untuk membuat  jiwa jadi tegar? Atau malah terpuruk  lebih  dalam  pada keterasingan.


Menjalani janji hati
“Baiklah Syif, dengar baik-baik apa yang akan aku katakan”
“Apa”
“Aku tak pernah mencintaimu”
“Aku tak pernah menyayangimu, jadi aku ikhlas kalau memang engkau ingin mengakhirinya”
“Aku sudah terbiasa gagal, aku sering menelan kegagalan, kesedihan,  kesialan,  keputus asaan. Jadi kalau hari  ini aku mencicipinya kembali,  tidak masalah. Aku tidak akan terkejut.  Karena aku telah begitu hafal rasanya”

Berkali-kali penggalan percakapan itu bergaung di kepala Syifa, dia tidak melanjutkan pembicaraan. Perempuan ini memutuskan off.  Sedihnya  begitu  dalam. Luka dihatinya yang memerintahkan untuk tidak  berharap lagi. Oooooh…..Syifa…Syifa,  apa yang telah kau lakukan?  cinta apa yang telah kau jalani? Apakah benar dalam urusan yang dinamakan “cinta” selalu bermuara  kepada hubungan seks. Seolah-olah dalam persoalan cinta kasih antara pria dan wanita, hanya seks itulah semata-mata tujuannya. Benarkah ini? Ada pula yang mengatakan bahwa cinta kasih adalah pengorbanan, atau kewajiban, dan sebutan serta berbagai ungkapan lainnya. Ada pula yang menganggap bahwa tanpa cemburu, tidak ada cinta. Begitu banyak perumpamaan, dalil dan ungkapan  kacau-balau yang kemudian dikemukakan dan semua anggapan itu hanya mempunyai satu dasar, semata-mata  membela kepentingan “AKU”  dalam  mengejar kesenangan. Mengapa kita tidak berani membuka mata,  melihat segala kepalsuan sendiri? Mengapa? Tanpa adanya kesadaran akan kepalsuan diri, betapa mungkin kita akan dapat mengalami perubahan?

Jelaslah bahwa nafsu birahi saja, bukanlah cinta,  bahwa cemburu, kekecewaan, kebencian, dendam, kesengsaraan, permusuhan, semua ini tidak terkandung dalam cinta dan bukan cinta apalagi kasih sayang. Untuk dapat mengalami cinta kasih, semua penghalang,  baik cemburu, kebencian, kepentingan pribadi atau pengejaran kesenangan diri,  haruslah lenyap sama sekali. Seks bukanlah sesuatu yang jahat, bukanlah sesuatu yang kotor. Sama sekali bukan. Seks adalah  sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat wajar, sesuatu yang amat suci apabila dilandasi oleh cinta kasih. Tetapi, apabila menjadikan diri sebagai hamba yang terlalu memuja seks, maka sesuatu yang murni itu akan berubah menjadi sesuatu yang amat kotor.

Syifa membiarkan buliran bening membasahi permukaan wajahnya. Matanya memandang jauh, menyeruak kegelapan. Mencoba mendapatkan jawaban. Dari pertanyaan tentang cinta kasih yang suci, hawa nafsu dan kepalsuan. Tidak mungkin palsu, cintanya pada Aby adalah cinta yang suci dan bersih, Syifa tak peduli dari mana asalnya, apa pangkatnya, tampan atau bukan wajahnya. Kalau terjadi sesuatu yang buruk kemudiannya, itu semata-mata karena khilaf dan keliru dari rindu yang berlebih. Syifa menelan ludah yang terasa pahit di mulut. Dan bila benih cinta kasih yang telah salah tersemaikan menjadi konsekwensi atas kesalahan mereka,  Syifa memutuskan tidak melanjutkannya dengan kesalahan baru, dia akan merawat janin ini baik-baik. Biarlah orang tuanya bersalah,  tapi cikal bakal bayi ini sama sekali tak berdosa. Dia akan tetap terlahir suci, walaupun bapaknya sendiri tidak mau mengakui dan menerima. Bayi ini masih punya ibu, ibu yang memiliki kasih sayang yang tak  padam ditelan waktu.

Lebih dari dua belas tahun pernikahannya dengan Hans,  Allah belum mengkaruniakan buah hati ada diantara mereka. Hans lelaki yang baik,  berperilaku lembut kepada istrinya. Syifa suka dengan semua yang telah dilaluinya bersama laki-laki itu. Cuma belakangan kesibukan menjadikan mereka berjarak, dan romantisme hilang diantara keduanya. Hans berubah jadi robot waktu dengan segudang rutinitas, tidak ada lagi kesempatan berdua yang special seperti dulu. Kalaupun ada mesti dipesan, dibuat scedule yang cermat,  sehingga beberapa acara harus terpanding. Syifa gerah dengan semua itu, mana mungkin hasrat bisa muncul kalau persetujuan proposalnya saja,  begitu lama didesposisi. Kalaupun nantinya waktu itu tiba, justru semangat dan gairahnya yang sudah sirna. Hans sering menyindirnya kalau sudah begitu.
“Mama melamun?”
“Enggak”
“Kok jadinya papa yang lebih semangat,  ya? Padahal yang mengusulkan liburan ini mama deh”
“Iya maafin aku pa, realisasinya kelamaan. Perasaan,  mama   requestnya  tiga  bulan yang lalu pa”
Hans mendekap istrinya dengan sepenuh cinta, kalau dilihatnya perempuan bertubuh mungil dan sintal itu  merengut. Ada rasa bersalah direlung hati. Tapi apa boleh buat, semua yang dilakukannya juga demi kehidupan mereka, demi kesuksesan bersama.

Syifa adalah pribadi yang hangat dan manja, terkadang  Hans suka bingung juga menghadapinya, diusia yang sudah matang inipun manjanya tak berkurang, bahkan akhir-akhir ini malah lebih dari biasanya.  Intensitas hubungan merekapun menjadi lebih. Lelaki itu menyunggingkan senyuman penuh arti,  bila ingat  bagaimana Syifa semalam memperlakukannya. Sebagai suami tak ada yang kurang, dari yang Syifa berikan.  Sayang sampai saat ini, belum ada suara tangis bayi yang meramaikan rumah  mereka. Hans  yang  tidak bisa memberikan itu, dan Syifa syukurnya tidak mempermasalahkan.
“Asal papa setia dan selalu menyayangi aku, aku enggak memikirkan masalah itu”
“Makasih sayang, engkau benar-benar isteri yang baik”
‘Karena papa juga sayang  sama aku”
“Hm…..”
Hans menatap lekat wajah ayu istrinya, Mata yang besar, pipi yang penuh, bibir yang indah, hidungnya tidak terlalu mancung, tapi sangat serasi ada diwajah Syifa, Hans selalu terpesona dengan rayuannya, manjanya, yang tak pernah bisa ditolak. Hans mengusap sisi wajah istrinya dengan lembut, tatapan matanya tak lepas, Syifa masih saja gelagapan,  tak pernah sanggup bila ditatap berlama-lama begitu.
“Aku mencintaimu Syif”
“Terlambat, napa baru sekarang diucapkan. Selama ini kemana aja?” jawab perempuan itu pura-pura merengut.
“Udah dari dulu kok”
“Oh ya?”
“Iya”
Syifa tergelak, dan ketika wajah didepannya menjadi begitu dekat, yang syifa rasakan hanya hangat hembusan nafas  Hans,  disekitar tengkuknya. Perempuan itu menggeliat kegelian.  Diluar malam pekat. Bulan dilangit tak kelihatan, yang ada cuma taburan bintang-bintang. Kerlipnya bagaikan  berlian menghiasi mayapada. 
“Pa”
“Ya”
“Aku ingin mengatakan sesuatu”
“Apa”
“Aku sudah terlambat tiga bulan lebih”
“Wahhhh….benarkah”
“Sudah periksa”
“Belum”
“Kalau begitu, apakah ini masih bisa”
“Hmmm”
“Syif”
“Ya”
“Jangan berkata apa-apa dulu ya”
“Kenapa”
“Aku terlalu gembira, aku serasa ingin menangis, aku…… oh sayang, berita ini adalah berita paling indah yang pernah aku dengar. Ya tuhan…oh Tuhan,  terima kasih”
“Pa..”
“Sssssstttttt, diamlah, aku hanya ingin memelukmu Syif. Tidurlah, istirahatlah”
“Iya”
Syifa merasakan air mata berguliran membasahi bantal, dengan sedih dia melingkar tidur dibawah lengan Hans, yang bersih dan wangi. Tuhan aku telah berdosa, bermain-main dengan takdir dan kehidupan.  Alangkah kufurnya aku atas nikmatMu, atas karuniaMu, maafkan aku Hans, maafkan aku, aku ingin jujur mengatakannya, tapi kebahagiaanmu malam ini tentu akan hilang bila tahu yang sebenarnya.

Masih diingatnya, ketika kembali dari perjalanan ke Anyer. Hans sedang membuat secangkir kopi susu hangat, ketika itu.
“Lho ….mama kok sudah kembali, katanya tiga hari?’
“Enggak jadi pa, terlalu lama. Lagian acaranya kurang menarik”
“Kenapa?,  temen-temennya enggak  seru?”
“Hmmm…belum ketemu sih sama mereka, tapi aku berubah fikiran”
“Lho”
“Nanti deh, aku cerita. Salin baju dulu ya Pa, masih cape banget”
Dan Syifa tidak pernah menceritakan kepada Hans, kenapa sampai memutuskan kembali dan batal mengikuti Jumpa Rekan-Rekan Roomnya. Hans yang kemudian sibuk dengan pekerjaan juga tidak bertanya, begitulah selalu. Banyak hal-hal kecil luput dari lelaki itu karena urusan pekerjaan. Urusan kecil yang terkadang bisa berdampak besar buat keharmonisan hubungan diantara mereka.

Ketika dokter manyatakan Syifa positif hamil, Hans sangat berubah. Lelaki itu jadi telaten antar jemput Syifa di sanggarnya. Syifa memang memiliki sanggar kebugaran sekaligus mengelola sebuah SPA. Dia tidak terlibat langsung, ada beberapa staf yang membantu,  tapi setiap hari perempuan itu datang mengontrol kelancaran operasional. Alhamdulillah sejauh ini tidak ada kendala yang berarti. Kemaren di Anyer Aby juga memberikannya beberapa referensi yang sangat bermanfaat dalam pengembangan usahanya.  Sudah dua tahun ini, Syifa mulai mengembangkan sayap bisnisnya sehingga memiliki tiga  cabang di kota yang berbeda. Usaha ini dirintisnya benar-benar dari nol. Dilandasi kepercayaan antar teman semata. Modal usaha juga berasal dari  patungan bersama  lima orang sahabatnya. Diawali dengan membuka  sebuah sanggar senam kecil, kemudian perlahan  dikenal dan menjadi langganan kantor2, sampai akhirnya dilirik dan  diminati ibu-ibu pejabat dikotanya. Tubuh Syifa yang proporsional dan molek memang sangat mendukung sebagai promosi terselubung bagi para wanita seusianya.

Untuk wanita dengan  usia yang sudah memasuki kepala empat, penampilan Syifa tergolong masih sangat  sempurna. Tubuhnya yang mungil padat dan sintal,  tetap terlihat langsing dengan perut rata dan dada yang indah. Sungguh memanjakan mata yang melihatnya. Kelebihan ini yang kemudian membuat para ibu pejabat jadi penasaran ingin memiliki tubuh yang sama. Maka tak heran kalau bisnis ini cepat berkembang, dari mulut kemulut dan tiba-tiba menjadi besar, hingga seperti sekarang.  Syifa sangat dekat dengan Untari. Mungkin karena mereka sama-sama berasal dari Pulau Jawa, membuat persahabatan terjalin lebih dalam. Banyak hal yang mereka bicarakan, banyak peristiwa mereka bagi satu dengan yang lain. Handphone syifa bergetar, ketika perempuan itu hendak ketaman belakang rumahnya yang penuh anggrek dan bunga-bunga lainnya. Setiap sore sudah menjadi kebiasan bagi wanita itu mnyibukkan diri dengan hobynya, menyiangi bunga-bunga, menyiram dan membetulkan posisi tanaman anggrek  kesayangannya.  Seketika bibir Syifa tersenyum,  melihat ada pesan masuk di BBM. Untari?, ada apa sore-sore kirim pesan, bathinnya.
“Syi, melanjutkan obrolan yang tadi malam nih..... “
Begitulah Untari memanggilnya, sedangkan Syifa sebaliknya menyebut sahabatnya itu dengan panggilan Tari.
“Ya”
“Aku  kok jadi tidak bisa berfikir jernih akhir-akhir ini”
“Begitukah.....?”
“Susah melupakannya Syi,  aku jadi suka berkhayal. Rasanya aku sudah kehilangan kontrol diriku yang dulu sangat aku banggakan. Kenapa cinta jadi menyakitkan begini?”
“Hmmmm... sabar ya Ri,  Hidup memang selalu memberikan kita ujian yang sulit. Terkadang bisa dari penderitaan, kemiskinan, kesenangan, harta yang berlimpahan, tak mustahil juga dari keagungan cinta. ..”
“Berat banget rasanya”
“Ya aku tahu Ri”
“Kamu tidak  akan paham”
“Hmm”
“Karena kamu tidak mengalaminya”
“Siapa bilang”
“Aku”
“Aku  juga menemukan cinta lain”
“Apa…!”
“Iya. Aku jatuh cinta lagi”
“Wahhhhh”
“Aku simpati dan kagum,  karena dia laki-laki yang pintar,  baik dan sopan.  Walau dari tempat yang jauh,  realita yang berbeda, cinta ternyata bisa bersemi dan tumbuh dengan suburnya. Dia juga sangat mencintai  aku,  tapi kita tahu tidak ada tempat buat cinta ini,  di dunia nyata”
“Kenapa perempuan-perempuan baik seperti kita selalu dapat ujian ya”
“Karena  kita berdoa tentang kebaikan, dan untuk menjadi baik tentu melalui ujian dan cobaan,  sehingga  kita mengerti apa sesungguhnya kebaikan itu”
 “Syi, hiks....hiks.... Ini  berat  banget......”
“Iya sangat berat”
“Syifa......hiks, aku bahkan belum pernah ketemu muka dengan dia. Kami hanya berkomunikasi via bbm dan suara. Sama dengan kamu Syi, kami juga begitu. We're in love each other.....” “Untungnya kami berbeda kota,  sehingga ini juga jadi penghalang sekaligus anugerah, supaya kami tidak berjalan terlalu jauh....” Lanjut Untari.

Syifa tiba-tiba disergap rasa sedih yang dalam, ingat akan  keadaan dirinya. Kedekatan sebentar saja, sudah mampu merubah jalan hidup.  Untari  lebih beruntung, sedangkan aku. Ah…. Syifa tak bisa lagi berfikir,  apakah dia beruntung atau tidak.
“Kamu benar Ri, jauhnya jarak bisa menyelamatkan kita, bila cinta yang datang sudah tidak pada waktu yang tepat lagi”
“Cinta itu anugrah kan Syi? Tapi kenapa datang disaat yang salah? Padahal kita toh nggak bermasalah dengan suami kita kan? Aku sering berdoa, bertanya pada Allah....apakah yang kami rasakan ini merupakan cobaan? Dan kalau ini memang cobaan, tolong bantu kami untuk melewati ini. Itu doaku....” Ucap Untari
 “Aku juga tidak mengerti kalau  sudah begini”
“Syifa, dia satu SMA dengan kita. Tapi waktu itu, aku nggak pernah kenal dia. Aku justru kenalan di Facebook, lalu berlanjut dengan bbm-an dan telepon”
“Ooo”
“Sepertinya Syifa baru  saja berteman dengan dia di Facebook. Ditempat asalnya dia orang yang dituakan dan menjadi panutan. Menurutnya, akan dipandang negatif bila ia bercerai degan istrinya, tapi dia juga nggak  bisa munafik, cintanya padaku sudah tumbuh dan berkembang begitu cepat. Mungkinkah ada tempat buat wanita kedua dalam kehidupannya”
"Apakah mungkin dia menikahi aku?  Halah, malah berkhayal  hahahaha"
“hihihi”
Aku ikutan tertawa membaca komentar Untari.
"Ri"
“Iya"
“Aku jadi penasaran” tulis syifa
“Syifa pasti  tahu dia,  Katanya waktu reuni di Pulau Seribu,  dia ikut juga. Dia tahu Syifa. Katanya : “oh, Syifa yang dulu kolomnis di Mading sekolah ya?”
“Wahhhh… tambah penasaran”
“Kami sudah jalan hampir empat bulan, tapi sangat intens. Setiap hari kontak kecuali sabtu dan minggu, karena  itu hari untuk keluarga masing-masing. Tapi kadang komitmen itu dilanggar juga”
Syifa mencoba mencari-cari teman satu sekolah, yang paling baru bertaut dengan dirinya, dan Syifa tersenyum melihat profil seorang laki-laki semampai mengenakan T-shirt warna  putih dan topi Golf dengan warna senada.
“Leonard ya?”
“Hiks”
“Benar kan?”
“Iya”
“Wahhhh, aku nggak  menduga”
“ He..he..he.  Ngomong-ngomong,  apakah aku kenal juga dengan lelaki yang Syifa sukai?”
“Hmm….”
“Aku kenal ya”
“Sepertinya begitu”
“Siapa”
“Dia cukup dikenal, seantero dunia maya,  karena mengelola sebuah Room “Aksara Diujung Pena Pujangga”,  disitu dia selalu bantu  menampung dan memberi info tentang kegiatan kreatifitas hampir semua anggotanya, sehingga bisa dimanfaatkan oleh yang lain. Semua Tulisan  dan hasil karya anggota diuploadnya kembali,  dalam kemasan yang sangat menarik. Dia membuat karya-karya  itu menjadi lebih hidup didalam iklan produk dengan berbagai bentuk usaha,  sehingga enak dibaca  dan dipelajari,  sebagai referensi tambahan,  ketika kita membuka usaha yang sama,  atau sekedar memakai ide kreatifnya saja”
“Hmm..kok sepertinya kenal ya”
“Aku sangat kagum padanya.  Ku simpan rasa kagum itu dalam-dalam, sampai suatu saat dia dengan sangat hati-hati menyatakan perasaannya padaku. aku tidak   langsung merespon,  ada rasa takut dan cemas, bahkan disudut hatiku juga terselip sedikit rasa tak percaya.  Aku biarkan selama lima  bulan perasaan itu, sementara dia terus-menerus memberikan sinyal, tentang perasaannya. Ternyata  cinta memang tak bisa didustai,  aku mengakui,  aku berterus terang kalau aku juga menyayanginya”
“Waaaaahhhhhh………..Aby ya..?”
“Mmm”
“Sudah kuduga, deskripsinya detail banget, gampang ditebak”
“Iya Ri”
“Syif”
“Ya”
 “Aku kagum pada Leonard karena statusnya selalu berani berbeda, sangat idealis. Kami selalu berbagi  komentar atau hanya sekedar memberi tanda like  distatus masing-masing”
“Tidak begitu  dengan Aby, Ri.  Dia sama sekali  nggak  suka koment distatus  aku.  Katanya dulu malah sebel dan tidak suka. Dulu dia beranggapan aku terlalu eksis, sehingga membuat jengkel. Karena aku terlalu sering bikin status dan posting foto-foto. Ini sangat menyulitkan dia karena postingan aku,  bisa menghabiskan tiga halaman  di Handphonenya. Aku juga ingat dia pv aku dan mengatakan: “ Maaf,  ibu saya remove,  karena terlalu memenuhi halaman facebook saya”
“Wahhhhh, keterlaluan”
“Iya, memang”
“Kualat dia Syif”
“Sepertinya begitu”
“Kalau sekarang, gimana”
“Tetep juga engga mau komentar”
“Lho kenapa?”
“Takut katanya,  kalau dia nulis bakal ketahuan perasaannya ke aku.  Selama ini Aby kan terkenal pelit komentar, kecuali kalau komentar yang memang diperlukan oleh anggotanya”
“Iya juga sih, dia memang sosok yang serius dan terkesan tertutup, beda sama Leonard yang selalu vocal”
“Kadang-kadang  rasa itu malah seperti  menyiksaku, Syi”
“Iya......aku juga.  Kita jalani saja,  ada masa kita dicoba,  ada masanya kita diberi anugrah. Aku juga pernah membicarakan ini berdua.  Katanya rasa ini nggak akan  bisa lagi dilupakannya  sampai kapanpun,  baginya aku tetap menjadi satu-satunya perempuan yang membuat hidupnya menjadi sempurna. Duh, aku benar-benar  terharu, karena apa yang diucapkannya itu seperti dicontek dari hatiku”
“Syifa dengan adanya cinta yang lain ini, apakah cinta ke suami jadi berkurang porsinya? Kalau aku rasanya enggak. Justru kalau  lagi kangen berat sama dia, aku merapat  ke suami. Berharap bayangan dia bisa hilang dari kepalaku..... Kadang aku melampiaskan kangenku ke dia dengan "menggoda" suami.....qiqiqi.....”
“xixixi.. iya,  aku juga jadi lebih mesra ke suami, lebih manja. Sampai suami bilang,  Mama kenapa jadi lebih cantik dan lebih muda. Dia mengajarkan aku bagaimana menjadi istri sholeha, dan semua yang diajarkannya,  aku praktekkan ke suami.  Dan suami menyambut positif....”
“hahahha.......Sama!  Kalau dia  dinas keluar kota, aku juga merasa kayaknya dia nggak di rumah”
“Kemaren aku nanya, sampai kapan kita akan begini? jawabnya : “kamu percaya, ada jalan yang tidak berujung? Cuma waktu yg bisa mengakhiri jalan itu....”  Begitu katanya Syi”
“Wah, kenapa jawabannya sama ya?  Aby juga bilang begitu: "Syi..jalan kita ini masih teramat panjang, Allah selalu punya sketsa kehidupan buat setiap makhluk. jangan putus asa dan berkecil hati, karena takdir yang datang kepada kita tidak pernah sama” Itu selalu yang dibilangnya,  kalau aku memutuskan mundur dan nggak  mau melanjutkan petualangan  bathin ini”
“Terus dia akan bilang: “ sekarang kita nggak  usah bahas cinta dulu ya...mari membahas yang lainnya”
“Caranya bercerita dan kepiawaiannya dalam banyak  hal, kemudian membuat aku jadi lupa,  kalau tadinya  minta putus, tak mau melanjutkan hubungan  lagi”

Syifa,  merasakan sedih yang sangat dalam. tanpa dikehendaki butiran bening kembali berlelehan dipipinya, entah tangisan yang keberapa,  entah sudah berapa banyak air mata itu menetes, seolah tak ada habis,  tak pernah cukup untuk membasuh luka hatinya. Lelaki yang dicintainya itu, sudah tak mungkin lagi diharapkan. Masih dingatnya dengan jelas,  bagaimana gigihnya Aby dalam memperjuangkan dan mempertahankan cinta mereka. Tapi mana cinta itu sekarang, dalam keikhlasan hati Syifa merasa  ditolak, tidak diberi kesempatan memilih.
“By”
“Ya”
“Temen aku bilang katanya kalau hubungan seperti ini hanya mampu bertahan tiga bulan saja”
“O ya…..”
“Iya”
“Kita sekarang sudah jalan berapa lama”
“Hmmm……..kalau dihitungnya dari pertama kali aku mengatakan iya, sudah masuk bulan kedelapan”
“Nah sudah lewat tiga bulan kan?”
“Iya”
“Apa yang Syifa rasakan?”
“Malah makin sayang”
“Nah aku juga begitu"
"Artinya apa?"
"Apa?"
"Tidak semua hubungan harus berakhir dalam tiga bulan, tergantung siapa yang berhubungan dan bagaimana hubungan itu dibangun”

Tidak ada lagi yang perlu diingat dan dikenang. Malam harinya Syifa memutuskan menghentikan semua kegiatannya di dunia maya. Ketika perempuan itu membuka Yahoo Massangernya,  sebuah "Offline massage"  muncul dilayar.
“Maafkan aku Syif. Apa yang aku katakan itu bohong, tidak begitu yang sebenarnya”
“Aku mencintai kamu Syifa, aku mencintaimu kekasihku”
“Aku berjanji akan menikahi kamu bila suamimu sudah tak ada. Tidak sekarang  Syifa. Aku tidak mau dianggap sebagai perusak rumahtangga, dan aku juga yakin suamimu lebih membutuhkan kamu”

Aby masih menulis ketika aku sudah off?  bathin perempuan itu. Tapi buat apa? Sudah tak perlu lagi, karena malam itu Syifa telah menghapus akun Facebooknya. Mematikan email dan Yahoo massangernya juga. Tidak ada lagi dunia maya, dia hanya butuh kenyataan. Apapun yang terjadi biarlah berlalu. Jalan masih panjang dan takdir datangnya tidak pernah sama. Bukankah begitu Aby?  Syifa tidak tahu takdir apa yang akan menunggu masa depannya, tapi dia berjanji akan membuat masa depan itu jadi lebih baik dari sebelumnya.Itulah janji hati, yang akan ia jalani.

Syifa melahirkan seorang bayi perempuan mungil yang cantik. Dia memberi nama Salsabyla pada bayinya. Abyla berkulit  putih bersih,  berambut  ikal, bulu matanya panjang dan lentik, hidungnya bangir dan bibirnya mungil.  Syifa selalu berdesir setiap memandang wajah anaknya. Banyak sekali Aby memberi pahatan dirinya diwajah Abyla. Sebaliknya Hans terlihat bahagia,  menatap bayi mungil yang telah lama dia dambakan, ternyata cantik juga hasil kolaborasi dia dan istrinya. Memang tak mirip, tapi lelaki itu kagum akan keelokkan paras Abyla kecil.  Setidaknya Abyla memiliki warna kulitku yang putih bersih,  bathin Hans senang. Hidup memang selalu tak terduga, begitu banyak misteri ada didalam perjalanannya.

Malam itu  terang bulan, purnama bulat penuh, sinarnya keemasan menyirami sepanjang koridor rumah sakit.  Suasana lorong-lorong yang tidak tertimpa cahaya,  terlihat redup.  Beberapa saat awan coba mendekati,  laksana gerombolan domba domba berbulu putih  mencoba menyembunyikannya, tapi tak lama,  setelahnya bulan kembali bersinar. Di depan ruang operasi itu,  tadi Hans begitu kuatir, menunggu kelahiran putrinya. Kegelisahan khas laki-laki disaat persalinan. Dari duduk, kemudian berdiri, selonjoran dilanjutkan mondar-mandir sambil meremas jemari,  Bukan itu saja Hans juga berkali-kali berdiri didepan pintu ruang persalinan, menginti-intip kedalam ruangan, menungu suster ataupun dokter yang keluar,  siapa tahu mengabarkan berita bahagia, untuknya. Hans betul-betul deg-degan  disertai perasaan harap cemas, belum bahagia tapi  ingin, dia terlihat tak  sabaran, ingin tahu seperti apa rupa anaknya. Perasaan yang jauh berbeda dengan deg-degannya  orang pusing karena  laporan belum selesai, atau tender gagal, atau takut ditagih hutang, perasaan  yang ini lebih tenang dan siap-siap berbahagia. Hans tidak merokok, sehingga tak ada kepulan asap yang melingkar-lingkar ketika dihembuskan kembali.   Wajah Hans sumringah menahan bahagia, kebahagiaan yang tak tahu hendak dilampiaskan kemana. Hans mematut dirinya di  cermin besar sebelah ruangan persalinan, memperhatikan pakaian yang dikenakannya.
"Pakaian papa  nggak boleh  kucel atau lusuhkan sayang, kan harus gendong kamu,  anak papa"  Bisik hatinya.
Ketika bayangan di cermin, memantulkan wajah seorang laki-laki dengan bibir  penuh senyum, dan cahaya kebahagiaan. Hans puas. Tak berapa lama berselang,  suara tangis bayi memecah kesunyian. Sepanjang koridor suara itu bergema dan memantul kembali ke jantung dan hatinya.  Bergegas Hans  membalikkan badan,  berjalan terburu-buru setengah berlari, harus cepat, harus lebih cepat lagi,   dia   merasa sangat siap untuk memeluk buah hatinya.

Semua keluarga sudah dikabarkannya, mertua, adik, ipar, sepupu,  tak ada yang terlewat, tidak ada yang luput . Dengan berlinangan air mata dia menerima seorang bayi perempuan cantik berbalut bedong warna biru muda, dan gemetaran tangannya mendekap sosok kecil yang tertidur seperti malaikat, tubuh  yang lembut. Hans mengangkatnya, mendekatkan bayi mungil itu kemulutnya,  mengazankan ditelinga kanan, dan qomat ditelinga kirinya.Terima kasih Tuhan, terima kasih atas nikmat dan karunia yang aku terima hari ini,  terima kasih istriku. Hans menutup pintu kamar, didepannya Syifa terbaring nyenyak, bibir perempuan itu  tersenyum, tapi ketika Hans mendekati, ia melihat ada sisa tangisan  disudut matanya. Perlahan Hans mengusap, menghapus dengan sepenuh kasih sayang.
“Tidurlah kekasihku, aku tahu engkau menangis karena rasa bahagia yang terlalu, sama seperti diriku”  Hans, perlahan mengecup lembut kening Syifa.

 Aku Bukan Wanita Pendusta
Kasih sayang yang diperlihatkan Hans pada buah hatinya, membuat  Syifa merasakan haru yang mendalam.  Aku bukanlah perempuan pembohong, tapi  bila hanya kebohongan yang bisa menyelamatkan sebuah kehidupan dan kebahagiaan, aku mengalah,  bathin  Syifa. Hans yang terkenal  workaholicpun, senang-senang saja mengambil cuti,   Untuk bisa  selalu terlibat dalam mengurus keperluan  malaikat  kecilnya, yang  montok  dan  berambut  ikal.
Salsabyla, bukanlah bayi  yang rewel. Sampai berusia  tiga bulanpun anaknya ini tetap masih anteng. Menangis hanya kalau popoknya basah, atau haus, itupun tidak lama. Belum pernah sama sekali tangisnya membuat panik orang tua. Menyaksikan  Salsabyla tumbuh dan berkembang,  adalah luar biasa. Syifa selalu tak putus mengucap syukur, masih diberi kesempatan melihat buah hatinya hadir kedunia, masih diberi kesempatan  merasakan perjuangan antara hidup dan mati,  seorang perempuan, sehingga bisa dikatakan sempurna. Syifa ikhlas tidak terlibat lagi di sanggar,  demi bisa selalu membelai, memeluk dan mencium,  bagian dirinya itu, sepenuh cinta.
“Duhai buah hati ibu, sungguh  takjub ini tak pernah berkurang, dari waktu kewaktu”
Bahwa makhluk mungil yang cantik,  yang sekarang mengantungkan kehidupan di puncak dadanya itu  adalah bentuk kekhlilafan, tidak akan pernah Syifa lupakan. Bahwa cintanya, keterpesonaannya kepada sang ayah bayi mungilnya ini, yang harus dikubur dalam-dalam,  sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Abimayu tetaplah kekasih hatinya sampai kapanpun, cinta Syifa tidak akan pernah pudar,  tidak bisa pudar. Bagaimana bisa, bila setiap hari,  wajah Abylah  yang selalu dilihatnya,  lewat bayi mungil Abyla.  Hampir seratus persen.

Dulu orang tuanya bilang, bila  anak perempuan  berwajah mirip dengan ayahnya,  selain pintar anak itu juga bakal mudah rejeki.
“Aby…Aby….apa yang akan terjadi,  bila aku memberitahukan anak ini adalah anakmu, anak kita”
Ah…lara sendiri bila Syifa memikirkan kembali,  bagaimana Aby menolaknya ketika   ia menuntut untuk dinikahi, padahal saat itu kehamilannya sudah memasuki bulan ketiga,  rasa ngilu kembali hadir di ulu hatinya. Apa yang kemudian akan dikatakan laki-laki itu,  kalau sekarang aku tiba-tiba datang,  menghadapkan seorang bayi perempuan berambut ikal, dengan  pahatan wajah yang persis seperti dirinya? Syifa, mengenyahkan fikiran liar yang sekilas melintas. Perempuan itu tergelak miris.
“Aku tidak rela ditolak dua kali. Tidak  Aby, tak akan pernah rela.”
 Sudah tak ada lagi yang akan datang, tidak ada lagi perempuan yang akan menuntut haknya,  atas kasih sayang dan cinta yang pernah engkau  patri kuat dihati dan jiwanya.
“Hans sudah begitu menyayangi aku, mencintai aku, Semoga saja hal itu juga berlaku buat Abyla dihatinya” Bathin Syifa
Dari manapun malaikat kecilnya ini berasal, apapun yang menyebabkan dia  hadir kedunia, bagi Syifa biarlah menjadi dusta sendiri, dia tidak akan membaginya, meski dengan kegelapan sekalipun.

Disela-sela kesibukannya mengurus  Abyla, perempuan itu masih selalu berkomunikasi dengan sahabatnya Untari,  walau mereka jarang saling mengunjungi karena kesibukan masing-masing. Hal ini juga  disebabkan  Untari sekarang konsentrasi mengelola Sanggar mereka yang baru buka dikota yang berbeda. hubungan persahabatan mereka  dari dulu memang selalu hangat.  Untari dan Leonard bagi Syifa adalah  dua pribadi yang hebat. Tidak seperti aku dan Aby, bisik hatinya. Leonard adalah lelaki Gentelman, aku belum pernah menyaksikan Untari menangis karenanya, yang Syifa  lihat dari pancaran wajah sahabatnya adalah, wajah yang kian berseri dari hari kehari, wajah perempuan yang terpuaskan oleh cinta, yang tentram dalam balutan kasih sayang. Syifa sama sekali tidak cemburu dengan kebahagiaan Untari, Cuma dalam hatinya selalu terselip sebuah pertanyaan “Kenapa Aby, Kenapa..? Hanya satu kata sederhana, tapi banyak  pertanyaan rahasia,  terselip didalamnya.
“Syi”
“Ri”
“Sehat?”
“Alhamdulillah”
“Sikecil gimana?”
“Ini lagi main sama aku,  Abyla sudah bisa tengkurep lho”
“Duh jadi pengen main kesana, aku sekarang di Jakarta”
“O..”
“Ada seminar kebugaran. Maaf kemaren belum sempat cerita ke kamu”
“Nggak apa-apa”
“Syi, aku ketemu dia hari ini”
“Wahhh…”
“Alhamdulillah, tidak terjadi kontak fisik yang berlebihan. katanya sih, dia senang lihat aku. Aku jadi jengah juga, ketika dia menatap aku seperti orang "menilai". Tapi dia bilang, bukan menilai,  dia "menikmati" aku.......?”
“Hihihi”
“Hihihi”
“Tentu sangat membahagiakan didatangi oleh orang yang kita cintai, ya Ri”
“Oh…., Syi.   Bagi aku dunia maya atau dunia nyata, tidak ada bedanya. Aku mengagumi dia, bukan fisiknya, tapi banyak hal yang ada pada dia. Terus terang, aku nyaman bersama dia. Tak ada ketakutan, yang aku takutkan justru pandangan orang terhadap  kami berdua”
“Iya, asal tidak ada  yang buruk yang dilakukan,  kenapa mesti kuatir Ri” Aku mencoba tersenyum, hatiku seolah diiris pisau berkarat. Lagu bahasa Untari yang renyah dan sukacita, sangat menyiksa bathinku. Akhhhhhh…!!!! Kenapa bayangan itu tak mau pergi juga. Syifa ingin berteriak, ingin melampiaskan  amarah  dari rasa kecewanya selama ini.
“Aku percaya dia. Berpisah dgn dia itu beraaaaat.......”
“Pastinya”
“ Dia juga merasakan hal yang sama, tapi dia berusaha mengerti dengan keterbatasan waktu yang aku punya. Sepanjang perjalanan pulang aku menangis. Rasanya hatiku berat dan ada yang mengganjal,  entah apa. Setelah berjalan beberapa puluh meter aku menoleh kebelakang, dia sudah tak ada lagi. Aku protes via bbm. Dia bilang dia nggak mau berharap banyak, takut aku nggak menoleh lagi,  makanya dia cepat-cepat  berlalu. Hiks.....hiks....”
“Sabar Ri, serumit apapun masalah tentu ada jalan keluarnya”
Syifa menggenggam handphone ditangannya, mencoba mencari kekuatan dari  jemarinya yang memutih karena terkepal erat.  Airmatanya berlelehan dipipi. Untari berbahagia dengan segala keberuntungannya,  sementara aku?  apa yang kini aku dapatkan?. Selain rasa kehilangan dan lilitan kebohongan sepanjang hidup.
“Syi”
“Ya”
“Bagaimana kabar Aby”
“Dukkkkk”
Sesuatu seperti menghantam kuat kepalanya membaca tulisan Untari. Oh sahabatku jangan tanyakan itu, aku belum siap membicarakannya. Hatiku masih berduka”
Tapi mana mungkin Untari tahu jeritan hati Syifa.  Bahwa ternyata pergantian waktu tidak bisa menghapus  jejak cinta dengan cepat,  telah terbukti.  Lebih setahun berlalu, namun setiap detil  kisahnya bersama Aby tak hilang, tak berkurang, masih jelas terpeta dalam pikiran.  Hal ini membuat sakit dan harus ditanggungnya sendiri.  Suka atau tidak keadaan itu  sangat berpengaruh pada kesehatan jiwanya. Perempuan itu tak tahu, apakah dosa masa lalu yang telah menghukum dirinya sehingga tak bisa lagi menerima kebahagiaan. Atau Allah yang marah, pada dusta yang disimpannya sekian lama? sehingga  telah dicabut kemampuan hati Syifa untuk dapat menerima rasa yang disebut “bahagia”.

Hidup  yang dijalaninya  kini tidak seperti yang pernah ia janjikan sendiri pada hatinya. Syifa tak  mampu lagi merasa bahagia. Dia hanya mampu menjadi matahari seperti yang sering dikatakan Aby.  Kehangatannya bisa dinikmati oleh siapapun, sehingga mereka kemudian  terlihat bahagia, tapi untuk itu semua Sang Matahari  harus ikhlas,  membakar dirinya sendiri demi  menerangi dan memberi cahaya kepada semua yang membutuhkan. Cerahnya mengelabui, sehingga penderitaan jadi tak lagi terlihat. Dalam sujud, dalam doa-doa yang dipanjatkannya,  tidak pernah lagi dan belum pernah lagi bisa membuat tentram yang lama. Hanya beberapa saat, setelah itu kegelisahan, kesendirian, kekosongan kembali menjadi bagian dari hidupnya. Beginikah cara Allah memberi karma?  atas hati  Syifa yang telah menyimpan dosa dusta akan sebuah kehidupan? Lamunan wanita itu terhenti, ketika suara mobil kedengaran memasuki halaman dan semakin dekat. Hans sudah kembali bisik hatinya, bergegas ia menyusut air mata yang telah basah dipipinya. Memoleskan sedikit bedak. Syifa sekilas menatap bayangan wajah perempuan  pucat dan kusam di cermin. Wajah yang lelah dengan kehidupan. Entahlah,  hari ini dia tidak ingin berpura-pura bahagia lagi. Hati-hati diangkatnya Abyla dari box.
“Ayo sayang kita keluar kamar, papa sudah pulang tuh”
Ketika Syifa sampai diruang tengah, Hans terlihat sedang membuka sepatu dan kaos kakinya.
“Malam Abyl,  papa pulang”
“Malam papa”
Hans mengecup sekilas pipi istrinya, dan mengambil alih Abyla.
“Anak papa engga rewel kan ma?”
“Engga donk”
“Hmm…wangi  sekali nih,  bidadari  papa”
Syifa tersenyum melihat Abyla kecil tertawa ketika  Hans mendaratkan ciuman bertubi tubi keperutnya. Bayi itu diangkatnya lebih tinggi, sehingga tertawa lebih keras,  memperlihatkan lesung pipit samar di kedua pipi tembemnya.
“Mama kenapa”
Hans, melihat wajah Syifa lebih pucat dari biasa. Dalam hati ada terlintas pertanyaan yang tak mampu diucapkannya. Lelaki itu melihat kemurungan semakin lama semakin membalut wajah istrinya yang cantik.  Lebih pucat dan lebih lesu dari sebelum melahirkan bayi mereka. Apakah dia terlalu cape mengurusi  Abyla sendirian?  atau ada sesuatu yang disimpannya.
“Mama sakit?”
“Engga”
“Tapi mama kurusan dari biasanya, eh maksud papa lebih lesu”
“Perasaan papa aja tuh, aku nggak  merasa apa-apa kok,  biasa aja”
“Bidadari papah yang ndut ini ya, yang bikin  cape mamanya”
“Engga…..masak anak mama yang anteng ini disalahin sih sama papa?”
“Habis siapa donk, yang bikin istri papa jadi layu dan kurang gairah begini?”
“Kurang tidur”
“Lho..kok bisa”
“Aku suka kuatir aja Abyl sewaktu-waktu terbangun, ya tidurnya jadi kurang full”
“Hmm…kalau gitu,  karena besok sabtu papa libur, mama boleh deh tidur pulas malam ini”
“Hmm.. terus,  kalau Abyl haus  gimana?”
Syifa membuat mimik lucu dimukanya, Hans tergelak dan sekali lagi mencium kening Syifa sekilas.
“Baru papa bangunkan mama”
“Hihihihihi”
“Itu dia,  aku tidak akan bisa  tidur,  kalau merasa anak aku haus”
“Pa”
“ya”
“Aku pikir tadi papa mau bilang, ya aku donk  yang gantiin mama”
“Huahahahahaha”
Hans tertawa, syifa mengelak ketika lelaki itu hendak merengkuhnya.
“Ogah…..papa masih bau acem..”
“Oo…awass ya,  kalau papa sudah mandi”

Kehidupan keluarga  mereka baik-baik saja, walaupun Syifa belum kembali beraktifitas seperti biasa, sampai saat ini Abyl sudah memasuki usia satu tahun lebih lima  bulan. Syifa tetap belum berfikir untuk terlibat kembali di sanggarnya. Kalaupun dia ingin mengetahui sejauh apa perkembangan dan kendala di Sanggar, Bimo lah  yang  selalu datang ke rumahnya. Memberikan semua yang dibutuhkan Syifa.
“Banyak sekali yang bertanya tentang Ibu, terutama menanyakan apakah ibu sehat”
“Hmmm… begitu  ya. T erus Pak Bimo jawab apa?”
“Ya aku bilang aja Bu Syifa masih konsentrasi sama bayinya, karena ibu pengen full memberikan ASI  eksklusif pada Abyla”
“Sudah benar jawaban Pak Bimo, aku memang kurang setuju kalau sekecil ini Abyla sudah ditangani baby sitter, entah kalau sudah umur empat  atau lima  tahun. Itupun belum pasti. Selagi aku sanggup, aku yang akan merawat dan menjaga Abyla”
“Seharusnya memang begitu Bu”
“Anaknya sehat Pak?”
“Alhamdulillah Bu Syifa, semuanya sehat”
“Ngomong-ngomong,  Bapak   mana Bu?”
“Ada tuh lagi main sama  Abyla di taman belakang”
“Honorarium  Siska, Citra dan Wulan sudah nggak  ada masalah kan Pak?”
“Aman Bu”
“Trus  prospek ke Palembang sudah ada info dari Bu Runa belum?”
“O Bu Runa nggak  jadi berangkat Bu, yang berangkat kemaren Bu Hesty dan Bu Untari”
“Hmm..belum ada yang menghubungi aku, mungkin sedang alot negosiasinya”
“Ya Bu, kalau Ibu sudah selesai, saya mau pamit”
“Iya Silahkan Pak”
Bimo  membereskan berkas-berkas yang berserakan dimeja oshin besar berwarna kuning keemasan. Langkahnya hampir mencapai pintu, ketika Syifa memanggilnya kembali
“Pak Bimo” Pria itu membalikkan badan
“Ya Bu?”
“Seperti biasa, apapun yang menyangkut aku, semua aku percayakan ke Bapak ya, tidak usah menunggu persetujuan aku, kecuali kalau terlalu urgent”
“Siap Bu” Syifa tersenyum
“Makasih Pak”
“Sama-sama Bu, saya permisi dulu”
“Assalamu’alaikum”
“Alaikumsalam warahmatullali wabarokatuh”



                                                            *******


Mengamati pertumbuhan anaknya yang sudah mulai bisa melangkah sungguh menyenangkan. Kegalauan hati bisa sirna, setiap pagi dan sore, Syifa menemani  Abyla berjalan di kompleks.
“Wah, montoknya” seorang ibu yang sama sekali tidak Syifa kenal berhenti sejenak untuk sekedar menyapa anaknya, Abyla kecil tidak pernah terlihat enggan, dia akan tertawa kalau ada yang mengajak bicara atau bercanda. Sementara bibirnya mengoceh cadel dengan bahasa yang sungguh sulit diterjemahkan.

Aku bertanya pada aliran sungai yang tenang, bagaimana cara menelan kegelisan. Aku ingin tenggelam dalam ketenangan yang tak bergejolak, ketenangan yang sebenar-benarnya tentram. Tapi kenapa semua terasa sumir. Kenapa semua jadi semu. Mengapa rasa yang ditahan kian melumatkan hati. Mengapa sakit yang diredam malah tak pernah jadi dendam. Mengapa jiwa  hanya mengenal kata cinta, mengapa tak bisa merubahnya menjadi benci. Sungguh yang kini ada dalam pikiran  seperti hukuman, yang merajam semua, dan melumatkan segalanya. Bila aku ingin berhenti, apakah waktu bisa setuju. Aku ingin menjadi angin yang bertiup, sampai jauh, berkelana dari satu masa kemasa yang lain, tak menetap begini hanya dalam satu hati, entah pemiliknya tahu atau bahkan tidak. Jiwa kenapa tak pernah bisa lepas dari keinginan tuk tetap bisa berteduh, dari sedikit tempat yang tak layak. Terkutuklah diri yang kufur, tak bisa melihat ketulusan dan kata bahagia yang lebih nyata dan hakiki. Penyakit hati yang tak pernah mampu disembuhkan. Penyakit menggerogoti semua logika. Bahkan sujudpun tak mampu menghilangkan gundah gulana.  Bagaimana mungkin aku dapat menundukkan jahat dihatiku sendiri. Yang selalu berkhianat  pada malam, dan dusta pada siang. Aku insan yang fakir dengan waktu. Sehingga buntulah jalan pikiran.

Pada malam hari sungai dengan jembatan kecil diatasnya terlihat sangat indah dan nyaman Pemandangan laut dikejauhan, menambah keindahan kompleks perumahan dimana Syifa tinggal. Ujung sungai bermuara di pantai yang landai. Lama Syifa berdiri, menatap matahari yang perlahan tenggelam  di kaki langit. Hans terlihat asyik bermain  bersama Abyla. Gadis kecilnya itu tak henti-hentinya tertawa senang, melihat lidah ombak berkejaran dibibir pantai. Syifa tersentak, sadar dari lamunannya yang dalam dan panjang.  Dikejauhan dengan ujung matanya Hans hanya mampu melihat, dan berusaha tetap menahan semua pertanyaan, kenapa perempuan yang dicintainya itu sekarang seperti punya dunia sendiri. Terkadang sering tak mendengar kalau dia memanggil, atau bertanya. Tapi Hans tidak terlalu mempermasalahkan, terlepas dari kebiasaan melamunnya,  Syifa adalah wanita yang sangat baik, dan sulit dicari tandingannya dalam melayani keluarga, menyayangi dirinya.   Sebagai seorang istri sungguh Syifa mampu memberinya rasa bahagia yang utuh. Hans berharap, kebiasaan ini tak lama menetap dalam diri Syifa. Mudah-mudahan semuanya cepat membaik. Hans ingin bisa melihat kembali Syifa yang dulu. Yang ceria dan bahagia bukan hanya untuk orang-orang disekitarnya, tapi kebahagiaan yang dimilikinya sendiri, untuk dirinya.

Hari ini Abyla merayakan ulang tahun yang kedua. Pestanya sudah diputuskan akan diadakan di KFC yang tak berapa jauh dari kompleks mereka. Siang tadipun  Hans sudah mengecek segala kelengkapan pesta. Badut, balon, hadiah hiburan, menu makanan,  semua sudah dipesan sesuai banyaknya undangan. Syifa terlihat sibuk mengatur  urutan acara nanti sore. Ketika itu handphonenya bergetar. Diseberang terdengar suara suaminya mengucapkan salam, dan Syifa membalas salamnya.
“Ma, papa tadi sudah mengecek kelengkapan pesta dan sudah ready”
“Iya pa.  Makasih. Mama juga sedang mendata kembali siapa yang belum sempat diundang”
“Sudah telepon Ibu dan saudara yang lain?”
“Sudah, dan semua kirim doa, juga salam buat papa”
“Makasih.”
“Oh iya ma, hari ini kebetulan ada meeting di kantor, tapi jangan kuatir, papa usahakan sampai ketika pesta ulang tahun Abyla belum dimulai”
“Iya Pa”
“Sayang papa buat Abyl ya”
“Ya”
“Buat mama juga”
“hihi…iya”
“Muach”
“idihhh papa genit”
“Biarin , kan sama istri sendiri”
Masih tersisa ujung senyumnya ketika sampai diruang tamu. Syifa terbelalak,  melihat siapa yang berdiri disana.
“Untari”
“Iya aku”
“Kapan datang?”
“Tadi pagi dengan pesawat pertama”
“Wah sungguh kejutan yang sangat menyenangkan”
“Iya donk, kan ini ulang tahun anak aku juga. Mana yang ulang tahun”
“Tidur, sengaja disuruh tidur dulu, biar nanti nggak  ketiduran dipestanya”
Mereka berangkulan sejenak melepas rindu, setelah sekian lama tidak bertemu. Untari menperhatikan sahabatnya, yang terlihat lebih langsing, gaun ungu yang dipakai sangat kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Dari dulu Syifa memang paling bisa soal padu padan pakaian. Sehingga  selalu  enak buat dipandang. Tapi Untari tidak melihat binar diwajah sabahatnya, kenapa?
“Kamu kenapa Syif?”
Untari sangat ingin bertanya, hanya mungkin tidak sekarang. Nanti ketika acara selesai dia akan menanyakan , apa yang telah terjadi. Banyak yang mereka bicarakan, dan Untari sungguh sangat senang,  Syifa memang selalu bisa menjadi tuan rumah  serta teman bicara yang baik.
“Sudah , jangan ditawarin semua makanan ini ke aku”
“lho.. kan kamu sudah lama nggak  kesini”
“Iya tapi kalau badanku membengkak , langganan sanggar bisa kabur semua”
“Ooo..hihihi.  Aku hampir lupa soal Sanggar deh”
“Yee……..segitunya,  yang baru punya momongan”
“Iya donk. Aku ingin sampai dua tahun ini, Abyla bener-bener dapat yang serba eksklusif dari aku”
“Hebat”
“Eh…….Leo bagaimana kabarnya  Ri?”
“Sibuk”
“Aku dengar sudah naik jabatan ya”
“Iya,  baru juga sebulan ini balik dari Hongkong”
“O ya?”
“Mas Irfan apa kabar?”
“Baik”
“Kenapa tidak bawa anak-anak sih?”
“Udah pada gede, jadi tidak ada yang mau diajak”
“Iya juga sih”
Untari membantu Syifa,  membungkus beberapa kado special buat yang nantinya menang dalam permainan Topeng. Sebenarnya dari KFC sudah disediakan semua. Tapi Syifa ingin membuat kejutan buat tamu-tamu Abyla.
“Handphonenya bunyi nih” Untari menyerahkan Black berry maron itu kepada shabatnya.
“ Hallo?”
“Apa..?” Suara Syifa yang terdengar aneh, membuat Untari menoleh.  Dia heran melihat Syifa terlihat shock. Bibir sahabatnya itu bergetar, wajahnya pucat pasi. Hanya sebentar Syifa berdiri, kemudian tubuhnya limbung. Syifa jatuh tergeletak dilantai marmer yang dingin. Untari tak sempat membantu,  karena jarak meraka cukup jauh. Berlari dia mendekati sahabatnya itu. Syifa sudah tak sadarkan diri, dari sudut matanya mengalir air bening yang  mengalir membasahi  kedua pipinya.
Untari memungut handphone Syifa. Untung  jatuhnya keatas tumpukan kado, ketika dicobanya  menghubungi nomor yang tadi masuk, tahulah Untari, kenapa sahabatnya menjadi seperti ini.
“Baik Pak, dirumah sakit mana?”
“Ropanasuri?”
“Terima kasih Pak”
Untari ikutan gemetar, sejenak dia bersandar ke dinding. Hans mengalami kecelakaan dan sekarang koma dirumah sakit. Oh Syifa, bagaimana ini, sekejap dia bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dikota ini Syifa tidak punya siapa-siapa. Semua keluarganya berdomisili di  Jakarta. Dulu Syifa bekerja diperusahaan yang sama dengan Hans. tapi setelah menikah,  Syifa memutuskan berhenti bekerja. Saat  Hans dipindahkan ke kota ini, untuk membunuh rasa sepi,  Untari, Syifa dan dua orang teman lainnya sepakat membuka usaha Sanggar ini , hingga maju seperti  sekarang. Sudah lima tahun lebih. Setelah berkembang, mereka mencoba membuka usaha serupa dibeberapa kota dan hasilnya juga cukup bagus, bahkan untuk semua itu  Untari terpaksa memutuskan menetap di kota ini dulu, ketika Irfan dipindahkan lagi ke Kota Surabaya. Dia hanya bertemu suaminya  diakhir bulan saja, terkadang  Untari  yang k sana, atau Irfan yang kesini.

Untari bingung mau menghubungi siapa. Untung dia ingat Leonard, dan dalam sekejap laki-laki itu sudah sampai ke rumah Syifa. Untari hanya memperhatikan saja ketika, Leo begitu cekatan mengurus semuanya, beberapa staf dihubunginya untuk membantu. Syifa ditemani beberapa tetangga dirumah,  sementara dia dan Leo kerumah sakit melihat kondisi Hans.

Hans sedang menjalani operasi dikepalanya ketika mereka sampai. Beberapa teman kantor suami sahabatnya itu telah berkumpul. didepan ruang operasi. Untari hanya dapat memanjatkan doa, minta diberikan mukjizat sehingga, Hans bisa melewati semuanya dengan baik. Untari juga sudah menghubungi Ibu dan saudara Syifa di Jakarta, dan dipastikan semuanya sudah ada disini besok pagi. Tak ada pesta ulang tahun, tak ada kebahagiaan. Rumah syifa memang ramai didatangi tetangga dan kerabat, tapi keramaian yang jauh berbeda. Keramaian  ini diliputi luka yang mendalam.

Ketika sadar, dan membuka matanya, sejenak Syifa diliputi kebingungan, mengapa dia terbaring ditempat tidur?. Kenapa ada Bu Rika istri Pak Tri RT dikompleksnya. Tapi itu tidak lama, perempuan itu segera sadar apa yang terjadi.
“Hans mana?”
“Sabar bu,  Bu Untari sudah ke rumah sakit, mengecek keadaan bapak”
“Oh tidak, aku ingin melihat suamiku”
“Aku ingin melihat keadaannya” Syifa mengucapkan kalimat itu serak diantara deraian airmata yang meleleh membasahi pipi.
“Abyla mana?”
“Di ruang tengah  dengan bu Shanty, sudah  tidak usah dipikirikan, kita semua ada disini membantu ibu Syifa”
“Aku ingin melihat Hans” bisik Syifa lirih. Tapi setelah itu  ia kembali tidak sadarkan diri.

Untari diijinkan masuk ketika operasi dinyatakan berhasil, Perlahan wanita itu  duduk disamping tempat tidur Hans, gerakannya ternyata membuat lelaki yang terbaring itu bereaksi. Beberapa saat Hans terlihat berusaha membuka mata, Untari tak tahan melihat tatapan bertanya yang ditujukan padanya.
“Sabar Hans, Syifa dalam perjalanan menuju kesini” Bisiknya, dan Hans menutup matanya kembali. Untari melihat lelaki dihadapannya yang terbaring dengan penuh perban dikepala itu mencoba menarik  bibirnya untuk tersenyum.
“Hans harus kuat, Syifa dan Abyl masih sangat membutuhkanmu” Untari berbisik lagi ditelinga suami sahabatnya itu.
Ketika dilihatnya Hans sudah tenang, Untari mencoba duduk bersandar, mengatupkan matanya.  Tiba-tiba wanita itu tak sanggup menahan isak tangisnya. Tuhan……jangan ambil nyawa lelaki ini. Biarkan sahabatku bisa melihatnya sembuh, dan sehat kembali. Oh Mas Irfan maafkan aku, diantara air matanya,  Untari merasa menemukan kesadaran tentang keadaan dirinya sendiri.  Dibalik kaca ruangan isolasi,  Leonard masih terlihat sibuk menelpon.  Apa yang telah aku lakukan Rabb, mengapa kubagi cinta yang kumiliki dengan yang bukan suamiku, bukan milikku. Laki-laki itu memang baik dan aku sangat mencintainya, tapi apakah itu berarti aku bisa leluasa untuk berbagi hati dengannya?

Mengapa tidak cukup satu cinta saja bersemayam dihatiku, mengapa kemudian aku seolah berhak untuk memiliki lagi cinta yang lain. Mengapa..?  Apakah aku masih bisa merasakan keterpesonaan cinta itu,  ketika suatu saat suamiku mengalami semua yang terjadi pada Hans. Oh Tuhan. Alangkah berdosanya aku, yang begitu egois telah mendustai cinta suamiku. Suami yang begitu ikhlas menyayangi. Mungkin karena begitu lamanya kehidupan dijalani bersama,  sehingga sebuah magic cinta hilang, menghambar dan terasa tawar. Ketika semua jadi rutinitas, dan kami seolah menjadi robot waktu yang patuh pada jadwal dan skedul?. Apakah itu bisa dijadikan alasan untuk mendua, apakah itu bisa membenarkan hati untuk jatuh cinta kembali? Mengapa tidak berfikir bahwa menahan keingian untuk sesuatu yang tak sepantasnya imbalannya adalah pahala dan Syurga. Mengapa kemudian aku menjadi lupa bahwa setiap nilai keimanan itu   adalah melalui ujian?.
Untari semakin pedih,  ketika dirasakannya belaian tangan Leonard dipundak dan rambutnya
“Ai,kenapa begitu sedih”
Untari cuma sanggup menggeleng, bahkan saat Leonard merengkuhnya mengusap kepalanya dengan lembut,  semakin hebat guncangan kesedihan melanda Untari.
“lelaki ini benar-benar terlihat ikhlas mencintaiku. Bahkan janji pernikahanpun telah dipatrikannya dihatiku” bathin Untari. Tapi sungguh  tidak pantas bila aku merengutkannya begitu saja dari seorang Istri dan tiga bidadari yang masih sangat membutuhkan perlindungannya.
“Yo”
“Ya”
“Maafkan aku”
“Untuk apa, aku ikhlas membantu kok Ai?”
“Iya aku tahu  Yo, aku tahu”
                                                                        ****


Shifa mengusap lembut pipi suaminya, matanya sembab karena tidak berhenti menangis, banyak yang hendak dikatakannya, tapi semua menyangkut ditenggorokan. Wajah didepannya terlihat lelap, dadanya naik turun, seirama dengan detak mesin pacu jantung yang selangnya terhubung ke tubuh yang diam tak bergerak itu.
“Papa, maafkan aku” Bisiknya berulang-ulang.
“Buka matamu pa, demi aku demi Abyl” Tapi wajah yang tertidur tenang didepannya itu, sama sekali tidak bergerak, selain dada yang naik turun menandakan dia masih ada.

Sudah menjelang pagi ketika Untari berniat pamit, dia tahu banyak yang bisa merawat Abyl, tapi Untari ingin memastikan bahwa balita kecil itu benar-benar dalam keadaan baik baik saja. Syifa tidak tidur, walaupun Untari selalu membujuk supaya sahabatnya itu beristirahat,  untuk mengumpulkan tenaga kembali.
“Tidur Syi, Abyla masih membutuhkan kamu. Jangan perturutkan hati dan kesedihan”
“Iya Ri, sebentar lagi”
“Aku balik dulu, ingin memastikan Abyla baik-baik saja”
“Makasih Ri, bilang Leo aku berterima kasih sekali atas bantuan yang diberikannya”
“Iya Syifa, sama sekali nggak masalah” Leo yang kebetulan sudah kembali masuk kedalam ruangan menyahut, Syifa mengangkat wajahnya. Leo miris melihat  kesedihan  luar biasa yang terpatri diwajah sahabat kekasihnya itu.
“Terima kasih Yo”
“Iya Syi, sama-sama”
Untari beriringan dengan kekasihnya meninggalkan ruangan dimana Syifa tertunduk menyesali semua yang menurutnya pantas disesali, baru hendak membuka pintu kamar, ketika mesin pemacu jantung Hans mengeluarkan bunyi panjang, tanda berakhirnya sebuah kehidupan.

Untari terpana, Leonardo ternganga, Syifa menjerit, teriakan perempuan itu bergema  memenuhi kamar, yang terasa mencekam tiba-tiba. Ia memanggil dokter berulang-ulang sebelum rebah tidak sadarkan diri. Leo berlari mencegah Syifa jatuh kelantai. Untaripun kemudian membantu membaringkan Syifa di sofa. Sekujur tubuh Untari gemetar, tak percaya. Hans sudah pergi, Hans sudah tiada lagi. Beberapa teman dan kolega yang berjaga-jaga diluar kamar,  berhamburan kedalam. Dokter dan beberapa suster mencoba memberikan pertolongan tapi memang tak ada yang lebih berkuasa atas semua yang ada di alam ini selain dari Allah SWT. Menjelang subuh,  ketika Hans menjemput akhiratnya, menyelesaikan tugasnya sebagai makhluk dunia yang bernyawa, untuk melanjutkan langkah menuju alam abadi yang tak bertepi.
Kekuatan apa yang masih dimiliki makhluk di bumi yang begini luas, bila Sang Khaliq sudah berkehendak? Ketika waktu telah ditetapkan, panggilan telah dijadwalkan. Kemana langkah akan menuju selain patuh pada jalan dan kehendakNYa. Hans menghembuskan nafas dengan tenang, ketika operasi selesai dilaksanakan dan dianggap berhasil oleh dokter yang menanganinya.

Halaman  surat yassin didepannya sudah basah oleh air mata, tapi Syifa tetap melafazkan ayat demi ayat dengan terbata-bata,  karena linangan air mata dan rasa tercekat di tenggorokan membuat pandangannya kabur dan bibirnya sulit mengeja. Pergilah suamiku. Tenang dan damailah perjalananmu menuju haribaan illahi. Maafkan semua kesalahn perempuan pendosa ini. Maafkan aku Hans…maafkan aku.  Aku telah salah melangkahkan kaki, telah khilaf menjatuhkan pilihan hati. Telah lalai sehingga buta dan mengabaikan kasih, buta dengan cinta dan kata setia.  Janji suci pernikahan hitam ditanganku. Tuhan ….perempuan berdosa ini, yang hatinya diliputi kepalsuan sekian lama. Ampuni aku, bila sebuah dusta terbawa hingga maut membuatnya tetap menjadi hitam dalam gelap dan tertipulah  kejujuran.

Kedatangan keluarga sedikit banyak membantu Syifa untuk tegar,  kakak dan adik serta ibu memberi  dorongan  moril, mengulurkan tangan , menunjukan lentera sehingga hatinya tak melangkah selalu dikegelapan. Syifa menatap sekuntum kamboja putih jatuh diatas pusara Hans, ketika dia hendak bangkit untuk meninggalkan makam suaminya itu. Setengah hari dihabiskannya waktu  untuk  tafakur dalam khusuk doa. Sekuntum kemboja putih seolah sebuah pesan baginya, bahwa Hans melihat  ia datang dan tahu kalau dia akan pergi.
“Aku akan kembali besok Hans, ijinkan aku pulang,  karena dirumah masih ada Abyl, anakmu…anak kita yang menunggu aku”
Syifa membiarkan air matanya bergulir menetes jatuh membasahi kelopak putih bunga kemboja,  diatas gundukan tanah merah.  Dilangit warna jingga membias,  pertanda malam akan segera tiba, dan perlahan mobil yang didalamnya ada seorang perempuan,  dengan hati pedih mendalam, perlahan bergerak meninggalkan makam pekuburan yang mulai diselimuti warna kuning dari kemilau senja.



Andai  Saja  Langit  Ini  Biru  Terang
Desember ini,  tidak  seperti  biasanya.  Dulu  setelah  melewati  Agustus  empat bulan di penghujung tahun,  adalah merupakan puncak musim penghujan. Tapi  sekarang   sudah melewati setengahnya, cuaca masih  tetap panas dan membuat gerah. Daun-daun kering berserakan diatas rerumputan, separuhnya bahkan mengotori teras Mushola yang terbuat dari keramik  maroon terang. Diantara dedauan hijau tua kecoklatan,  bunga-bunga  yang gagal menjadi putik, luruh karena tiupan angin musim kemarau, gugur berjatuhan.  Warnanya telah berubah menjadi merah tua, kontras, dengan dedauan yang kering disekitarnya.  Setelah kematian Hans,  Syifa memutuskan kembali ke Jakarta.  Berada didekat keluarga diharapkan dapat memulihkan dengan cepat kesedihan dan goncangan jiwa yang  dialaminya.

Tepat didepan rumah ibu Halimah, berdiri Mushola yang sangat sejuk dan asri. Bangunan tempat beribadah itu sengaja tidak diberi dinding,  supaya udara leluasa masuk.  Dengan begitu, sebanyak apapun jema’ah Mushola,  semuanya tetap bisa beribadah dengan nyaman. Mushola selalu  ada disetiap  satu blok dalam kompleks,  yang luasnya hampir empat hektar. Halaman Mushola ditumbuhi  rumput   hijau dan diatasnya   beberapa pokok pohon mangga harum manis terlihat berjejer. Saat ini pohon-pohon  itu  sedang lebat berbunga. Bunganya yang berwarna pink cerah semarak diantara dedaunan  hijau.  Sebagiannya jatuh berserakan,   sembarangan.

Syifa duduk disebuah kursi rotan berbentuk bulat, diantara rimbun Anturium yang berdaun lebar. Mata perempuan itu menatap kosong, jauh dan lengang, hingga kelangit yang tidak lagi berwarna biru terang. Hari sudah menjelang malam,  bias senja  menyapu dengan lembut awan-awan  yang tadinya putih menjadi  jingga.
“Kakak disini?”
Syifa tidak bergeming, walaupun dia mendengar seseorang menyapa. Tapi ketika ia merasakan sentuhan lembut dipundak, perempuan itu berpaling, disampingnya, Risma tersenyum.
“Kakak nggak  siap-siap ke Mushola? Sudah hampir Magrib”
“Iya”
“Kakak memikirkan  apa lagi?”
“Nggak ada”
“Kakak jangan sedih terus ya, kasihan Abyla”
“Abyla mana Ris?”
“Ada sama ibu, tadi main di ruang tengah”
“Kamu duluan, nanti aku menyusul”
Risma tidak bisa berbuat banyak.  Untuk membangunkan kakaknya dari lamunan panjang,  memang hal yang tidak mudah. Syifa tahan duduk berjam-jam,  tanpa  bicara, hanya diam. Seolah jiwanya tidak lagi bersatu dengan  raga. Jiwa yang selalu terlihat berkelana. Banyak yang berubah dalam diri perempuan ini. Tak ada lagi pancaran mata bulat bening dan bercahaya, pipi yang segar dan tubuh yang molek. Syifa kehilangan berat badannya dengan cepat.  Wajahnya tirus, dan matanya terlihat muram. Setengah jam kemudian perempuan itu telah sampai di depan pintu Mushola yang terang benderang ditimpa cahaya lampu. Azhan berkumandang dengan indah dan lantang, memanggil dan mengingatkan umat untuk menyegerakan Sholat.

Ya…Allah,  Tuhanku yang Maha Pengasih.  Setelah sekian waktu berlalu, mengapa rasa bersalah ini tak mau pergi juga. Himpitan dosa menindih hingga sesaknya menusuk daging.  Apa yang bisa hamba lakukan,  untuk merubah semua kekacauan pikiran,  atas dosa yang tidak tertebus ini?  Wajah cantik Abyla kecil, melintas dipelupuk matanya.  Bayangan yang kian menorehkan rasa sesal  di dalam hati perempuan itu. Semua orang pasti beranggapan Abyla sudah tidak memiliki Papa lagi.  Gadis kecil yang malang,  yang tak pernah bisa merakan belaian lembut,  dan kasih sayang seorang laki-laki  yang dipanggilnya "Papa". Padahal tidak demikian, kenyataan yang sesungguhnya,  Abyla masih memiliki orang tua yang utuh. Ada Ayah dan ada Ibu. Tapi semua jadi kacau,   dan akulah penyebab kekacauan itu. Aku menyesatkan masa depan anakku sendiri. Sehingga garis kehidupan dan perjalanan nasibnya menjadi tidak simetris seperti sekarang. Jangankan Abyla, ayah kandungnya sendiripun tidak tahu,  bahwa  seorang balita kecil yang cantik dan menggemaskan, telah terlahir kedunia. Balita kecil yang mungkin saja akan menjadi salah satu dari sekian anak kesayangan ayahnya.  Anak perempuan yang ketika besar nanti, bahkan mungkin saja akan menjadi anak yang santun dan sangat mengasihi serta hormati pada sang ayah. Ayah kandungnya sendiri. Syifa menutup doa, dengan menangkupkan kedua tangan diwajah yang telah bersimbah air mata. Beberapa kali dia mengusap mukanya, mencoba untuk tidak hanya sekedar menghapus air mata. Syifa ingin rasa salah dan berdosa ini juga turut sirna.
“Besok jangan lupa konsul Syif”
“Memangnya nggak  bisa ditunda Bu?”
“Jangan ditunda lagi, minggu kemaren juga sudah ditunda”
“Aku merasa sudah tidak perlu konsul lagi Bu”
“Syifa, jangan keras kepala. Ibu tidak mau kamu terlalu tenggelam. Kemaren Dokter Alya bilang,  kamu lebih banyak menjadi pendengar di Group. Tidak ikut terlibat sharing”
“Aku sudah tidak membutuhkan sharing dengan mereka Bu”
“Maksudmu”
“Aku cuma butuh berdialog dengan Tuhan”
Wanita tua itu sekuat tenaga menahan rasa sedih di dalam hati, penderitaan  ternyata telah memenjara semua logika dan pikiran sehat. Siapa yang mampu membuat anak perempuannya ini pulih, seandainya ada,  mau rasanya dia memohon dan membayar berapapun untuk membuat Syifa kembali seperti dahulu. Kasihan Abyla, setelah kehilangan  ayahnya, sang ibupun terlihat terlalu shock untuk dapat memberikannya perlindungan dan kasih sayang.
“Jangan menjadi perempuan yang rapuh Syif”
Bu Halimah mengusap lembut jemari Syifa.  la  menggenggam tangan anaknya dengan erat, mencoba mengalirkan energi dan kekuatan pada buah hatinya yang sedang lara.
“Ibu sayang padamu”
“Aku juga Ibu”
“Kamu menyayangi Abyla juga kan”
“Iya Bu”
“Berhentilah bersedih, sudah saatnya kamu bangkit berdiri anakku”
“Iya”
“Ibu percaya Allah beserta orang-orang yang sabar”
“Iya  Bu”

                                                                        *****

Rumah sepi sewaktu  Aby pulang, di ruang tamu kosong, begitupun ketika sampai ke ruang tengah,  ke dapur, tetap tidak ada siapa-siapa. Badan yang lelah dan lengket, pikiran yang kusut dan bathin yang tergoncang hebat, membuat Aby menjadi sangat gerah dan tertekan.  Lelaki itu  memutuskan untuk  mandi, menguyur tubuhnya dengan air yang sejuk. Seketika setelah itu, Aby merasakan tubuhnya segar kembali,  demikian pula dengan  pikiran dan hati yang tadinya suntuk,   menjadi  lebih tenang.  Apapun yang akan dijumpainya setelah ini, biarlah mengalir sesuai dengan takdir. Aby tidak mau mereka-reka apa yang bakal terjadi pada esok hari,  yang belum tentu masih ada dia didalamnya.
“Papa…papa”.  Suara Laisya gadis kecilnya, terdengar lantang memenuhi ruangan. Aby  yang sedang menghanduki badan tersenyum, Laysa selalu begitu, bila melihat mobil terpakrir di garasi, tapi tidak menjumpai dirinya,  maka dia akan  selalu  ribut mencari sana sini.
“Sebentar, papa di kamar”
“Kenapa pulangnya lama banget?”
“Terjebak macet”
“Hmmm……Mama di Mesjid, sama kak Vierna”
“Abangmu?”. Aby menjumpai anak gadisnya sedang duduk manis  di kursi makan,  menunggunya. Masih mengenakan mukena berwana ungu tua.
“Abang tadi juga ikut ke Mesjid Pa. Tapi Icha nggak tahu juga apa masih ada di Mesjid.  Soalnya,  tadi  Icha lihat Abang keluar sama temen-temennya Pa”.
“Mama enggak  masak lagi ya”.
Gadis kecil  bermata bulat  berambut ikal dikepang dua itu  mengangkat bahu. Dan Aby lihat meja makan memang masih kosong tidak ada apa-apa.
“ Ya sudah,  kalau begitu, ayo kita makan di luar, tapi tunggu Papa Sholat Magrib dulu ya”.
Aby membeli tiga  bungkus nasi goreng untuk dibawa pulang, di komplek perumahannya, nasi goreng Bang Muin  memang paling jempol. Banyak yang ketagihan  dengan masakannya, disamping enak,  tempatnya juga  bersih. Hal inilah yang kemudian   menjadi daya tarik tersendiri bagi semua pelanggannya.
Laisya , mengunyah nasi goreng  perlahan,  setelah meniup beberapa kali,  nasi goreng yang memang terlihat masih mengepulkan asap. Panas tapi nikmat.
“Enggak pedas kan” Tanya Aby
“Engga”
“Gimana tadi disekolah?”
“Biasa aja”
“Pelajarannya apa?”
“Cuma disuruh bikin gambar, terus membuat  huruf kapital”
“Icha bisakan?”
“Pasti donk, kan sudah diajarin sama papa kemaren”
“Memangnya  sama persis”
“Hooh, hampir”
“Mama, masih ngambek?”
“Iya. Tadi Icha lihat mama menangis, kayaknya lagi telepon Eyang”
“Oh”
“Papa ngapain sama mama?”
“Enggak ada”
“Kok Mama nangis?”
“Mama kesel sama papa, tapi nanti papa akan membujuk mamamu supaya enggak nangis lagi”
“Iya Icha sedih lihat mama nangis”
“Papa juga”

Rahayu melihat suaminya pulang. Dikejauhan  mobil sedan bewarna hitam itu terlihat  berbelok, memasuki gang rumah mereka.  Wanita itu sengaja  berjalan perlahan, tidak ingin menarik perhatian. Rasa gondok dalam hatinya masih bersisa, sehingga Rahayu memilih berlama-lama di Mesjid untuk mencari ketenangai. Mengambil jalan pulang yang lebih gelap dan temaram ini pun dia lakukan supaya tidak berpapasan langsung dengan mobil suaminya, sehingga Aby tidak serta merta dapat melihatnya.  Sebenarnya Rahayu sendiri juga tidak terlalu tahu,  apa yang telah menyulut rasa marahnya pada lelaki yang dipanggil suami itu. Tapi yang dia tahu, dan dirasakannya adalah Aby telah berubah,  Aby seperti menyimpan sesuatu. Perubahan yang sudah dirasakanya sekitar tiga tahun belakangan ini.  Laysa masih berusia dua tahun ketika itu. Sering Rahayu menangis,disaat  menyusui  balita kecilnya. Ia menangis karena merasa kalau hati Aby sudah bukan untuknya. Seolah hati dan jiwa lelaki itu tak sepenuhnya berada diantara keluarganya sendiri. Aby memiliki dunia lain, dari kesibukan disiang harinya,  hingga keasyikan dimalam harinya. Rahayu merasa tersisih, dan disisihkan. Di depan Aby, dia adalah wanita tegar, keras hati dan arogan. Tapi semua itu sengaja ia  ciptakan,  supaya Aby tidak bisa melihat isi hati Rahayu yang sebenarnya. Teriakan jiwa yang luka,  hati seorang istri yang terkoyak karena merasa cinta suaminya telah bercabang. Rahayu seperti sedang berseteru dengan kegelapan, dia tidak tahu wujud nyata yang telah membuat Aby begitu larut dan mengabaikannya. Seperti apa rupanya, dimana dia berada, dari mana asalnya. Jadi protespun dia, dasarnya apa?  Rayahu mencoba memejamkan mata, dia sama sekali tidak berselera menyantap nasi goreng yang Aby beli,  Wanita itu berbaring saja , disamping gadis kecilnya Laysa yang sudah duluan tertidur pulas.

Pikiran Rahayu berkelana hingga  jauh, kemasa-masa diawal pernikahan mereka.  Saat dimana  hatinya begitu bangga dicintai oleh Aby. Lelaki yang gagah dan berwajah tampan. Kulitnya lebih terang dari kulitku sendiri,  bisik hati Rahayu. Perkenalan yang tak diduga. Dan lamaran yang tak disangka-sangka. Sampai melewati malam yang menjadi mimpi, sekaligus  takut bagi setiap wanita itupun,  dia masih tidak yakin,  kalau dirinya telah  menjadi "nyonya" seorang laki-laki yang bernama "Abimayu".

Pernikahan mereka baik-baik saja, hingga kemudian hadir para malaikat kecil, yang membuat  rumah jadi  ramai oleh gelak tawa dan canda serta olok-olok.   Tak putus-putusnya, memberi warna  bagi perjalanan hidup,  dalam satu ikatan yang bernama keluarga. Rahayu menelusupkan wajahnya dikelembutan bantal, menyimpan jauh isak tangis yang tiba-tiba ingin meledak. Saat itulah  Rayahu merasakan elusan lembut dari jemari yang kokoh menjalari betis kakinya. Sentuhan yang tidak pernah bisa dilupakan. Sentuhan special yang selalu hadir memaknai sebuah keinginan ,  Usapan yang selalu Aby berikan , ketika  menghendaki sebuah pengertian dan maaf darinya.
“Ma”
“Ya”
“Sudah tidur”
“mmm……sudah”
“Oooo,  mama sudah tidur ya?” Bisik Aby lembut ditelinga istrinya, mencoba mencairkan suasana.
“Iya”
“Maafkan  aku”
“Papa nggak  salah”
“Tidak ada yang salah ?”
“Ya tidak ada yang salah”
“Jangan menyimpan marah terlalu lama Yu”
“Biarkan aku sendiri dulu, By”
“Kenapa selalu begini?”
“Aku belum bisa”
“Ayu”
“Ya”
“Jangan memendam sesuatu yang membuat tidak nyaman dihati”
“Aku tidak memendam apa-apa”
“Mengapa harus bertahan untuk sesuatu yang tidak baik”
“Itulah aku By”
“Untuk berubah,  masih  sangat  mungkin Yu. Masih banyak waktu”
“Aku merasa tidak perlu merubah apa-apa”
“Aku harap suatu saat hatimu  melembut”
“Ya aku juga berharap begitu”
“Ya sudah”
“Selamat tidur Yu”
“Ya..selamat tidur By”
Kemudian Rahayu merasakan tak ada lagi sentuhan dibetis. Tak ada lagi hembusan nafas ditelinga. Aby, perlahan turun dari ranjang,  dimana  dia dan anak-anak tidur. Pintu kamar yang ditutupkan perlahan, dan lampu yang dimatikan,  menandakan  Aby memang benar-benar sudah pergi. Wanita itu membenamkan wajah lebih dalam, menyurukkan air mata yang berembesan, deras mengalir membasahi bantal, seolah dengan kekuatan  yang dimilikinya,  tangisan mampu mendorong semua sesal dan bongkah penderitaan dalam hati.

Sebenarnya banyak hal yang membuat Aby kagum pada istrinya, dia adalah sosok wanita yang berambisi dan mandiri. Kuat pendirian dan teguh hati. Hanya Aby menilai Ayu terlalu keras memperlakukan diri sendiri, bahkan buat anak-anak begitu pula …… aku,  Keluh Aby. Setelah menutup pintu kamar perlahan lelaki itu menuju ke kamar yang lain. Kamar yang sudah bertahun-tahun ditempatinya sendiri. Hanya sesekali  saja Rahayu datang menemaninya. Aby tidak tahu trauma apa yang sedang dialami Rahayu, dan alangkah inginnya dia ikut merasakan . Tapi Rahayu selalu punya cara berkilah yang tidak pernah bisa diurainya. Merebahkan kepala dan tubuh yang letih setelah beraktifitas seharian sungguh terasa nyaman.

Sejenak Aby tertegun,  ingat  kejadian sore tadi,  waktu ia terjebak macet  di depan kampus Muhammadiyah. Dengan susah payah Aby berhasil  menyalip dan berbelok ke kiri mencari jalan komplek, untuk bisa  terbebas dari antrean panjang,  yang tidak tahu dimana ujung dan pangkalnya. Mengendarai mobil diantara Kompleks perumahan yang berjejer rapi tanpa pagar, cukup memanjakan mata. Halaman rumah yang ditumbuhi rumput hijau dan pohon-pohon pelindung. Sungguh terasa sejuk  dan membuat nyaman dihati. Beberapa anak terlihat berlarian, bercanda dengan teman seusianya. Aby, agak melamun waktu itu, ketika tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu menggelinding menuju roda depan sebelah kanan mobil yang ia dikendarai. Serta merta lelaki itu mengerem mendadak mobilnya. Aby hendak membuka pintu, ketika dari arah yang lain,  seorang anak perempuan kecil  berlari menuju padanya. Jarak diantara meraka tidak begitu jauh , sehingga Aby dapat melihat, gadis kecil berkulit  bersih itu,  berambut ikal, dengan bandana warna biru muda.  Dahi nonong dan lapang?  Ya Tuhan……!.   Entah mengapa seketika dada Aby berdesir, merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba menjentik ujung hatinya. Kenapa wajah ini seolah tidak asing?  Dahi nonong dan rambut yang ikal seperti ini. Alangkah miripnya   dengan yang dimiliki oleh Laysa serta  Vierna. Kedua putrinya,  belahan jiwanya.  Mata yang bulat  bercahaya, pipi yang tembem. Aby merasakan debar aneh dan sesuatu kembali  menjentik ujung bathinnya.
“Halo sayang” Aby menyapa  dengan bibir penuh senyum. Gadis kecil terlihat ragu-ragu melanjutkan langkah.
“Jangan takut,  Om enggak  jahat  kok”  Senyum ramah  yang terukir di bibir Aby, membuatnya terlihat lebih tenang.
“Namanya siapa?”
“Abyla”
“Wahhhh…. Kok mirip ya, sama nama om?”
“Emang nama om siapa?”
Aby tergelak, mendengar pertanyaan polos dari bibir mungil kemerahan, gadis kecil dihadapannya. Sejenak dia terpana, melihat betapa  gadis kecil  dengan bola mata besar dan jenaka,  yang kini  menatap penuh padanya, memiliki pula hidung yang  bangi,  garis bibir yang  sangat mirip dengannya.   Ahhh….!!!!  Aby mengenyahkan pikiran aneh dikepalanya.  Bila ini kebetulan, sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa. Kenapa aku seperti membawa cermin wajah Laysa saat melihat Abyla kecil?
“Nama om siapa?” Kembali gadis kecil bertanya dengan tatapan merajuk,  lamunan lelaki itu buyar seketika
“Aby”
“mm”
“Kamu Abyla?”
“Iya”
 “Miripkan?”
Gadis kecil tertawa, entah mengerti atau tidak.
“Om,  ambilkan  bola aku donk” lanjutnya.
Aby tahu,  pernyataan yang barusan diucapkannya tidak memberikan arti apa-apa bagi gadis kecil ini. Tapi dia lega karena telah mengatakan apa yang tercetus dalam hatinya.
“Oke tapi sebelum om ambilkan, om mau tanya dulu”
“Abyl disini main sama siapa?”
“Sendiri”
“Sendiri?”
“Tadi tante Risma nemenin, cuma sekarang enggak”
“Lho…kenapa?”
“Narok piring sama gelas makan Abyl”
“Oooo..jadi Abyl baru selesai makan ya”
“Iya”
“Tadi bilangnya  kok tante? Mama Abyl mana?”
“Mama  sakit om, sejak papa meninggal”
“Jadi papa Abyl sudah enggak ada”
Gelengan kepala Abyla membuat rambut ikalnya ikut bergoyang. Aby menyesal telah menanyakan hal itu pada gadis kecil bermata besar dan berambut ikal ini. Sungguh disayangkan, dalam usianya yang masih balita, Abyla  sudah tinggal oleh ayahnya. Tentu sekarang anak ini belum merasakan dampaknya, tapi nanti setelah dia tumbuh dan menjelang remaja, akan terasa ada yang kosong. Ada perasaan alpa akan kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Ya Rabb,  beri aku kesehatan jasmani dan rohani, sehingga bisa menjaga dan merawat anak-anak yang Engkau amanahkan kepadaku, hingga mereka dewasa kelak. Hingga aku menuntaskan semua kewajiban seorang ayah pada mereka.
“Ayo Om antar pulang. Tapi janji sama om ya, setelah ini  jangan lari-lari dan jangan main terlalu jauh dari halaman rumah Lagi”
“Iya Om”
Aby mengiringi langkah gadis kecil itu,  menuju rumah bercat hijau tosca gelap.  Rumah itu tepat berada didepan sebuah Mushola yang teduh dan terlihat asri karena sengaja dibuat tidak berdinding. Rumah gadis kecil Abyla,  berbentuk unik dan menarik. Tadinya rumah ini bermodel Mediterania,  tapi sepertinya disulap menjadi minimalis. Jendela yang panjang dan kecil,  divariasikan dengan kaca persegi besar disetiap sudut rumah. Sungguh selera yang bagus. Bunga anturium berdaun lebar terlihat hampir memenuhi setengah halaman samping kiri rumah. Semua konsen pintu dan jendelanya diberi cat berwarna putih. Teras yang penuh  bunga-bunga berdaun hijau itu, dipayungi oleh  canopy dengan warna senada. Besinya berukir dedauan hijau dan sepuhan kuning keemasan.  Hijau tosca menjadi indah ketika dipadu dengan warna putih terang.  Kesan  teduh menjadi sangat kuat. Di halaman beberapa anggrek kalajengking coklat dan maroon pekat terlihat mulai mengeluarkan sulurnya. Rumah  yang nyaman dan terawat, bisik hati lelaki itu. Ketika Aby masih berdialog dengan hatinya soal rumah yang asri, dari pintu rumah,  tiba-tiba muncul seorang wanita muda, bergaun kream kotak kotak hitam. Wajahnya lonjong, matanya besar dan jenaka. Rambutnya yang lurus sebahu terlihat legam. Hidungnya mancung dan mulutnya penuh. Wah…..wajah ini mengingatkan Aby pada seseorang, yang begitu special dihatinya. Mengapa hari ini banyak sekali kebetulan yang aneh. Atau apakah aku terlalu terobsesi dengan bayangan wajah itu. Wajah yang pernah merasuki hidupnya tiga tahun yang lalu. Yang sempat sangat disayangi dan dicintainya. Aby mencoba  mengenyahkan bayangan itu dari lubuk hatinya. Tapi tak pernah bisa, tak pernah mampu.
“Sore Mba”
“Ya sore”
“Saya  mengantar Abyla”
“Lho …kenapa dengan Abyla?”
“Tadi bolanya hampir tertabrak mobil saya Mba”
“Waduh……, maaf Mas. Tadi memang saya teledor meninggalkan Abyla sendiri”
Wanita di depan Aby bercerita panjang lebar, kenapa dia sampai meninggalkan Abyla sendirian di luar rumah.  Aby terlihat manggut-manggut mengerti.
“Tante,  Om ini baik deh” Abyla menimpali.
“O iya, Abyl sudah minta terima kasih?”
“Makasih ya om, sudah bantu Abyl”
“Iya sayang nggak apa-apa”
“Saya terima kasih sekali lho Mas”
“Santai saja dek…..maaf kalau saya boleh tau?”
“Risma” Wanita itu mengulurkan tangannya
“Aby”
“Aby?”
Risma tergelak, Aby juga.
“Iya saya juga heran, kebetulan sekali nama saya kok bisa mirip begini dengan Abyla”
“Iya Mas benar, kebetulan sekali”
“Kalau boleh tahu, Abyla bilang mamanya sakit?”
“Iya Mas”
Kembali Risma bercerita tentang kakaknya yang menderita tekanan bathin  cukup hebat,  sejak suaminya meninggal,  karena kecelakaan setahun yang lalu.  Tepat ketika Abyla merayakan ulang tahunnya yang kedua.

Sungguh Aby merasa sungkan, ketika mendengar kisah yang teramat tragis menurut ukuran fikirannya itu. Kenapa mama Abyla bisa berfikiran sempit begitu ya. Apakah pernikahan mereka begitu sempurna?   sehingga perempuan itu tak bisa menerima kenyataan,  saat ditinggalkan?. Apakah suaminya juga lelaki sempurna?. Kenapa sampai begitu menderitanya mama Abyla dengan semua yang dialaminya. Apakah Rahayu juga akan terpukul ketika aku sudah tiada lagi? Achhhhhh….!!!! Aby menepiskan pikiran tak nyaman yang hadir dikepalanya.
“Maaf dek Risma saya lancang menanyakan hal ini”
“Oo.. tidak apa-apa kok Mas, sekarang Kak Syifa sudah mulai membaik kok”
“Apa?”
Terbelalak Aby demi mendengar nama itu disebut oleh Risma. Apakah ini kebetulan lagi?
“Kenapa Mas Aby?”
“Oh tidak apa-apa, saya cuma kaget”
“Kaget?”
“Iya”
“Kaget kenapa Mas?”
“Apa benar kakak dek Risma bernama  Syifa?”
Risma mengerutkan kening dengan heran.
“Iya”
Aby berupaya menahan gejolak dihatinya, rasa gemetar tiba-tiba menyelusup hingga keujung-ujung  jari. Sekujur tubuh lelaki itu terasa dingin dan beku dijantung.
“Syifa Risfana?”
“Kok Mas Aby tahu?”
“Aku, eh sepertinya nama itu mengingatkan aku pada seorang teman”
“Maksud mas?  mas Abi kenal dengan kak Syifa?
“Ya bisa jadi begitu”
“Sebelumnya kak Syifa tinggal di kota .....”
“Padang?”
Aby memotong kata-kata Risma
“Betul Mas”
“ Ya Allah…….Kalau boleh saya tahu, dimana Syifa sekarang dek Risma?”
“Disini Mas”
“Syifa tinggal disini?”
Aby pucat pasi.  Perasaannya berkecamuk.  Lelaki itu mengepal erat  tangannya,  mencari kekuatan untuk tetap tegar berdiri walau pusing dikepala.   Telinganya  berseding,  pertanda ia berada dipuncak galau.
“Mas Aby baik-baik saja?” Risma menegur Aby pelan, ketika lelaki didepannya tertegun, dan wajahnya nampak  tegang.
“Eh..iya..aku baik-baik saja” Aby gelagapan ditanya seperti itu oleh Risma.
“Bisa aku bertemu Syifa?”
Risma tersenyum sekilas, wajahnya  terlihat biasa saja, sama sekali  tidak curiga dengan reaksi Aby barusan. Wajar saja bila seseorang yang kemudian tanpa sengaja bertemu kembali dengan kenalan, sahabat, atau bahkan mungkin saudaranya setelah  sekian lama tidak bertemu, tentu akan kaget juga seperti reaksi yang diperlihatkan Aby barusan. 
“Kak Syifa sekarang sedang keluar mas. Kakak masih rutin mengikuti Therapy”
Sekuat  tenaga Aby menyimpan rasa terkejutnya. Syifa sayang, apa yang terjadi? Kenapa jadi begini?. Tapi Aby tidak mau bertanya lebih jauh. Takut Risma bisa membaca isi hatinya.
“Dek Risma, maaf sudah merepotkan”
“Aku nggak  merasa direpotkan kok mas,  apalagi ternyata mas Aby teman kakakku sendiri”
“Iya dek Ris, kami memang berteman”
Aby tersenyum, Risma juga.
“Dek Risma”
“Ya”
“Kalau boleh,  jangan  cerita ke Syifa dulu ya, kalau dek Risma  ketemu aku”
“Lho kenapa?”
“Karena aku khawatir , Syifa justru tidak ingat siapa aku”
“Oo”
“Dek Risma bakalan susah sendiri menjelaskannya”
Risma tertawa, Aby juga. Akhirnya Syifa memiliki buah hati juga, setelah menunggu sekian  lamanya.  Aby tersenyum senang, tapi sejurus kemudian merasakan sedih yang mendalam.

                                                                          *******


Langit-langit kamar temaram, Aby sengaja mematikan lampu. Hanya lampu hias diatas meja kecil disamping tempat tidur saja, yang masih nyala, warnanya pun  redup, Aby suka suasana kamar yang redup, karena  tidak pedih dimata, dan kantukpun jadi lebih cepat datang. Anak Syifa sangat cantik rambut dan keningnya mirip dengan  kedua anakku. Anakku…?. Ya Allah, Aby tiba-tiba membaca sesuatu, menemukan sebuah simpul. Tiga tahun yang lalu Syifa meminta dia menikahinya.Tanpa sebab yang jelas, memaksa dengan tiba-tiba, Bahkan dengan berurai airmata.  Tiga tahun yang lalu,  setelah empat bulan menghilang. Setelah Syifa dengan begitu saja  meninggalkannya termangu kebingungan di Anyer, setelah apa yang mereka lakukan yang begitu membekas indah didalam hati dan pikiran Aby. Apakah Abyla adalah anakku? Bathin Aby. Apakah Syifa sengaja menamai bayi perempuannya dengan namaku?. Abyla…..Abyla……

Sekarang Aby mengerti apa yang telah membuat Syifa menjadi begitu terpukul dengan luka jiwa yang dalam. Aby paham kenapa perempuan yang sangat dicintainya itu jatuh tersungkur, ketika suaminya mengalami kecelakaan dan pergi meninggalkannya beserta sikecil Abyla untuk selamanya. Aby mengatupkan gerahamnya dengan kuat, “Aku yang bersalah, aku yang telah memahatkan luka dikehidupannya”  Ia mengusap wajahnya dengan kuat mencoba untuk mengenyahkan sesal. “Maafkan aku kekasihku, maafkan aku. Aku tidak pernah menduga perjalanan hidupmu menjadi demikian pahit, setelah rentang waktu tidak mempertemukan kita lagi. Tapi aku  tahu,  bahwa beberapa bagian dari penderitaan itu, akulah salah satu penyebabnya”.
“Menikahlah dengan aku By”
“Aku ingin Aby menikahi aku”
Kalimat Syifa tiga tahun yang lalu bergema kembali direlung hati Aby, memantul keseluruh dinding jiwanya.
Tapi apa yang Aby lakukan? Ia dengan kejam malah membalas permintaan itu dengan kata-kata yang pastinya sangat sakit dirasakan  Syifa.
“Aku tak pernah mencintaimu”
“Aku tak pernah menyayangimu Syif”
Oh Tuhan, Yang Maha Pengampun, terlepas dari benar atau tidak, serius atau bukan, bila itu yang kita dengar,  disaat hati sedang bingung butuh pengakuan dan tanggung jawab, dari  keadaan yang sulit.  Sungguh itu bukanlah  jawaban yang menentramkan. Aby ingin menampar mukanya sendiri, menghajar jiwanya yang tidak peka sama sekali dengan kondisi Syifa ketika itu. Hati Aby terlalu dipenuhi oleh rasa kecewa, karena Syifa meninggalkannya begitu saja, tanpa kata, tanpa pesan. Setelah keindahan dan kenikmatan,  yang kemudian menjadikan penyakit hati dalam dirinya bercokol sekian lama.

Sepanjang malam Aby tidak bisa memejamkan mata. Wajah Syifa yang mempesona,  kembali terpeta nyata. Walau begitu lama waktu telah memisahkan mereka. Kemudian sekelebat wajah Abyla, wajah laysa, Vierna. Aby kemudian menjadi yakin. Gadis kecil yang dikasihaninya sore tadi. Yang dianggapnya begitu malang karena telah kehilangan kasih sayang seorang ayah,  diusianya yang masih sangat muda,  ternyata adalah darah dagingnya. Aby belum yakin, walau jiwanya sudah tidak lagi membantah kenyataan,  yang perlahan-lahan dapat dicernanya. Bila memang itu yang terjadi aku akan mempertanggungjawabkan semuanya. Abyla tidak bersalah. Aku dan Syifa yang telah khilaf, dan bidadari kecil berambut ikal itu, tidak seharusnya menderita. Aby berharap, kehadirannya nanti dapat membuat penderitaan Syifa sedikit berkurang. Jangkrik sudah tak lagi berbunyi nyaring, alam begitu senyap dan hening, saat Aby kemudian jatuh terlelap, hatinya diliputi rasa lega, ia merasa telah berhasil menyelesaikan polemik dalam bathinnya sendiri.


                                                                              ******


Sejak hari itu, Aby selalu menyempatkan diri datang, sekedar bebincang dengan Risma, dan Abyla. Gadis kecil itu,  cepat sekali menjadi akrab dengannya. Aby menamakan itu sebagai  ikatan bathin dan naluri dasar seorang anak terhadap ayahnya. Tali bathin dan talian darah membuat mereka cepat paham satu dengan yang lainnya. Setiap kunjungan Aby yang sebentar mereka isi dengan berbagai kegiatan. Terkadang sekedar duduk berbincang dibawah pokok mangga harum manis depan mushola, atau sekali waktu Aby ikutan main bola sepak dengan Abyla kecil yang selalu terpingkal, ketika Aby berpura-pura kebobolan gawang, saat bola yang ditendang Abyla sampai kepadanya. Pada kesempatan yang lain, diajaknya gadis kecil itu mengelilingi kompleks dengan mobilnya. Tidak lama-lama,  hanya  setengah jam setelah itu  dia akan pamit untuk pulang kepada Risma.

Risma sebenarnya tidak tinggal serumah dengan Syifa, biasanya menjelang isya perempuan itu dijemput oleh Andre suaminya.  Risma dan Andre  baru enam bulan membina rumah tangga. Andre adalah lelaki yang baik, ia mengijinkan isrtinya untuk bantu merawat Abyla, karena goncangan jiwa yang dialami Syifa, membuat Syifa sedikit melalaikan tugasnya sebagai seorang ibu.  Syifa tinggal dirumah ibunya, yang selama ini menempati rumah itu sendiri. Aby melihat sosok Ibu Syifa sebagai wanita penyabar dan sangat tabah. Beberapa kali bertemu muka, rasa simpati sudah mengaliri hatinya. Wanita sepuh itu masih terlihat energik. Sering ketika Aby berkunjung,  Ibu Halimah terlihat  sedang asyik membaca.  Kadang majalah , Koran, sambil menikmati tanaman angreknya yang sekarang sedang lebat berbunga. 

Sudah lewat tiga minggu,  tapi Aby masih belum berani menjumpai Syifa, biarlah seperti ini dulu. Aby tak mau memaksakan  keadaan. Risma sudah tahu semuanya. Aby yang menceritakan. Awalnya wanita itu kaget dan memperlihatkan wajah kurang suka,  tapi seiring berjalannya waktu, kehadiran Aby mulai dapat diterimanya.
“Kak”
“Ya”
Syifa menoleh sekejap,  sebelum kembali tekun dengan novel ditangannya. Risma tersenyum mendekati wanita berparas ayu, yang sekarang terlihat sudah jauh lebih baik. Sudah saatnya engkau membuka mata dan hatimu kak. Bathinnya.
“Kakak benar-benar sudah tidak ikut  kelas therapy lagi?”
“Iya, enggak”
“Sekali-kali kakak ajak Abyla jalan-jalan keliling kompleks kita, biar  kakak jadi lebih sehat.”
“Iya, aku juga berfikiran begitu”
“Bagaimana kalau besok sore?”
“Boleh”
Risma tersenyum, Syifa juga. Sejurus kemudian Risma melihat kakaknya  sudah tenggelam dalam keasyikannya kembali. Syukurlah kak,  waktumu tidak lagi melulu hanya diisi oleh lamunan semata. Dengan membaca,  Risma berharap Syifa bisa semakin pulih dan membaik, dan kalau bisa seperti sebelumnya. Sehingga Risma dapat menceritakan semuanya, semua yang diketahuinya tentang rahasia yang disimpan oleh Syifa selama ini.
Risma pamit pulang ketika mobil Andre terparkir dihalaman depan rumah ibunya.
“Bu”
“Ya”
“Aku balik dulu”
“Muach”  Risma mencium tangan dan pipi ibunya,
“Kak Syifa aku pulang dulu”
“Eh ya,  makasih sudah bantu jagain Abyl loh Ris”  Syifa menjawab salam adiknya dari balik pintu kamar.
“Sama-sama kak”
“Salam buat Andre”
“Iya,  tuh….. diluar,  lagi ngomong sama Ibu.  Kakak yang ngomong sendiri deh”
“Aduhhh kebangetan kamu Ris, dititipin salam saja tidak mau”
“hehehe”  Risma tertawa, sambil melambaikan tangan.
“Ya sudah nanti disampaikan”
Risma mendengar omelan tak jelas dari kakaknya. Pertanda yang baik, Syifa sudah mulai kembali merespon setiap pembicaraan yang melibatkan dirinya, bereaksi terhadap impuls yang diberikan.

Sore diliputi mendung, ketika Syifa mendorong sepeda roda tiga putrinya, disepanjang jalan komplek.  Setelah pintu gerbang, terdapat fasilitas taman, kolam renang dan lapangan tennis. Jalan menuju kesana dilindungi oleh pohon kamboja yang tumbuh memanjang di  badan jalan. Bunga kamboja putih bermekaran membuat kompleks tempat mereka tinggal kian semarak.  Syifa bermaksud membawa Abyla bermain ditaman. Ada kolam ikan disamping arena bermain anak-anak. Dipinggirannya tumbuh bambu yang berdaun halus,   sangat indah ketika angin bertiup.  Pokok bambu selalu meliuk-liuk gemulai,  bagai pinggang penari lenggang Jakarta. Syifa mendorong sepeda  perlahan, karena Risma tadi mengatakan  akan menyusul secepatnya,  setelah beres-beres di dapur,  yang   masih sangat berantakan. Hari ini mereka membuat panganan kue kampung. Risma kangen buatan Syifa,  dan perempuan itu mengabulkan permintaan adiknya. Berdua mereka membuat kue bawang ala Syifa. Kue yang Cuma digiling dengan ampia,  kemudian dipotong-potong,  tanpa bantuan mesin. Adonan  dipijet sebelum digoreng. Bentuknya jadi seperti empat persegi panjang. Uniknya adonan diberi sedikit cabe merah dan irisan daun kunyir. Sehingga ketika dimakan ada rasa gurih dan pedas. Sungguh nikmat. Abyla meminta mereka berhenti di bawah sebatang pohon chery besar yang rindang dan berbuah lebat.
“Berhenti disini mama”
“Lho kok disini?”
“Iya, kan om Aby yang suka ngajak Abyla main disini”
“Siapa itu om Aby?”
Syifa mengerutkan keningnya.
“Teman Abyla”
“Teman?”
“Iya, om Aby itu baik,  dan ganteng. Dia suka main sama aku disini ma”
“Aby?”
“Iya, mmm….. bentar lagi pasti bakal ada ketoprak yang lewat ma, rasanya enak”
“O.. ya?”
“Iya,  aku dan Om Aby suka beli ketroprak ma, dia juga  mau nyuapin aku,  sampe ketopraknya habis”
“Wah, masa sih”
 “Bener,  om Aby itu orangnya baik banget deh”
Syifa mengerutkan kening, mendengar Abyla bercerita tentang kebaikan sosok yang dinamakannya om Aby. Aby….??? Oh Tuhan, kenapa bisa kebetulan begini, kenapa anaknya kenal dengan sosok yang bernama Aby? Nama yang tidak pernah bisa lepas dari fikirannya. Nama yang pernah membuat dia jatuh tersungkur dalam kubangan dosa karena mencintai yang terlalu dalam. Nama yang karenanyalah dirimu hadir kedunia ini wahai bidadari kecilku.
”Ma”
Suara Abyla membuat Syifa tersentak dari lamunannya
“Ya”
“Sebentar lagi om Aby pasti lewat sini, dan mampir”
“Om Aby kamu itu lewat disini setiap hari?”
“Ya nggak setiap hari ma.  Cuma sering mampir disini”
“Kamu yakin hari ini dia bakal mampir juga?”
“Iya”
“Kok anak mama bisa yakin begitu?”
“Karena om Aby janji sama aku, kalau hari ini bakal mampir”
“Oooo”
Abyla mengayuh kencang sepedanya diatas rerumputan hijau,  Syifa tidak mengikutinya lagi,  karena  gadis kecilnya hanya berputar-putar  saja mengikuti  jalanan berkelok disekitaran taman dibawah pohon chery. Perempuan itu mengawasi anaknya, sambil duduk dibangku taman dibawah pokok pohon chery yang rindang.

Bila sudah begini, Syifa tidak tahu harus bagaimana, setiap pikirannya sampai dan diingatkan pada nama itu, luka lama yang sekian waktu begitu keras hendak disembunyikan,  terasa terkoyak kembali. Kenapa Abyla menyebut nama itu? Apakah benar ada orang lain yang kebetulan bernama sama,  bisa berkenalan dengan anaknya. Sungguh dunia ini begitu penuh dengan hal-hal yang tidak bisa dijangkau  pikiran biasa. Syifa tersenyum ketika Abyla dari jauh melambaikan tangan padanya, tapi ketika sekali lagi gadis kecilnya melambaikan tangan dan jarak mereka tak begitu jauh lagi, kening perempuan itu mengeryit, mata anaknya tidak tertuju padanya melainkan lebih kesamping kiri Syifa, serta merta syifa memalingkan wajah kekiri, kearah mana mata Abyla tertuju. Seketika Syifa merasa tubuhnya membeku, demi melihat siapa yang berdiri dengan senyum merekah dan tangan melambai pada bidadari kecilnya, tak jauh dari tempat dimana Syifa duduk. Wajah yang begitu dihafalnya. Bayangan yang tak pernah bisa dilupakannya.
“Aby..!"
"Mengapa laki-laki itu ada disini?”  Bathin Syifa.
Sekujur tubuhnya  gemetar seketika, jantungnya bedegup, kepalanya berdenyut. Lelaki yang mengenakan  hem warna biru langit tua bergaris abu-abu itu,  benar-benar Aby adanya. Tubuhnya lebih berisi dari biasa. Selebihnya tidak ada yang berbeda, masih persis sama seperti pertama dan terakhir kali mereka bertemu dulu, tiga tahun yang lalu di depan Pool Arimbi Transport, di kota Cilegon yang panas. Ingin rasanya Syifa merosot dari tempat duduknya, supaya bisa bersembunyi. Seandainya bisa,  maka dia sangat ingin menjadi kecil dan lari  diantara rerumputan, menghindar dari lelaki yang kini ada disampingnya. Ya Allah…. Abimayu… lelaki itu  sekarang benar-benar berdiri disampingnya. Nyata…, bukan lagi bayangan atau illusi. Syifa mencoba menenangkan dirinya, menarik nafas sedalam-dalamnya. Apa yang harus dia lakukan, apa yang akan diperbuatnya. Tanpa disadari,  Syifa kemudian menjadi terlalu tegak untuk dikatakan tetap duduk dibangku taman yang tiba-tiba terasa keras dan tajam, sehingga sangat tidak  nyaman buat diduduki.
“Hai Om”
“Hai Abyla”
“Aku bawa mama kesini om”
“O ya…?”
“Iya..”
“Hmm mana mamanya? Om pengen kenal”
“Iya, ntar ya Om aku kenalin sama mama aku”
“mamaaaaa…”
Abyla turun dari sepeda dan segera berlari kearahnya.  Habis sudah..!  Tak ada cara lain lagi buat lari, atau menghindar. Semua mesti dihadapi bathin Syifa kecut.
“ Mama, ini om Aby yang Abyl  bilang kemaren”
Syifa membiarkan putri kecilnya menarik tangan dan memaksanya berdiri, untuk menghadapi kenyataan paling sulit dan paling sakit. Abyla menghukum aku kalau begini caranya, anakku sendiri yang telah membuka kedokku, bathin Syifa. Ketika Syifa berdiri dan mengangkat muka, yang dilihatnya sungguh sangat mencengangkan. Lelaki didepannya  itu terlihat bersikap begitu santai dan siap sepenuhnya, terhadap perjumpaan mereka. Pandangan mata Aby begitu lembut menyapu permukaan wajahnya. Tatapan yang sarat dengan  lumuran cinta kasih, tatapan yang penuh dengan rasa rindu. Syifa tak sadar kalau matanya terlihat terlalu mencorong, mata yang dipenuhi rasa takut, cemas kemudian perlahan  berubah menjadi   heran dengan reaksi Aby, wajahnya pias seperti melihat hantu disiang bolong.
“Syifa”
“Aby”
Syifa aneh sendiri mendengar nada suaranya yang terdengar sumbang,  ketika menyebut kembali nama yang sudah bertahun-tahun tak pernah dipanggilnya itu. Walau bathinnya selalu  gagal  untuk melupakan. Tapi sungguh bibirnya tak pernah dijinkan  untuk melafazkan lagi nama ini. Walaupun hanya dalam mimpi.
“Bagaimana keadaanmu Syif?”
Syifa gemetar menahan perasaan yang berkecamuk di dada.  perlahan tatapan matanya berpindah, tak sanggup menatap Aby lebih lama.
“Maafkan aku” Bisik Aby.
“Buat apa”
“Karena telah menyakitimu”
“Sudah berlalu By”
“Aku tidak memberikan kamu kesempatan buat menjelaskan,  itu kesalahanku”
“Menjelaskan apa?”
“Keadaanmu Syif”
“Keadaan apa?”
“Kalau kamu sudah mengandung anakku, anak kita”
Syifa seperti ditampar dengan keras,  ketika mendengar kata-kata Aby barusan. Jadi  laki-laki ini sudah tahu semuanya, tanpa  perlu dijelaskan lagi?
“Sudahlah”
“Ijinkan aku menebus kesalahan ini Syif”
“Menebus apa”
“Semuanya”
“Semuanya?”
“Syifa”
“Ya”
“ Ijinkan aku menikahimu”
Syifa hampir rubuh karena terkejut dan tubuhnya gemetar.  Bathinnya begejolak hebat, dadanya berdegup susah memisahkan antara rasa malu tersipu dan lega dari secuil  bahagia yang  ikut menyusup perlahan membelai kalbunya. Aby ingin menikahinya, setelah semua beban dan penderitaan yang panjang. Apakah penantian yang selama ini dikecapnya, yang selama ini dilaluinya dengan harapan yang tak pernah padam telah mencapai ujungnya?  Benarkah dia telah sampai dipenghujung jalan, sehingga nasib kemudian mempertemukan?
“Aku datang memenuhi janjiku Syif, aku sudah tahu semuanya,  tidak usah dijelaskan lagi”
“Ya”
“Menurutmu adakah yang bisa menyangkal?”
“Tidak”
“Aku memahat darah dagingku dengan sangat cermat, sehingga hasilnya siapa yang bisa mendustainya?”
“Ya”
“Aku mencintaimu Syifa, sangat mencintaimu, tak pernah bisa melupakanmu”
“Ya”
Ketika Aby  mencari tangannya, menggenggam jemarinya dengan kuat, Syifa tahu dia memang tak perlu lagi  bertahan dan mempertahankan diri.  Perlahan butiran bening mengalir membasahi kelopak matanya yang kemudian  turun  menyusuri lekuk wajah. Bila kemudian Aby menariknya perlahan, mendekap dirinya dengan lembut,  Syifa lumer tiada daya, tak sanggup berdiri lagi. Sekujur tubuhnya mengambang, seluruh pori-porinya mengembang. Aby mendekap perempuan yang sangat dicintainya itu dengan sepenuh hati. Tak ada gunanya lagi membohongi perasaan. Sudah  tiba masa, dimana mereka harus  menghadapai kenyataan hidup bersama-sama.






 Jangan sakiti aku
Syifa membiarkan Aby memeluknya, pelukan ini memang sangat dibutuhkan untuk menautkan perca kebahagiaan yang telah terkoyak, sehingga bisa utuh kembali memenuhi rongga hatinya yang lama kosong. Abyla hanya bengong melihatnya. Gadis kecil berambut ikal itu kaget tidak mengerti kenapa  Om Aby harus berpelukan dengan mamanya. Tanpa diduga tiba-tiba  Abyla menangis, terisak dan kian lama kian kencang bersuara. Syifa serta merta melepaskan pelukan Aby ketika didengarnya  Abyla tersedu.
“Sayang kenapa”
“Om Aby jahat”
“Lho Om Aby kenapa?”
“Om Aby membuat mama menangis”
“Ooo”
Syifa bergegas menghapus air mata. Ia mencoba tersenyum, dan memberi pengertian pada bidadari kecilnya itu. aby pun kemudian dengan bibir penuh senyum mendekati anaknya.
“Abyla sayang, om enggak akan pernah jahat sama mama”
“Tapi om bikin mama Abyl nangis”
“Mama menangis bukan karena sedih nak”
“Terus karena apa?”
“Mama menangis karena bahagia, mama sayang sama Abyl” Syifa  meraih anak itu kedalam dekapannya. Sungguh Aby tak kuasa melihat pemandangan itu. Duhai dua bidadari hatiku,  aku berjanji pada diriku sendiri.  Tak ada lagi penderitaan setelah ini.  Mari kita rengkuh kebahagiaan itu bersama.

Di kejauhan Risma juga terlihat tak kuasa menahan air mata.  Apa yang terjadi, sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan, tapi jauh dilubuk hatinya wanita itu merasa sangat prihatin, mungkin kakaknya dan Aby sedang merasakan puncak kebahagiaan, tapi ditempat yang lain, seorang perempuan bakal meratap, mendapati rumah tangganya koyak dan cinta serta ketulusan janji pernikahannya porak poranda. Risma tidak mengerti, kenapa kebahagiaan datangnya harus bermuka dua seperti ini. Mengapa syifa harus jatuh pada keadaan mencintai yang tak lazim. Dalam ruang dan waktu yang salah. Sungguh Risma tidak paham sama sekali rahasia alam dan segala peristiwa yang terjadi diatasnya. Ia sengaja berdiri dikejauhan, Risma tak ingin mengganggu sebuah cinta yang lama tak bertaut, dan ia tahu kalau keduanya memang masih  saling mencintai.  Semoga engkau menemukan kebahagiaanmu kak. Apapun konsekuwensinya sesudah itu, semoga engkau diberi ketabahan hati dan iman, Bathinnya.

Abi menemukan Rahayu sedang duduk santai didepan televisi, disampingnya Laysa terlihat sibuk menulisi  buku yang ada didepannya.
“Ma, apakah ikan paus termasuk hewan mamalia”
“Hm, coba dibaca kembali  Cha, apa ciri-ciri hewan mamalia”
“Salah satunya adalah melahirkan, dan menyusui”
“Pertanyaannya, apakah ikan paus melahirkan dan menyusui anak-anaknya?”
Aby tersenyum mendengar percakapan Ibu dan anak itu, ia mengucapkan salam ketika sampai di depan mereka. Laysa seketika mendongak, dan terlonjak senang, melihat  kedatangan papanya.
“Papa…!”
“Wah anak papa lagi belajar ya?”
“Iya Pa, aku belajar sama mama”
“Ýa udah diterusin belajarnya, papa mandi dulu sudah bau banget”
 Rahayu sekilas melihat wajah suaminya, kening wanita itu berkerut, kenapa dia seperti melihat wajah Aby jauh lebih bercahaya dan lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Atau dia yang salah lihat? Rahayu sendiri tidak begitu sering melihat Aby dengan rona wajah seperti ini. Suaminya adalah seorang laki-laki berwatak tenang. Aby cendrung pendiam. Bila kemudian Rahayu melihat ekspresi wajah suaminya bisa  seperti tadi,  tentu ada sesuatu yang luar biasa yang mampu merubah riak wajahnya. Tak sadar wanita itu menelan ludah. Entah kenapa, tiba-tiba ia  merasakan rasa tak nyaman dan gelisah. Aby yang semakin  jauh dari jangkauan, hati dan wataknya yang dari kehari semakin keras membatu. Rahayu tahu dia keterlaluan pada Aby selama ini. Memilih pisah kamar setelah kelahiran anak ketiganya memang bukan pilihan yang bijaksana. Tapi banyak faktor yang membuatnya menjatuhkan pilihan itu. Pemasangan alat kontrasepsi yang selalu bermasalah,  membuat Rahayu trauma. Melahirkan anak dan masa mengandung yang sangat berat juga menyebabkan dia kemudian enggan melayani suaminya. Kemudian fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa semakin hari tubuhnya semakin melebar dan terus terang membuat dia merasa tidak cantik lagi. Inilah  penyebab utama, yang membuat Rahayu risih ketika berhadapan dengan suaminya, Sementara Aby  justru terlihat  semakin berkharisma dan rupawan.

Rahayu tidak membantah kalau dia kemudian menjadi lebih introvert, kian hari wanita itu dapat merasakan kalau dirinya, selalu menjadi  lebih pendiam dan tertutup  dari sebelumnya. Dari sedikit kata  yang diucapkan banyak sudah  ruam luka, sisa  air mata   yang kemudian membekas tetap  di hati.  Meski tangisan tak pernah dibiarkannya membasahi kelopak mata.  Rahayu tahu dia bukanlah perempuan cengeng. Bukan wanita lembek yang selalu mengalah pada nasib.  Setiap kali dirinya beradu argumentasi dengan Aby, selalu dia yang tak mau mengalah,  walau sebenarnya ingin sekali mengalah. Dia juga ingin seperti wanita lainnya yang  lari mendekap tubuh suami, atau bersimpuh menciun kedua lututnya, memintakan maaf sekedar meredakan marah dari harga diri kelelakiannya yang tersinggung. Tapi entahlah dikenyataannya Rahayu justru mendapati kenyataan lain. Semakin dia sedih semakin besar marahnya pada luka kehidupan. Semakin keras bahasa yang terlontar dari mulutnya.

Tidak sekali dua bahkan lebih telah rahayu ucapkan kesiapannya untuk berpisah. Keikhlasannya menerima sebuah perceraian, atas luka Aby pada sikap dan tabiatnya. Selama ini Aby memang tak pernah menanggapinya. Tapi justru diam itulah yang kemudian memancing Rahayu untuk lebih berani. Memang adakah yang perlu disusahkan?  Toh… perpisahan hanya perubahan status belaka. Dari keadaan berdua menjadi  sendiri, dalam menjalani kehidupan yang sebentar ini. Rahayu tahu pemahamannya salah. Tapi begitulah. Selalu ada masa dimana dia tidak mampu mengontrol dirinya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang dapat disesalinya seumur hidup. Dari keadaan itu kemudian Rahayu menjadi kehilangan cara, bagaimana lagi buat bersikap lebih lembut, bagaimana lagi manja yang bisa membuat suaminya selalu terpesona dan jatuh cinta.

Anak-anak sudah tidur, selesai  melaksanakan sholat isya Rahayu duduk melanjutkan menonton televisi, sinetron Cinta Fitri kesukaannya. Rahayu suka sinetron ini, dari pertama kali ditayangkan belum satupun episodenya yang terlewat. Dengan sudut matanya Rahayu melihat Aby mendekati, walaupun  diam,  tapi perempuan itu bisa membaca,  dibalik wajah yang gundah suaminya sedang menyimpan rasa bahagia.
“Belum ngantuk ma?”
Rahayu yang  asyik menonton,  seketika menoleh. Aby terlihat segar,  bau wangi sehabis mandi menerpa hidung Rahayu. Sungguh membuat nyaman penciuman. Oh alangkah inginnya Rahayu mendekat, menyandarkan kepala dibahu bidang suaminya. Tapi kenapa dia hanya diam. Menatap dengan pandangan biasa saja, mengubur segala hasrat dan keinginan yang tiba-tiba menggelitik hati. ia menelan ludahnya sendiri, sebelum menjawab pelan
“Belum  Pa”
“Mama punya waktu?”
“Ya”
Rahayu tahu, ada sesuatu yang penting, yang sangat menentukan. Karena jarang sekali Aby mengajaknya berbicara berdua begini. Biasanya kalaupun mereka berbicara itu selalu bersama anak-anak, melibatkan mereka dalam setiap senda gurau. Wajah lelaki didepannya terlihat gelisah. Rahayu mencoba menjembatani jiwanya untuk melongok membaca pikiran Aby.
“Apa yang akan papa katakan?”
“Sesuatu yang sangat penting Ma”
“Tentang apa?”
“Tentang kita”
“Papa akan mengakhiri hubungan kita?”
Kata-kata Rahayu membuat Aby tertegun, kenapa istrinya bisa mengambil kesimpulan secepat itu.
“Tidak ma”
“Terus?”
“Aku ingin minta maaf ma”
“Untuk apa Pa”
“Untuk sebuah kesalahan besar yang telah aku lakukan”
“Papa sudah menemukan perempuan lain?”
“Hmmm…”
“Betulkan?”
“Bukan seperti itu Ma”
“Lalu seperti apa”
“Aku memang bersalah, itulah kenapa aku mengajak mama bicara, aku tidak ingin anak-anak mendengarnya”
“Kenapa pa? Toh akhirnya anak-anak juga akan tahu”
“Ma, papa ingin bertanggungjawab atas kesalahan papa”
“Apakah papa bermaksud menceraikan aku?”
“Enggak ma”
“Papa mau menikah lagi?”

Aby gelagapan ditodong sedemikian rupa oleh Rahayu. Melihat rona muka suaminya seperti itu, maka lemaslah seluruh sendi ditubuh Rahayu. Mata perempuan itu memanas, tapi dia mengeraskan hati. Jangan menangis, Hidup bukan untuk diratapi tapi dihadapi. Jangan bersedih, setiap pilihan ada konsekuensinya. Ucapan dan keinginan serta kata-kata ancaman dan tantangan untuk bercerai dan siap ditinggalkan, yang selama ini dilontarkan, sekarang jadi boomerang dan siap berbalik melukai serta menoreh hatinya.
“Ma, aku juga memiliki seorang putri”
Ucapan Aby bagai petir disiang bolong, mencabik-cabik hati dan jiwa Rahayu. Aby memiliki anak dengan wanita lain, dan dia tidak tahu. Suaminya tidak hanya sekedar berbagi hati. Kalau bisa yang ingin Rahayu lakukan sekarang adalah berteriak sekuat-kuatnya. Mengejar suaminya, mencakar mukanya. Menendang kakinya, memukul tubuhnya. Tapi kenapa ini?, kenapa  tubuh jadi kaku tak sanggup digerakan. Mata Rahayu melotot, mulutnya ternganga tak percaya.
“Papa sadar dengan apa yang papa ucapkan barusan”
“Iya ma, papa juga tidak tahu awalnya. Karena setelah kejadian itu, dia menghilang tak pernah mengatakan keadaannya. Tapi”
“Tapi apa?”
“Tanpa sengaja beberapa minggu ini, aku bertemu dengan anakku”
“Hmm”
“Begitu mirip tak bisa didustai”
“Aku yang mencari tahu, dan keingintahuanku ternyata benar”
“Lalu”
“Suaminya meninggal kecelakaan dua tahun yang lalu”
“Lalu”
“Aku berjanji, akan menikahinya bila suaminya sudah tak ada, karena jujur aku mencintainya Yu. Sangat mencintainya. Dia wanita yang baik dan lembut hati. Kalau boleh disalahkan, maka salahkan aku atas kekhilafan ini”
“Jangan memuji dia dihadapanku By”
“Iya maafkan aku”
“Jadi Aby mau menikahinya?”
“Iya. Ijinkan aku menikah lagi Yu”
“Tidak aku ijinkanpun, Aby tetap akan melakukannya kan”
“Rahayu”
“Sudahlah, lakukan yang sudah menjadi janji Aby padanya”
“Yu”
“Jangan bicara lagi, aku sudah tidak berselera untuk menonton”
“Tapi aku masih ingin membahas ini dengan kamu Yu”
“Aku tak mau By. Aku mau tidur”
“mengapa begitu keras hatimu Yu”
“Aby, maafkan aku. Dulu aku selalu mengatakan siap bila Aby ingin menceraikan aku bukan?”
“..?”
“Nah, artinya apa?”
“Apakah kamu tidak mencintai aku lagi Yu?”
Aby sangat tercengang melihat sikap kaku dan tegas yang dimiliki istrinya. Keangkuhan perempuan ini,  apakah karena luka yang aku torehkan. Apakah khilaf dan dosaku yang telah merubah dia menjadi sosok wanita tak terbantahkan seperti begini. Aku laki-laki berdosa. Tapi lebih berdosa lagi bila kubiarkan darah dagingku tak mengecap bagaimana rasanya mencintai dan dicintai seorang ayah, selayaknya anak-anak yang lain. Aby mengakui salahnya, tapi apakah Rahayu yang begitu keras hati tak ikut menciptakan kesalahan menjadi kekhilafan? Sedang Aby adalah lelaki normal, yang terdiri dari darah daging, memiliki hati, fikiran hasrat dan keinginan?. Aby tak ingin mencari kambing hitam atas permasalahan yang dihadapinya. Dia memang  bersalah, tapi ia berjanji akan menjadi adil atas keduanya.
“Apa Aby masih ingin tahu” Rahayu menjawab pertanyaan suaminya setelah jeda sekian lama.
“Tentu saja”
“Hmmm,  Aby mau aku jujur?”
“Ya”
“Aku tidak tahu By, apakah aku masih cinta atau tidak”
“Maksud Ayu?”
Rahayu tersenyum, senyum yang sumir, sungguh Aby merasa bersalah melihat senyum seperti itu singgah dibibir wanita yang masih dicintainya.
“Tidak usah bertanya soal perasaan By, apapun yang aku rasakan saat ini, tak bisa aku jabarkan tapi kalau terluka ya. Aku terluka By”
Aby merengkuh Rahayu kedalam pelukannya, dia tak menyangka ternyata istrinya sama sekali tidak menolak. Tubuhnya lemah dalam pelukan Aby.
“Rahayu maafkan aku, sungguh aku telah salah dalam melangkah. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu sedalam ini”
“Sudahlah By, bermaksud atau tidak  sakitnya sama sampai kehatiku”
Aby merasakan panas mendesak dikelopak matanya. Ya Allah apa yang telah aku lakukan. Kesalahan besar dari hati yang tidak mampu dikontrol,  dari hasrat yang dibiarkan lepas, karena keterpesonaan. Bukan hanya terpesona, hati sepi Aby begitu dimengerti oleh Syifa. Syifa memenuhi semua ruang yang telah dibiarkan hampa oleh Rahayu. Syifa selalu bisa membuat Aby menjadi berharga, merasa kalau dia dipuja dan dibutuhkan. Rahayu selama ini terlalu acuh padanya, sehingga Aby kemudian merasa dirinya terabaikan dan sendiri dalam menapaki hidup sebagai lelaki. Ia memang memiliki seorang  istri, tapi tidak seperti yang seharusnya, Rahayu terlalu merasa dialah  yang paling letih, yang paling lelah,  yang paling sakit dan yang paling teraniaya. Sehingga Aby harus menelan semuanya sendiri.

Lama mereka saling berangkulan. Rahayupun  tiba tiba tak ingin lepas dari pelukan suaminya. Keadaan yang selama ini tak pernah dia pedulikan,  terasa jadi demikian berarti setelah dia merasa akan ditinggalkan. Alangkah nikmatnya pelukan ini, alangkah lembutnya belaian ini. Mengapa terasanya baru sekarang, kenapa kemaren-kemaren hatinya tak mampu menerima dan merasakan? Kenapa kemaren-kemaren dia tidak peduli dengan bisikan Aby, dengan hasrat Aby, dengan kebutuhan Aby.
“Oh Aby, aku menelan karmaku sendiri, atas angkuh dan congkakku pada rasa yang hanya tahu dicintai, tanpa kembali memberikan cinta, kasih sayang dan pengertian atas semua kebutuhanmu. Aku lupa cinta juga harus dipupuk biar terus bersemi”
Hati Rayahu meratap, meraung menyesali semua yang pernah dia lakukan atas sepi yang kemudian menjadi menu pahit yang harus ditelan oleh suaminya.  Rahayu tiba-tiba tersadar betapa dia telah menyia-nyiakan suaminya. Membiarkan Aby melewati malam demi malam di kamar dan ruangan yang berbeda. Dia terlalu sibuk memikirkan keluarga dan perkembangan anak-anaknya saja. Dia lupa suami juga bukan melulu berkewajiban mengayomi keluarga. Suami bukan cuma dituntut pengertian dan tanggungjawab semata, tapi lebih dari pada itu  suami  juga butuh belaian dan kasih sayang, serta keikhlasan istri,  untuk melayani lahir bathin kebutuhannya. Penyesalan memang selalu hadir terlambat. Sekarang Rahayu dihadapkan pada cinta yang akan terbagi, hati yang mendua, pikiran yang bercabang. Aby bukan lagi miliknya yang utuh. Kekasihnya kini sudah pula menjadi kekasih orang lain, cinta dan dirinya telah memiliki tandingan yang selalu akan dibandingkan. Ohhh………tidakkah waktu bisa diputar ulang? Sehingga Rahayu bisa membuat semuanya baik kembali, memposisikan diri sebagai istri yang tidak hanya tahu dengan tanggungjawab keluarga. Tapi juga sosok kekasih yang siap menemani suami berkeluh kesah dalam suka dan dukanya,  lahir dan bathinya.

Malam  terasa lebih pekat, tidak ada bisikan  ataupun cumbu rayu, tapi Rahayu membiarkan suaminya menjelajahi jiwa  dan raganya. Ia menyerah dengan semua luka dan gundah. Aby hadir dalam dirinya, tanpa kata-kata,  hanya hati  mereka  yang saling bicara, dan saling mencoba memahami antara satu dengan lainnya.

Ketika Aby mengutarakan maksudnya, Ibu Halimah tak kuasa menahan haru yang sesak didada. Wajah lelaki yang duduk didepannya itu begitu terlihat tulus. Terus terang menerima kenyataan bahwa Abyla bukanlah anak Hans merupakan pukulan yang telak menampar kehormatan bu Halimah, tapi kemudian  Aby meminta maaf dan mau bertanggungjawab atas dosa dan kesalahannya,  sungguh memberikan nilai lebih dihati wanita sepuh itu.
“Ijinkan saya menikahi Syifa Ibu”
Suara yang begitu santun, rasanya mustahil  kesalahan besar mampu dilakukan oleh seorang lelaki dengan bahasa sehalus ini. Tapi alasan apa yang bisa menyebabkan semuanya terjadi hanya alam yang tahu. Bu Halimah tak mampu mencernanya, tak sanggup membayangkan Syifa ada dalam kesalahan fatal ini. Abylapun kemudian menjadi bagiannya.
“Maafkan aku ibu”
“Sudahlah nak Aby, semuanya sudah takdir”
“Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti Syifa”
“Tidak usah dibuka lagi, yang lalu biarlah menjadi masa yang terkubur dalam”
“Iya bu, aku mengerti”
“Kapan kalian akan melanagsungkan pernikahan?”
“Secepatnya bu”
“Apakah istrimu sudah memberi  ijin”
“Sudah bu”
“Hmmm, ya sudahlah,  ibu tidak mau membicarakan masalah ini lebih lanjut, tapi ibu harap nak Aby bisa menjadi adil dalam keluarga”
“Aku berusaha bu, aku berjanji akan adil pada keduanya”
“Ya aku percaya nak Aby akan menepati janji”
“Nak Aby”
“Ya bu”
“Jangan sakiti Syifa, dia baru saja sembuh dari luka yang dalam”
“Aku tau bu, aku berjanji”


Syifa membuka mata dengan berat, sekujur tubuhnya terasa  lemas. Aby masih terbaring pulas. Dikejauhan Azhan subuh berkumandang. Perlahan perempuan itu turun dari ranjang takut gerakannya bisa membangunkan suaminya yang masih tertidur nyenyak. Selesai Sholat Syifa   menyiapkan semua kebutuhan Aby, dari kemeja, celana, sepatu dan kaos kaki hingga saputangan yang akan dipakai suaminya hari ini. Selesai menyiapkan semua perlengkapan Aby, barulah Syifa  berbenah, menyapu ruangan dan merapikan beberapa mainan Abyla yang tergeletak dilantai. Kemudian Syifa kembali kekamar, ia  mendapati suaminya masih saja pulas, wajah yang   begitu tentram. Syifa mendekati perlahan, mengecup keningnya yang  lapang,  mengusap rambut ikal yang agak kusut itu dengan sepenuh kasih.
“Sayang sudah subuh” bisiknya lembut ditelinga Aby
Aby menggeliat merentangkan tangan lalu  menggapai tubuh istrinya hingga Syifa rebah kembali
“Aduh Aby, dibangunkan kok malah ngajak tidur lagi?”
“Masih ngantuk”
“Sholat dulu”
“Nanti saja”
“Nggak mau”
“hmmm” Abi membuka sebelah matanya, lelaki itu melihat istrinya begitu  segar, sudah mandi rupanya, rambut Syifapun terlihat basah.
“Aby kerja hari ini?”
“Maunya enggak”
“Idiih enggak gimana?”
“Maunya tidur lagi”
“Ya udah sholat dulu, selanjutnya terserah Aby deh kerja atau tidak”
“Hmmm iya,  seharusnya semua terserah aku Syif”
“Aby ngaco ah”
Aby tersenyum, Syifa sangat suka senyum itu, bibir berkumis itu kalau tersenyum selalu mampu menggetarkan kalbunya, jenggot tipis yang ada didagu Aby, dan cahaya yang berkelebat dalam pandangan matanya, membuat Syifa mencibir malu.
“Jangan macam-macam ya”
“Sama istri sendiri?”
“Tetap nggak  boleh”
“Ooooooo tidak bissaaaaa”
Aby menarik Syifa kembali kedalam pelukannya, tapi perempuan itu berusaha menolak
“Aby”
“Syifa”
“Hahahaha”
Aby tergelak melihat wajah istrinya memerah, tak dibiarkannya Syifa menjauh, Dengan lembut Abi menyentuh bibir istrinya, menelusuri madu dari celah bibir yanag basah.
"Aku mencintaimu Syifa aku mencintaimu" Bisik Aby.
"Aku merasa sempurna bila ada disampingmu kekasihku, selalu merasa sempurna"

Hari kehari mereka lalui dengan penuh madu dan kemesraan, Abylapun begitu cepat dapat menerima kehadiran Aby ditengah keluarga. Dengan cepat lelaki itu juga mampu menyesuaikan diri. Andre bahkan sudah sangat akrab dengannya.  Sering malah  mereka menghabiskan malam untuk bermain catur,  sehingga Andre dan Risma jadi bermalam dirumah ibu mertuanya.  Karena permainan yang seru tak bisa diputus begitu saja. Risma senang Syifa bahagia, dan memang sangat terlihat kalau kakaknya itu benar-benar bahagia. Ibu Halimahpun tak melihat sesuatu yang buruk bakal menimpa anak perempuannya. Wnita sepuh itu  cukup senang,  ternyata Aby memang lelaki yang baik sekaligus menantu yang sangat santun kepadanya. Seminggu dirumah Syifa bagi Aby adalah syurga, yang lama tak dikecapnya, tapi dia tidak hanya punya Syifa, masih ada Rahayu dan anak-anak yang tentu sudah menyimpan rindu seperti hatinya juga.

Rumah sepi ketika Aby sampai, padahal masih jam delapan lewat lima belas menit. Aby membuka pintu perlahan, takut membangunkan anak-anak. Ruang tamu sepi, ruang tengah juga,  meskipun lampu masih menyala. Aby melongokkan kepala dari jendela nako yang sedikit terbuka.  Di beranda samping tak ada mobil terpakrir. Sepertinya Rahayu membawa anak-anak keluar. Kesempatan itu Aby pergunakan buat mandi, seharian dikantor sungguh melelahkan, Aby memakai T-shirt biru muda kesukaannya dan celana pendek kanvas. Lebih setengah jam belum ada tanda-tanda istri dan anak-anak akan kembali. Kemana mereka, Aby, merasa resah, beberapa kali hp Rahayu dihubungi,  juga tidak diangkat. Sudah lewat jam sembilan malam,  baru lamat-lamat Aby mendengar pintu pagar dibuka, dan suara mobil memasuki halaman. Lelaki itu tidak mengangkat wajah dari layar monitor yang ditekuninya, tapi telinganya mengikuti.
“Papa pulang” Terdengar teriakan Laysa
“Asyik papa Icha sudah pulang ma. Papa…..papa..!!!!”
Laysa menubruk tubuh Aby,  bergelayut manja dipelukan ayahnya.
“Papa kok keluar kotanya lama banget”
Aby terbelalak, hatinya ciut mendengar kata-kata Laysa, rasa rindu gadis kecilnya ini menorehkan rasa sakit diulu hatinya. Ya Allah aku tak menyangka akan serumit ini jadinya, selesai satu buhul bukannya mengurai sebuah masalah, tapi ada buhul lain yang menanti untuk diurai. Bagiamana dia bisa menceritakan semuanya kepada satu persatu buah hatinya ini?. Apakah bisa seperti Rahayu kemaren, yang selesai dengan cepat? Rahayu muncul dibarengi Vierna dan Roffal. Wajah-wajah orang yang dicintainya, Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengampun, ternyata tidak ada yang mudah di dunia ini. Satu persatu Aby pandangi wajah orang-orang yang ia kasihi.
“Dari mana anak papa sampe malam begini baru pulang?”
“Dari Mall pa, tadi mama ngajakin kita belanja, biar bisa masak enak buat papa” Aby melirik Rahayu yang dilirik terlihat mengulum senyum. Aduhhhh………sampai saat ini ternyata Aby belum bisa menanggalkan rasa bersalah dari lubuk hatinya.
“Mama mau masak apa hari ini?”
“Masakan kesukaan papa donk”
“Emang kesukaan papa apa?”
“Goreng tempe” Teriak Laysa
“Ikan goreng” Timpal Vierna
“Pasti rendang” Roffal ikut menjawab. Dengan penuh sayang Aby memeluk tubuh Roffal.
“Papa suka dibuatkan apa saja, papa rindu kalian semua”
“Aku juga mau ikut bantu mama” laysa mulai membongkar belanjaan dari kantong plastik bertuliskan HERO.
“Kalau begitu ayo kita sama-sama bantu mama masak” Ucap Aby, Sekilas dikecupnya kening Rahayu, wanita itu hanya tersenyum, dan Sungguh rame sekali dapur mereka malam itu, sudah  lewat jam sepuluh ketika masakan siap tersaji, sudah bukan jam makan malam,  tapi semuanya senang bahkan Laysa terlihat tidak mengantuk sama sekali.

Malam ini langit hitam pekat, tak ada bulan begitupun bintang,  juga tidak kelihatan. Dari siang udara memang sangat gerah, mungkin tengah malam nanti,  bakal turun hujan. Aby mengecup satu persatu kening anak-anaknya yang sudah terlelap. Membetulkan selimut mereka, mematikan lampu dan mengunci kamar perlahan.  Rahayu masih sibuk diruang tengah membereskan meja makan dan piring-piring yang masih berantakan.
“Papa Bantu”
“Sudah papa duduk saja deh ,ini juga dah kelar kok”
“Ya udah”
Tak berapa lama Rahayu  menyusul Aby yang sedang asyik mengedit beberapa naskah yang akan di uploadnya di Room “Aksara Diujung Pena Pujangga”
“Mau aku buatkan teh atau kopi?”
“Hmmm…nggak  usah Yu, aku masih kenyang. Makan malam kali ini sangat spesial dan luar biasa nikmatnya”
Rahayu, tersenyum, lama menatap wajah Aby, suaminya itu semakin kelihatan bahagia, Rahayu tiba-tiba merasa tersisih. Bahkan ketika dia ingin menyediakan secangkir teh  buat suaminya, Aby menolak, walaupun dengan seulas senyum dibibir.
“Apakah dia baik-baik saja?”
“Dia?’
Aby menoleh, didapatinya  Rahayu sedang menatap penuh padanya.
“Wanita itu?”
“Oh Syifa? Ya dia baik-baik saja, Abyla juga”
“Siapa Abyla?”
“Maaf Yu, Abyla anakku”
“Ooo”
Lama hening melingkupi mereka, ketika semakin hening, Aby memutuskan mengakhiri pekerjaannya. Perlahan didekatinya Rahayu.
“Istriku sayang, maafkan aku. Jangankan dirimu Yu, aku juga tak pernah bermimpi akan mengalami ini dalam kehidupanku. Aku manusia yang tidak sempurna, gudangnya salah dan dosa. Tapi Yu, aku tak pernah ingin menjadikan kesalahan ini semakin salah. Aku ingin kita tetap bahagia” Suara Aby rendah berbisik, dan Rahayu merasakan jiwanya begitu lengang, begitu indah bahasa Aby, sehingga tak ada kemaraham ketika  menerimanya.
“Maafkan aku juga By, selama ini telah alpa akan keberadaan Aby. Bila aku tak terlalu mengikuti perasaan dan egoku sendiri. Mungkin ini semua tidak akan terjadi”
“Yu, hidup bukan buat disesali, tapi dijalani dan dihadapi”
“Iya”
“Aku mencintaimu Yu”
“Ya By, aku juga”
“Jangan tinggalkan kami By, jangan lupa kepada aku dan anak-anak”
“Tidak sayang tidak akan pernah”
“Sudah larut”
“Ya,  sudah saatnya kita istirahat”

Hati perempuan memang tak bisa diduga, terkadang riak cinta dan kasih sayangnya bisa menghanyutkan, bisa  membuat lelaki bertekuk lutut merasa dunia serba indah layaknya syurga, tapi ketika  terluka,  hati perempuanpun terkadang  bisa menjadi jahat dan keji, sehingga mampu menjungkir balikkan dunia, melemparkan lelaki pada neraka yang pedih dan sesat.

Dikeramaian pusat perbelanjaan, Rahayu  mengamati  Aby dan Syifa yang terlihat begitu mesra, Keduanya  sibuk memilih sepatu buat balitanya yang ternyata memang sangat mirip dengan Laysa, Aby benar tidak ada yang dapat mendustai kalau gadis kecil itu adalah darah dagingnya.
Hmm, ternyata Syifa begitu cantik dan terawat. Diapun sangat pandai melayani suami, sehingga tak sekalipun Rahayu melihat Aby berwajah sedih dan gelisah. Hampir setengah hari Rahayu mengikuti kegiatan keluarga kecil itu hingga mereka kembali kemobil. Rahayu sengaja meninggalkan mobilnya sendiri,  di Parkir baseman Hypermart,  dia memilih naik taxi dan mengikuti perjalanan Aby dan Syifa selanjutnya. Beberapa waktu berselang mereka sudah memasuki sebuah kompleks perumahan yang sangat asri, gerbangnya diberi pahatan bunga tulip besar pada  didinding gerbang tertulis “Vila Alam Asri,”.  tak sampai seratus  meter setelah gerbang, di pembatas jalan,  deretan pohon kamboja berbunga putih memanjang sejauh mata memandang, sungguh indah, lebih jauh lagi disebelah kanan komplek terdapat kolam renang, lapangan Tennis dan bulutangkis serta  Gazebo dibeberapa sudut sebagai tempat bersantai.  Benar-benar sesuai dengan namanya. Pemandangan alam yang disajikan dikompleks perumahan itu benar-benar  Asri. Kedepannya lagi sebuah mesjid berdiri megah, dengan kubah kuning keemasan didepanya bertuliskan AZZAHRA, bila melihat lebih kekanan sebuah sekolah taman kanak-kanak dengan merk yang sama terlihat sangat nyaman dengan cat tembok bangunannya yang berwarna hijau.

Setiap satu blok dari kompleks  ini diberi nama bintang melata, mulai dari Kintamani, sanca, cobra  dan seterusnya. Ditengah-tengah  setiap  blok perumahan, terdapat taman bermain dengan Mushola tak berdinding yang asri dikelilingi pohon mangga serta rumput hijau dihalamannya. Hunian ini memang sangat memikat hati dan mampu menentramkan jiwa, bisik hati Rahayu.  Tak berapa lama, mobil yang ditumpangi Aby dan Syifa berhenti, disebuah rumah bercat Hijau tosca gelap, dengan kunsen bercat putih, canopy diteras rumahnya memakai warna senada. Bunga-bunga berdaun besar dan menghijau terlihat kontras dengan angrek yang bersulur panjang ada yang bunganya coklat kekuningan ada yang bewarna maroon. Rahayu meminta taxi yang ditumpanginya berhenti dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan tak menarik perhatian. Setelah dirasa cukup perempuan itu meminta sopir taxi berbalik arah.

Rumah Rahayu sendiri, bercat Abu-abu dengan model terbaru. Pagar dan taman mungil yang ada didepannya semua menggunakan tanaman sulit air. Serba minimalis. Dia memang suka dengan segala sesuatu yang simple. Baik dalam memilih perabot maupun model rumah. Aby selama ini tidak mempermasalahkan, karena suaminya itu berharap istrinya bisa betah dan merasa nyaman dirumah sendiri. Rahayu melihat anak-anaknya  belum pulang, Laysa sengaja dititipkan Rahayu di rumah Anita, salah satu kerabat yang anaknya juga sekelas dengan Laysa. Tekad membuntuti Aby sudah sejak lama ada,  tapi tidak pernah kesampaian. Hari ini dia sengaja libur di apotik untuk mencari tahu.

Setelah menutup pintu kamarnya, serta merta Rahayu menghempaskan tubuh ke ranjang, ia  tak kuasa menahan tangisan yang serasa ingin meledak didada. Semahal inikah aku harus membayar atas kesalahanku? Aku tak sanggup berbagi suami, tak sanggup menyaksikan lelaki yang aku sayangi dimiliki oleh wanita lain. Tak sanggup membayangkan Aby tertidur dalam dekapan wanita lain. Ohhhhh…Tuhanku …..Allah yang maha pengampun. Ampunkan kesalahan seorang istri yang alpa ini, tapi jangan hukum aku sedemikian kejam, aku tak kuasa ya Rabb, tak cukup kuat, menyaksikan ada anak lain yang merebut perhatian dan kasih sayang seorang ayah dari yang seharusnya dimiliki utuh oleh anak-anakku. Hanya karena kebodohan ibunya,  mereka mesti ikhlas berbagi. Bagaimana menjelaskan pada mereka kalau ayahnya tak utuh lagi bisa termiliki, bahwa waktu buat mereka sudah tak penuh lagi. Rahayu menangis, meraung menumpahkan semua rasa yang lama ditahannya di dada. Lama setelah itu dia duduk tercenung, matanya dalam dan kosong. Tapi saat wanita itu sampai pada sebuah kesimpulan, dia menjadi sedikit tenang. Apapun akan dilakukannya untuk merebut Aby, sehingga kembali utuh termiliki.

Siang Itu Syifa baru saja selesai menerima telephone dari Padang. Bimo seperti biasa secara rutin melaporkan kegiatan Sanggar padanya. Baru hendak menutup pintu,  ketika sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Merasa tak kenal dengan mobil itu Syifa hanya berdiri menunggu. Dari dalam mobil,  keluar seorang wanita berjilbab warna ungu, bajunya juga ungu dengan kembang-kembang  kecil disekitar lengan dan dadanya. Wanita itu memakai kaca mata hitam yang cukup lebar, kulitnya sawo matang, tubuhnya semampai dan padat berisi, dulu tubuh Syifa juga sintal dan berisi, tapi dia lebih mungil dari wanita ini. Sekarang saja Syifa terlihat jauh lebih kurus. Karena tekanan yang menimpa kehidupannya, terus terang menghilangkan nafsu makan dan menguras pikiran. Hal ini berdampak pada bobot tubuh Syifa yang menurun drastis. Tapi dengan tubuhnya yang langsing sekarang, Syifa malah berubah menjadi peri mungil yang cantik. Berambut tebal sebahu, lurus tanpa harus direbonding.
“Selamat siang” Halus dan kental sekali logat jawa dalam suara wanita ini.
“Siang”
“Ibu yang bernama Syifa?”
“Betul”
“Kenalkan saya Rahayu”
“Ibu mencari saya”
 Tangan perempuan itu terasa lebih sejuk dari yang seharusnya, ketika mereka saling berjabat tangan.
“Ya saya mencari bu Syifa”
“Ada perlu apa ibu mencari saya?”
Rahayu tersenyum, Syifa melihat senyumnya cukup manis, tapi kenapa terlihat mengandung makna yang dalam.
“Kenalkan saya istri Aby”
“Oh” Syifa merasa  hatinya  berdesir ketika mendengar apa yang  barusan diucapkan Rahayu.
“Mari silahkan masuk Rahayu”
Lama mereka duduk diam, masing masing seolah menilai satu dengan lainya
“Terima kasih sudah menerima saya” Rahayu yang memulai
“Iya sudah semestinya”
“Bila saya  lihat kamu, yang terlihat,  kamu adalah seorang perempuan baik dan berhati lembut, saya  harap apa yang saya  katakan nanti,  bisa kamu pahami dan fikirkan”
“Ibu Rahayu mau mengatakan apa?” Syifa sengaja memanggil Rahayu dengan sebutan ibu, karena sungguh risih mendengar wanita ini memanggilnya hanya dengan sebutan kamu saja.
“Tinggalkan suami saya”
“Maksud ibu?”
“Saya Mohon. Bantu keluarga saya.  Kamu juga seorang perempuan,  seorang ibu, dan terus terang saya  tidak punya keberanian setelah sekian lama untuk  memberitahu anak-anak saya, bahwa ayah mereka sudah bukan utuh,  milik mereka lagi”
Rahayu bersusah payah untuk tidak menangis. Mencoba menegarkan hati. Syifa terperanjat mendengar apa yang diucapkan Rahayu. Kata-kata itu sengaja diucapkan dengan penekanan yang membuat Syifa ditikam rasa bersalah tepat di ulu hati.
“Bila kamu memang seorang perempuan,  sama seperti  saya. Tolong dengan sepenuh kerendahan hati, kalau perlu saya  sujud di kakimu, tolong Syifa,  tinggalkan suami saya. Demi perkembangan jiwa anak-anak Aby juga.  Mungkin kalau kamu mau,  bisa dikatakan anak-anakmu juga”
“Rahayu, aku..”
“Saya tahu, kamu juga punya Abyla. Saya tidak pernah menyangkalnya.  Siapapun tidak. Karena itu memang anak Aby, darah daging suamiku. Tapi dia sudah memiliki ayah sebelumnya, dan tidak sakit bila yang kemudian datang adalah ayah pengganti. Sementara anak-anakku, mereka akan sampai pada perngertian, bahwa mereka  anak terlantar dan terbuang. Dibuang dari kasih sayang ayahnya Syifa. Tolong mengerti kami. Saya dan anak-anak saya”
“Aku mencintai Aby, Rahayu”
“Saya tahu, bahkan Abypun demikian”
“Aku”
“Dengar Syifa, jatuh cinta dengan lelaki yang sudah beristri dan memiliki anak darinya tidak melulu harus menjadi halal untuk merebut semuanya. Tinggalkan suami saya, saya mohon. Semua salah saya, saya yang kurang peduli pada kebutuhan suami, bantu saya Syifa”
Rahayu tak kuasa lagi membendung airmatanya, Syifapun demikian. Kata-kata Rahayu semuanya benar, walau terasa sakit didadanya. Tapi tak satupun yang salah dari ucapan itu. Kata-kata Rahayu membuat dirinya merasa jadi iblis,  yang dengan  kejam telah memenggal sebuah kebahagian, hingga bercerai-berai dan bentuknya tak  utuh lagi.
“Dengan kerendahan hati saya mohon, ajari saya bagaimana menjadi lemah lembut,  hingga Aby tak lagi berpaling. Ajari saya Syifa”
Rahayu bersimpuh dilantai tepat dibawah kaki Syifa.  Hal yang tak pernah diduga Syifa akan mampu dilakukannya. Rahayu bukan wanita jahat, walau dia telah menyia-nyiakan Abimayu. Aku juga bukan wanita jahat, karena telah mencintai Abimayu. Takdir, takdirlah yang bermain memisahkan dan mempertemukan.
“Bisakah ibu Rahayu, meninggalkan aku”
“Tidakkah semua yang saya  katakan,  mampu memberi sebuah titik terang buat keluarga saya Syifa?”
“Aku belum bisa menjawabnya bu”
“Apakah berarti saya tidak akan memperoleh lagi semua yang pantas dan dulu pernah saya miliki”
“Aku mohon tinggal aku bu”
“Baiklah, saya permisi”
“Terima kasih ibu Rahayu sudah mau mengunjungi saya”
“Assalamu’alaikum”
“Alaikumsalam”
Syifa hanya duduk tidak mengantarkan tamunya  kepintu, bahkan sampai suara mobil itu menjauh meninggalkan sedikit  asap,  bewarna keputihan dihalaman rumahnya. Syifa tetap duduk tak bergeming.


Air mata yang  berderai,  jatuh satu persatu dipangkuannya. Mengapa  jadi begini, apakah cinta kedua itu selalu dianggap tidak murni dan melukai. Aku mencintai Abimayu, dan sungguh dengan semurni-murninya perasaan mencintai. Tidak karena rupa, harta dan kedudukannya. Apakah yang kedua selalu salah, apakah cinta kedua memang tidak pernah bisa dihargai sama seperti cinta pertama. Tuhan, tolong bantu aku, aku butuh bimbingan tanganMu.  Perempuan itu membasahi mukanya dengan udhu mencoba khusuk memanjatkan doa. Lama dibenamkannya muka disajadah setelah berlembar-lembar kitab suci dengan tersedu diejanya.
“Syifa”
“Ya Bu” Buru buru perempuan itu menyeka airmata,dan mencoba menetralisir lagu suaranya.
“Risma menelpon, pulangnya agak lama.  Bawa Abyla jalan-jalan katanya”
“Silahkan saja bu”
“Ibu mau Sholat ke Mushola ikut tidak?”
“Dirumah saja bu, ini juga aku lagi ngaji”
“Ya sudah , ibu berangkat dulu ya”
“Ya bu”

Malam harinya, Syifa mengutarakan niat untuk pindah kembali ke kota Padang. Bu Halimah senang  mendengar rancana anaknya
“Ibu senang kamu sudah stabil kembali”
“Iya bu, aku juga”
“Kapan rencananya Syif?”
“Besok bu”
“Lho nak Aby sudah tahu, apa kalian sudah rumbukan?”
“Belum bu, besok ke Padangnya juga enggak lama kok, Cuma meninjau saja dulu”
“Kamu bawa Abyla?”
“Iya”
“Ya sudah, rencananya berangkat kapan?”
“Subuh bu, supaya bisa siangnya ke Sanggar, aku sudah kangen pengen ketemu sama semuanya”
“Ya, Ibu sungguh senang dengan keputusan kamu Syif”
“Makasih bu”


Ketika pesawat mengangkasa membelah jagad raya, Syifa tak kuasa menahan aliran airmata. Tak satupun  tahu keputusan apa yang telah diambilnya. Ibu menganggap ini adalah bentuk pemulihan Syifa dari seluruh tekanan bathin yang selama ini dialaminya, demikian pula hal nya dengan Risma dan Andre. Sementara Aby seminggu ini jadwalnya di rumah Rahayu.  Biasanya  setiap sore suaminya itu selalu menyempatkan diri menelphone,  sekedar menanyakan keadaan Abyla dan dirinya. Lalu menceritakan juga suasana dirumahnya. Anak-anaknya,  Rahayu dengan segala kesibukannya.  Lalu Aby akan merayunya dan Syifa selalu suka dirayu. Begitu selalu yang terjadi,  selama setahun ini. Hanya setahun, dan inipun belum habis.  Sungguh  Syifa tidak ingin memperpanjang kesalahannya lagi. Selamat tinggal  Jakarta, aku titipkan seorang lelaki yang paling aku cintai disana. Semoga kebahagiaan yang tereguk menjadi utuh dan tak lagi terusik.
"Aku pernah merasakan yang lebih sakit dari ini" Bisik hati Syifa.
Dan bila aku mengalaminya lagi, mungkin sudah tidak terlalu sakit lagi.



Mungkinkah Meraih Bintang Di Langit?,  Dan Menyentuh Dasar Samudra?

Semua awal selalu memiliki akhir. Ada saat pertemuan menghampiri, ada pula saat dimana kita harus ikhlaskan sebuah perpisahan membingkai akhir dari salah satu episode dalam perjalanan kehidupan. Ketika pesawat landing di Bandara Internasional Minangkabau, Syifa merasa dadanya begitu hampa. Dulu ditinggalkannya bumi Minang ini dengan pandangan kosong dan hati terluka parah.  Saat kembali setelah sekian tahun lamanya, ternyata keadaan  juga tidak membaik.  Tetap saja luka yang setia dibawanya. Bedanya, kali ini pandangannya tak lagi kosong, sebuah kenangan yang teramat manis dari cinta yang berbalas,  akan selalu disimpannya sebagai kenangan paling indah. Bila yang telah dituliskan bagi hidupnya ini memang

Memasuki kembali rumah yang sudah begitu lama ditinggalkan,  sungguh terasa janggal. Seolah-olah Syifa tidak masuk kerumahnya sendiri, seolah-olah rumah ini menjadi asing baginya. Selama di Jakarta, rumah ini ditempati oleb Pak Bimo, hanya satu kamar yang Syifa minta untuk tidak gunakan, sehingga bila suatu saat kelak dia ingin pulang. Ia tidak akan kesulitan, untuk mencari penginapan.  Kini Syifa telah kembali kerumahnya sendiri. Tidak satupun ternyata perabotan yang berubah posisi. Bima hanya membersihkan dan merawatnya. Tapi tetap saja perempuan itu merasa asing, melangkahkan kaki kembali diatas lantai putih, diantara syofa yang dulu begitu dikenalnya. Jambangan bunga crystal bening, diatas meja pajangan mungil disisi jendela. Masih sama. Semua masih seperti dia menatanya dulu. Syifa ingat bagaimana sibuknya dia,  ketika merancang sendiri ekterior dan interior, mencocokan gorden cat temboknya, dan seluruh pernak pernih mulai dari lukisan,  kaligrafi diruang tamu dan Foto-foto Syifa berdua Hans. Oh Hans, aku sudah kembali kesini,  kerumah kita, bisik Syifa lirih. Ternyata foto-foto itu memang sudah tak ada ditempatnya lagi . Semua foto dinding melulu kaligrafi dan lukisan abstrak saja. Hingga berkeliling Syifa tak menemukan satupun foto dirinya, Hans maupun Abyla.  Tentulah  keluarganya yang melakukan ini semua. Bagi Syifa ada juga baiknya, karena terus terang bila memandang wajah Hans,  Ia selalu merasa tersiksa atas   perasan berdosa yang tak ada putus-putusnya. Sebenarnya dengan kembali ke rumah ini saja banyak kenangan yang membuat Syifa sedih.  Itu pula mungkin,  yang menyebabkan Syifa berfikir untuk tinggal di Villanya saja.

Syifa berdiri terpaku di depan pintu kamar, dengan Abyla yang tertidur lelap. Perlahan dia membuka daun pintu bewarna jati cokelat gelap, di dalamnya sebuah ranjang big size, terlihat rapi dan bersih dengan lemari pakaian dan meja rias, serta dua lampu kamar tanpa debu. Masih lengkap persis dan sama seperti saat ditinggalkan dulu. Oh sepertinya ini memang bukan tempat yang bagus buat pelariannya kali ini. Bisa-bisa bukan ketentraman hati yang akan diperolehnya, melainkan keterpurukan dan kesedihan yang tak berujung. Syifa tidak ingin mengulangi kebodohan yang sama. Abyla membutuhkannya, bukan hanya sebagai figure ibu semata, lebih dari itu gadis kecilnya juga butuh pelindung, penuntun yang harus  selalu terlihat kuat dan tegar. Abyla pasti sangat bingung, bila bertahun-tahun hidup bersama,  hanya melihat ibunya sakit, lemah dan cengeng. Aku ingin menjadi figure yang baik bagi buah hatiku. Dengan sepenuh kasih sayang,   Syifa menidurkan anaknya di atas kasur yang tertata bersih dan tercium wangi. Lisa ternyata sudah mempersiapkan segala sesuatunya,  buat menyambut kedatangan mereka.
“Kalau  Bu Syifa perlu apa-apa,  saya ada di samping bu.  Tadi pagi Bimo meminta saya untuk membongkar bunga-bunga di pot, yang tanahnya sudah terlalu padat”
“Eh, ya nggak apa-apa Lis, tidak  ada yang aku butuhkan lagi. Rumah ini sudah begitu rapi di tangan  terampilmu”
Lisa tergelak, Syifa juga. Perempuan ini lebih kurus dari sebelumnya, bisik hati Lisa. tapi justru terlihat semakin menarik. Sayang perjalanan hidupnya kurang beruntung, harus kehilangan suami ketika anaknya masih kecil. Lisa suka dengan pak Hans orangnya baik dan ganteng. Semoga saja dia memperoleh kebahagiaan dengan perkawinannya yang kedua, bisik hati Lisa. Ketika Lisa hendak berlalu dia ingat pesan Bimo lewat ponsel tadi pagi.
“Oh iya bu Syifa, saya hampir lupa”
“Ada apa Lis” Syifa batal menutup pintu kamarnya.
“Villa ibu yang di Bukit Lampu sudah habis kontrak. Kata Pak Bimo,  kalau ibu bersedia, ada yang mau mengontraknya langsung empat tahun”
 Syifa mengerutkan dahi, sekejap kemudian di kepalanya berkelebat sebuah pemikiran. Mungkin saat ini  Villa sebaiknya tidak dikontrakan lagi.
“Ya nanti malam kita bicarakan Lis”
Sekarang  Syifa hanya ingin merebahkan tubuhnya  yang letih, di samping Abyla. Dia menutup pintu kamar perlahan. Menjelajahi seluruh perabotan di kamar itu,  satu persatu dengan mata menerawang, Syifa mencoba tidak terlalu larut, semuanya sudah berlalu. Ia tidak akan memaksa dirinya untuk tegar dengan cepat, tapi diapun tak akan memperturut kan semua kerapuhannya. Syifa memang butuh banyak waktu, tapi cuma kebaikan dan kesibukan  yang bermakna,  yang kali ini dipilihnya sebagai pelarian sedih dan lara di hati. Perempuan itu kemudian merebahkan diri disamping gadis mungil Abyla.  Ternyata cape juga, harus bangun sebelum subuh untuk bisa mencapai Bandara dan cek-in tepat waktu. Bila mengingat itu, Syifa merasa sangat beruntung memiliki ipar sebaik Andre. Suami adiknya  yang selalu siap membantu, tak pernah lelah memberikan suport dan semangat pada Syifa,  selagi dia bisa dan sanggup mengerjakannya. Beruntung lah  Risma, dan sebagai kakak  Syifa selalu berdoa buat keutuhan rumah tangga  mereka.

Malam harinya Syifa mengutarakan niat kepada Bimo dan Lisa, bahwa Villa sementara tidak akan dikontrakan, karena dia dan Abyla lah yang akan tinggal di Villa itu. Bimo dan Risa  juga merasa itulah yang terbaik untuk saat ini.  Menarik juga, tinggal di Villa yang sejak dibangun belum sekalipun ditempatinya.
“Bagaimana kalau Villa tidak dikontrakan  Pak Bimo”
“Ibu mau merehabnya?”
“Tidak pak, aku hanya penasaran, pengen mencoba bagaimana sih rasanya  tinggal disana”
“Lho bu Syifa berniat tinggal di Villa?”
“Iya. Dari pertama kali dibeli, aku belum pernah menempatinya Pak, dulu pernah sebentar beristirahat, dan aku sangat suka dengan pemandangannya”
“Ibu bena, waktu saya serah terima kunci saja, saya sampai duduk lama di teras. Sungguh pemandangan yang bagus, dan sangat menenangkan hati”
“Iya Pak Bimo, aku juga berpendapat begitu, kenapa bukan aku dan Abyla saja yang tinggal disana”
“Wahhh pastinya bakalan betah, bu. Benar-benar tempat yang sangat cocok untuk menghilangkan stress setelah bekerja seharian”
“Apalagi jaraknya dengan Sanggar, tidak   begitu beda dengan jarak dari sanggar kesini. Betulkan Pak”
“Betul  bu”
“Kalau Bu Syifa butuh seorang  pembantu, saya bisa  mencarikannya”
“Hmm boleh juga, sekalian  bisa aku jadikan teman”
“Uni Dar saja Pa,  beberapa waktu yang lalu pernah minta carikan pekerjaan sama saya” Lisa menimpali
“Apakah orangnya  baik” Syifa, tertarik dengan usulan itu.
‘”Uni Dar sangat baik dan juga jujur bu. Sejak ditinggal suaminya merantau dan sampai saat ini tidak ada kabarnya, dia  kesulitan memenuhi semua kebutuhan hidup dan biaya sekolah kedua anaknya”
“Kalau begitu, suruh saja kesini. Bila  dia setuju,  dia boleh membawa kedua anaknya untuk ikut tinggal di Villa,   menemani aku”
“Wah, saya yakin dia tidak akan menolaknya bu Syifa”
Syifa masih ingat,  saat pertama kali membeli Villa.   Dia dan Hans sempat  istirahat satu hari penuh disana, walau tidak menginap. Mereka habiskan  hari,  menikmati pemandangan alam yang indah dari atas bukit. Hamparan laut yang luas, dengan kapal-kapal kecil dan besar berseliweran  di permukaannya.  Hans dan Syifa sama-sama  memiliki kegiatan yang padat, sehingga memang jarang sekali meluangkan waktu buat bersantai. Salah satu tujuan mereka ketika membeli Villa ini,  supaya bisa memiliki  tempat beristirahat.   Mereka  ingin suatu hari kelak bisa istirahat, dalam waktu yang agak lama, terbebas dari kesibukan dan aktifitas kerja yang telah menyita hampir dari seluruh waktu yang dimiliki. Sayang keinginan itu tak pernah sampai, dan tak pernah terwujud. Tujuh bulan setelah membeli Villa, Hans pergi untuk selamanya.

Dua hari setelah itu, Syifa benar-benar melaksanakan niatnya pindah. Dari pagi hingga malam, Bimo terlihat sibuk membantu menata Villa. Ada beberapa Office Boy  dari Sanggar yang juga ikut membantu. Uni Dar memang wanita yang baik dan rajin. Syifa tahu dia bakalan betah dan suka hidup bersama dengan perempuan beranak dua itu.
“Sudah,  ibu tidak usah repot-repot membantu. Biar saya saja yang mengerjakannya” Uni Dar mencegah Syifa, ketika dia hendak mendorong sebuah bofet kecil ke tempat yang dirasanya lebih menarik. Akhirnya Syifa memilih jalan-jalan saja dengan Abyla, Syifa senang Abyla juga menyukai tempat itu.  Apalagi ternyata di bawah Villa,  juga ada sekolah Taman Kanak-Kanak Lantamal.
“Aku ingin  sekolah di sana ma,  ada seragam Angkatan Lautnya ma, Abyl suka”
“Ya, Abyl boleh sekolah disitu”
“Masih lama ya ma, mulai sekolahnya?”
“Ya,  pas  ada pembukaan murid baru dong”
“Mama, boleh tidak main dengan Bang Rido dan Amik?” Gadis kecilnya berlari kearah Syifa dengan tiga buah jambu biji bewarna merah kekuningan dalam dekapannya.
“Wah dapat dari mana, ini nak?”
“Belakang Villa ma, Bang Rido yang manjat pohonnya”
“Oo”
“Boleh ya ma?”
“Boleh, tapi janji tidak ikut manjat pohon ya”
“Enggak ,  Abyl janji”
Lepas magrib, barulah semuanya selesai. Syifa lega melihat semua sudah rapi dan sesuai dengan  yang diinginkan.  Baru hendak selonjoran ketika  handphonenya berbunyi. Syifa berdesir ketika melihat nomor yang terpampang di layar. Aby..!!!. Terus terang Syifa belum sanggup berdebat dengan suaminya untuk saat ini. Tapi Syifa tetap menerima panggilan itu.

“Syifa kamu dimana”
Suara Aby terdengar tidak sabar, suaminya bahkan lupa mengucapkan salam, tidak seperti biasanya.
“Hallo Syif, jangan diam aku butuh jawabanmu. Please Syifa katakan kamu dimana?”
“Aku kembali ke kotaku By”
“Memangnya ada urusan mendadak sehingga tidak bisa mengabari aku?”
“Ya”
“Apa”
“Maafkan aku By.  Memang tak sepantasnya seorang istri pergi begitu saja tanpa ijin  suaminya. Tapi yang aku alami, membuat aku tak bisa memilih jalan lain selain pergi”
“Tapi mengapa Syif?”
“Aku tidak bisa menjawabnya,  sesempurna maksud dan keinginan yang ada di dalam pikiranku By. Tapi intinya aku ingin menyelamatkan sebuah kehidupan”
“Kehidupan siapa?”
“Kehidupan Aby dan keluarga”
“Jangan sok tahu Syif”
“Aby jangan marah, apapun yang terjadi aku tetap mencintai Aby, menyayangi dan menghormati Aby”
“Mengapa kamu bisa merasa lebih tahu akan hidup dan hati aku Syifa”
“Maafkan aku By”
“Hmm….apakah lari  selalu menjadi jalan keluar bagimu?”
“Tidak begitu By”
“Aku pikir kamu selalu memilih lari, menghindar bila ditimpa masalah pelik yang menurutmu sulit untuk dijalani”
“Tidak  begitu”
“Tidak..?”
“Aku mohon mengertilah Aby”
“Mengerti untuk sebuah keputusan pengecut dan konyol seperti ini?”
“Aku tidak menganggapnya konyol”
“Lalu kamu menganggapnya apa Syifa?”
“Apakah kamu tahu,  meninggalkan rumah tanpa ijin suami itu dosa besar?”
“Ya”
“Apakah kamu tahu, bahwa janji pernikahan kita bukan main-main?”
“Iya”
“Lalu adakah yang lain,  yang lebih kamu takuti selain daripada Allah dan lembaga pernikahan?”
“Aku tidak mau menghancurkan masa depan keluargamu By”
“Kenapa baru sekarang mengatakannya?"
"Toh dulu kamu yang memohon untuk aku nikahi. Kamu yang bersedia dan ikhlas menjadi istri kedua”
“Iya”
“lalu?  alasan apalagi yang bisa membuat pelarian ini menjadi halal dan diakui?”
“Tidak ada”
“Tidak ada?”
“Melakukan sebuah tindakan yang dimurkai Allah tanpa alasan yang jelas?”
“Alasannya jelas Aby”
“Jelas bagi dirimu sendiri Syif. Tidak untuk orang lain”
“Tapi”
“Tapi apa?"
"Memakai kesimpulan sendiri buat memutuskan hidup dan kehidupan orang lain sungguh sangat tidak bijaksana”

Aby mematikan handphonenya dengan kesal. Apa yang kali ini ada dalam pikiran Syifa, sehingga kesimpulan bodoh itu yang dipilihnya.  Risma mencoba menenangkan Aby, begitu juga ibu Halimah, yang tidak tahu kalau ternyata kepergian anaknya itu bukan hanya sehari atau dua hari saja. Ia ikut merasa berdosa telah memberi ijin pada Syifa ketika itu.
“Ibu minta maaf nak Aby, karena ibu yang mengijinkan Syifa berangkat”
“Ibu tidak bersalah, aku tahu ada sesuatu yang telah membuat Syifa memilih jalan untuk pergi”
“Aku juga berfikiran begitu” Timpal Risma.
“Syifa adalah perempuan yang baik dan lembut hatinya. Tapi sekaligus berpendirian kuat, jadi bila dia memutuskan sesuatu pastilah  ada yang betul betul  menyentuh hatinya”
“Hmm begitu ya” Aby kemudian mendapatkan sedikit titik terang.  Ada sesuatu yang telah menggugah hati Syifa. Sesuatu yang kemudian membuatnya sampai pada satu kesimpulan. “Pergi dan meninggalkan”.

*********


Rahayu kaget melihat mobil Aby terparkir di garasi. Bukankah minggu ini harusnya Aby ada di rumah Syifa? Ketika perempuan itu masuk,  ia menemukan Aby duduk sambil membaca di ruang tamu
“Assalamu’alaikum Pa”
“Alaikumsalam”
“Tumben papa, sudah pulang” Aby tersenyum tidak serta merta menjawab ucapan rahayu.
“Mama sudah makan?”
“Sudah tadi diajak teman, hari ini aku agak santai, ada pegawai baru yang lagi belajar, jadi dia yang banyak melakukan pekerjaan,  sedang aku cuma memberi arahan aja “
“Laysa mana Pa?”
“Tidur”
“Vierna Les,  dan Roffal ngaji”
Rahayu tergelak , mendengar penjelasan suaminya.
“Papa  kenapa tidak ke rumah Syifa?”
“Itu dia, ada yang ingin aku bicarakan dengan mama”
“Dengan aku? Soal apa lagi Pa?”
Aby membiarkan istrinya beristirahat sebentar, meneguk segelas air putih dingin dan Ketika Rahayu sudah duduk di dekatnya, baru  Aby membuka percakapan.
“Boleh aku bertanya?”
“Soal apa”
“Syifa”
“Syifa?”
“Iya”
“Hmm.. silahkan, sejauh aku bisa menjawabnya. Cuma apa kaitannya sama aku ya, aku kan tidak pernah tahu dia bagaimana dan seperti apa”
“Apa yang sudah mama katakan pada Syifa?”
“Aku?”
“Iya mama.  Mama mendatangi Syifa kan?”
“O….jadi perempuan  genit itu ngadu sama Aby”
“Rahayu, jaga mulutmu. Syifa bukan perempuan genit”
“Kalau  tidak genit berarti centil donk”
“Kamu jangan keterlaluan ya”
“Lalu menurut Aby,  perempuan macam apa yang bisa merebut dan merusak rumah tangga orang lain?  Perempuan sholeha?”
“Jaga mulut,  kalau bicara Yu”
“Sekarang tidak perlu, buat apa menjaga mulut untuk perempuan seperti itu”
“Perempuan seperti apa maksudmu?”
“Aby tahu, Perempuan  yang mendekati dan mengelilingi pria,  bukanlah mereka yang pantas diperlakukan  seperti bunga, selayaknya mutiara,  bukan pula laksana  sutra”
“Perempuan inilah yang mencampakkan dirinya sendiri dalam kubangan kehinaan,  perempuan yang rela diinjak-injak kehormatannya. Tak hirau dengan  jerit hatinya sendiri, atau bahkan pertentangan bathinnya. Perempuan macam Syifa, adalah jenis perempuan  yang membunuh nuraninya sendiri,  sehingga mereka tak pantas mendapatkan penghormatan, bahkan oleh buah hatinya sendiri”
“Subhanallah Rahayu, apa yang kamu ketahui tentang Syifa, mengapa kamu bisa membuat kesimpulan kacau seperti itu”
Hati Aby bergetar mendengar semburan amarah istrinya. Kalimat yang murka dan berapi-api  terasa menghantam kepalanya.
“Kacau? Aby bilang kacau ? Apa menurut  Aby  ketika besar nanti Abyla akan senang dan menghormati ibunya? Kalau dia tahu kenapa dan bagaimana dia bisa terlahir sehingga dapat menghirup udara di dunia ini?”
“Lalu apakah menurutmu, menjadikan suami hanya seperti benda mati yang tidak perlu dihargai dan dimengerti,   itukah  yang kamu sebut dengan wanita Sholeha”
“Oooo… Suamiku ternyata membela istri mudanya”
“Ini bukan soal membela atau bukan. Tapi kamu sudah sangat keterlaluan”
“Jadi, apakah aku harus bersujud,  memohon ampun pada wanita iblis itu. Setelah dia rebut suami dan ayah dari anak-anakku?”
“Ya Ampun, berhenti Rahayu, atau ku tampar”
“Tampar saja By, kalau itu bisa membuat Aby puas. Syifa memang hebat. Dia tidak hanya mampu merebut semua yang aku miliki, bahkan merubah watak baik menjadi jahat,  Aby bahkan tega hendak melayangkan tangan padaku. Benar-benar perempuan luar biasa”
“Syifa sama sekali tidak ikut andil dalam hal ini, mulut kamulah yang menyebabkannya”
“Jadi Aby sekarang maunya gimana?”
“Asal kamu tahu Yu, Syifa sudah pergi, dia tidak di Jakarta lagi. Dan itu semua karena mulutmu” Aby lelah menghadapi  murka wanita di depannya.
“Bagusss…tahu diri juga dia rupanya. Aku pikir dia bakal tetap keras kepala dan bertahan sebagai perempuan iblis”
“Hentikan Yu, tidak usah bicara lagi”
“Kenapa”
“Karena itu bukan kamu, itu setan yang bisanya cuma tajam menyakiti dengan lidah apinya”
Rahayu diam, suara Aby yang keras, membuat dia tertegun. Belum pernah Aby bicara sampai hampir berteriak begitu. Wajah suaminya merah tegang menahan amarah. Tampak sekali  kalau dia sedang berusaha untuk tetap mengontrol emosinya. Terus terang jauh dilubuk hatinya Rahayu ciut nyali juga. Dari menikah hingga sekarang, baru sekarang Aby memuntahkan marahnya secara terbuka begini padaku.  Bisik hati Rahayu. Dasar perempuan sialan.
“Sekedar kamu tahu Rahayu. Syifa tidak pernah bicara kepadaku, aku tidak sempat berjumpa dengannya, karena ketika aku sampai di sana,  dia sudah pergi. Jadi apa yang kamu tuduhkan, hinaan bertubi-tubi yang terlontarkan dari mulutmu sungguh tidak layak. Karena dia memang tidak melakukan apa-apa”
Rahayu bungkam,  terkejut mendengar apa yang dikatakan Aby, oh jadi perempuan itu sama sekali belum mengadu kepada Aby perihal kedatangannya beberapa hari yang lalu. Rahayu menyadari dalam hati sebenarnya ia merasa kasihan juga, walau  sedikit.  Bila saja dia yang diposisi Syifa, tentu kenyataan yang baru saja dialaminya, akan  terasa sangat pahit. Tapi salah sendiri, begitu  banyak lelaki di atas dunia,  kok yang kelihatan justru suami orang. Lelaki  yang sudah memiliki anak dan istri. Dasar wanita tak punya hati nurani, umpatnya gondok.
Aby mengambil konci mobilnya yang tergeletak di meja, Rayahu kaget melihat suaminya hendak pergi. Tidak biasanya Aby pergi meninggalkan,  ketika mereka terlibat pertengkaran.
“Aby mau kemana?”
“Menenangkan hati”
“Apakah akan hilang dengan begitu”
“Kamu pikir dengan tetap di sini, aku akan nyaman?”
“Apakah aku benar-benar telah hilang dari hati Aby”
“Bukan soal hilang atau tidak Yu, tapi kali ini kamu betul-betul keterlaluan”
“Keterlaluan? Mempertahankan suami sendiri Aby bilang keterlaluan?”
“Kamu mengijinkan aku menikah kembali. Tapi kemudian kamu jadi Tuhan bagi dirimu sendiri, sehingga merasa benar saja untuk memutuskan semua hal yang kamu anggap baik”
“Aku tidak pernah memberi ijin”
“Tapi kamu membiarkan dan memberi kesempatan”
“Tidak aku beripun Aby tetap akan melakukan”
“Ya, sama seperti kamu yang bertahun-tahun mengebiri eksistensi aku sebagai suami”
“Itu tidak  benar”
“Selama ini, aku selalu tak berkutik di ujung kata “Tidak” yang selalu kau lontarkan. Bertahun-tahun aku merasa ditolak..!!!”
“Aku tidak menolak, aku cuma cape”
“Cape?”
“Kamu pikir gampang menjadi istri yang bekerja dan memiliki anak-anak balita”
“Tidak, tapi cuma kamu yang menelantarkan aku.  Semua wanita bekerja dan suaminya tetap terlihat bahagia”
“Kamu pikir aku hanya berpura-pura letih?”
“Tidak, tapi aku melihat kamu terlalu merasa paling letih, paling cape, paling bertanggungjawab dan paling berkompeten di rumah ini”
“Kalau salah mengapa selama ini Aby cuma diam?”
“Karena aku malas berdebat, dinasehati kamu selalu membantah”
“Kenapa Aby tidak marah?”
“Karena aku sayang, aku diam karena aku ingin kamu berfikir. Tapi kamu mengartikannya lain. Kamu fikir aku bisa diatur sesuai dengan maumu”
“Apa salah mengatur suami dan rumah tanggaku sendiri?”
“Mengatur yang disepakati tidak. Tapi mengatur sesuai dengan keinginan dan ego sendiri Jelas Salah”
“Semua yang aku lakukan buat kebaikan”
“Ya, sayangnya  itu hanya baik buat dirimu sendiri”
“Kau menyalahkan aku karena sudah memiliki yang lain”
“Aku tidak menyalahkan, aku hanya ingin mengingatkan bahwa yang kamu lakukan salah”
“O…aku tahu, setelah Aby  punya dia,  perempuan iblis itu, aku  jadi tidak berharga lagi”
“Maaf kalau boleh membandingkan”
“Apa”
“Syifa memang jauh lebih mengerti, cara melayani dan menjaga hati suami”
“Karena dia perempuan murahan”
“Karena dia perempuan berhati mulia. Kalau bukan karena dia, aku sudah meninggalkanmu Rahayu. Tapi dia hanya ingin menjadi  istri kedua saja. Dia tidak mau menyakiti kamu”
“O…jadi wanita sundal itupun, mau merebutmu dari anak2”
“Tidak dia menyayangi anak-anak”
Rahayu gemetar, terdiam. Air matanya sudah hendak bobol dari pertahanan. Bibir wanita itu terlihat gemetar menahan marah yang sampai ke ubun-ubun. Aby melihat kalau Rahayu memang sangat terluka, tapi kali ini istrinya sudah sangat keterlaluan sudah saatnya untuk beri pelajaran Tiba-tiba Aby kehilangan rasa sayangnya pada wanita ini. Ya Allah ada apa dengan diriku. Mengapa istri dan ibu dari anak-anak serta wanita yang bertahun-tahun menjaga mata, hati serta perut hamba ini terasa jadi asing dan tidak dikenalnya lagi.
“Jangan berteriak lagi Yu,  aku tidak ingin anak-anak tahu kita bertengkar”
“Aku tidak pembohong seperti papanya”
“Apa maksudmu”
“Biar saja anak-anak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi”
Aby, mengigit kuat gerahamnya, hampir tak kuasa menahan murka dihati.
“Dasar wanita keras kepala”
Lelaki itu menyambar kunci mobil, dan tak berapa lama Rahayu mendengar suara mobil keluar halaman dengan bunyi yang keras, dan kecepatan tinggi. Dalam sekejap suara berdecit-decit itu, hilang dari pendengaran. Rahayu tercenung.  Hatinya hitam dan gelap oleh cemburu dan amarah, merasa dilecehkan oleh suaminya sendiri. Berkali-kali dia mengumpat, mengutuk kehadiran Syifa dihati Aby. Tangisnya tak dapat dibendung lagi, Rahayu merasa sudah tak kuat. Tiba-tiba keteguhan hatinya pecah berderai, jatuh berkeping-keping. Yang tertinggal hanya serpihan rasa sesal. Penyesalan yang dalam. Seharusnya aku tidak menikahi Aby. Seharusnya aku tidak memiliki anak-anak dari lelaki ini. Karenanya banyak hal yang menyakitkan telah kualamai. Kandungan yang bermasalah. Pendarahan yang terus menerus. Semua sangat menyakitkan dan membuat trauma. Selama ini difikirnya Aby mengerti dan paham dengan kondisi itu. Tapi ketika dia sadar semua itu tidak seperti yang difikirkannya. Rahayu merasa dia terlalu sia-sia memberikan hidup dan kehidupannya kepada lelaki yang bernama Abimayu. Perempuan itu tersedu-sedu dengan  luka hati yang dalam.


Bila hati begitu sakit,  kemarahan kemudian menutup mata  dari semua kebaikan. Yang ada malah angkara murka jadi sibuk mencari kambing hitam, dan repot memberi pembenaran, untuk membela kepentingan diri, demi membelai jiwa yang terluka memperturutkan galau dihati, hingga  kesalahan terkemas dan berwujud seperti sebuah pengorbanan. BIla hati telah membatu, maka sulitlah menerima semua pikiran baik. Jalan menjadi buntu ketika kesimpulan kemudian diambil. Rahayu  mengusap air matanya dengan kasar.
“Aku tidak akan menyerah Syifa, tempatmu bukan diantara kami. Aku akan melakukan apapun yang bisa aku lakukan untuk mencegah engkau dan anakmu mengganggu ketentraman keluargaku” Murka Rahayu tidak memberi jalan terhadap kebenaran. Duka Rahayu, membuatnya kejam pada keadaan.

Tidak ada yang berubah, Aby tetap bekerja sebagaimana biasanya, begitupun Rahayu.  Sungguh keadaan yang “baik-baik” saja. Tapi siapa yang tahu perasaan diantara mereka berdua. Rahayu merasakan jarak itu kembali ada bahkan kian lebar, Aby terlihat lebih murung. Lelaki itu hanya tertawa ketika anak-anak mereka bersenda gurau saja. Selebihnya Aby menenggelamkan diri dengan kesibukan mengurus room “Aksara Di ujung Pena Pujangga”.  Untuk sementara Rahayu tidak menuntut lebih dari itu. Aby ada diantara mereka dan tidak lari kepelukan perempuan itu saja sudah cukup baik, setidak-tidaknya buat Laysa, Vierna dan Riffo.

Maafkan aku Rahayu, Aby menatap wajah istrinya yang pulas di samping Laysa. Hari ini ia memutuskan untuk menyusul Syifa, selain rasa rindunya pada Abyla kecil, yang beberapa waktu  ini ditahannya, lelaki itu juga bertekad ingin mengurai semua kekusutan dalam rumahtangganya. Mengakhiri semua kemelut yang ada.

Kemaren Aby sudah bercerita panjang lebar dengan Cakra kakaknya. Awalnya lelaki itu sangat kaget mengetahui kalau Aby sudah menikah lagi. Tapi setelah mendengar semua penjelasan adiknya, lelaki itu mencoba memahami, bahwa hidup terkadang memang tidak bisa dan tak sanggup dikendalikan jalan dan alur ceritanya.
“Mas kecewa padamu By, terus terang hampir dua tahun kamu menyimpan sesuatu yang Mas tidak pernah tahu”
Aby mengikuti kepulan rokok yang mengangkasa hampir mencapai langit-langit  ruangan enam kali tujuh meter, yang ada dia dan kakaknya itu. Ruang ini adalah tempat dimana Mas Cakra selalu bermunajad kepada Sang Khalik.
“Saya sebenarnya tidak pernah berkeinginan menyakiti hati Rahayu dan anak-anak mas. Hanya kalau kemudian saya khilaf.  Sangat  kejam rasanya bila mengelak dari tanggung jawab dan konsekuensi dari kesalahan itu. Abyla adalah anak kandung saya”
“Ya, mas mengerti. Cuma sayang kamu terlalu gegabah”
“Maksud mas?”
“Kamu tidak memikirkan ketika Syifa masuk dalam kehidupanmu, sama sekali tidak mudah baginya”
“Mm”
“Aku sendiri saja, belum tentu suka dengan perempuan itu. Istriku,  anak-anakku. Belum lagi istrimu, anak-anakmu, saudara istrimu, bahkan lingkunganmu. Kamu membuat keadaan menjadi rumit”
“Betul mas. Saya khilaf karena Rahayu selama ini terlalu memandang sebelah mata pada saya”
“Ya itu juga salah istrimu. Tapi jangan girang dulu. Tetap menjadi tanggung jawabmu, kegagalanmu dalam merubah perilaku istri juga sangat berperan. Kenapa kamu tidak bisa mengendalikan istri sendiri”
“Sudah sering saya bilang ke Rahayu, bahwa menjadi wanita muslimah itu sangatlah sederhana. Ingin mengecap Syurga Jannatullah itu amatlah mudah.  Bagi seorang wanita, hanya butuh modal sedikit.  Patuhlah pada suami dan semua keinginannya. Tapi Rahayu tidak semudah itu menerimanya.  Apa lagi melaksanakannya. Dia terlalu keras hati”
“Adakah terbersit di hatimu ingin menceraikan Rahayu?”
“Tidak mas, walaupun Rahayu keras pada saya, sesungguhnya dia juga susah untuk memaafkan dirinya sendiri. Saya tahu Rahayu sayang pada saya dan pada anak-anak. Cuma Rahayu terlalu sempit memaknai rasa sayang dan setia serta bagaimana mencintai”
“Hmm, aku tidak menyangka kehidupanmu jadi rumit begini ”
“Jadi kamu bermaksud menyusulnya?”
“Betul mas”
“Kapan rencananya?”
“Besok pagi “
“Apa Rahayu sudah tahu?”
“Belum”
“Apa sebaiknya tidak berumbuk dulu dengan istrimu?”
“Rahayu masih dikuasai amarah Mas, susah untuk diajak bicara”
“Hm”
“Kamu benar-benar dalam masalah”
“Aku mau melaksanakan tahajjud “
“Ya duluan saja, aku habiskan dulu rokok ini”
Sejurus kemudian, suasana menjadi hening. Hanya suara jangkrik dikejauhan menandai bahwa hari memang telah larut. Abi beranjak, menuju tempat udhu, mengulangi udhunya kembali dan menegakkan Tahhajud. Setelah menyelesaikan rakaat terakhir,  lelaki itu khusuk berdoa, karena buat masalahnya yang rumit ini memang hanya Allah  satu-satunya tempat  dia mengharapkan pertolongan. Hanya Allah yang ia harapkan dapat mempermudah yang sulit. Mengabulkan segala doa, dan memberi jalan.

Ya Allah...
Demi melihat kelakuan hamba, hamba sendiri tidak mengasihi dan menyayangi diri hamba. Hamba masih berjalan dalam kegelapan, masih membiarkan hati nan kotor yang memimpin kehidupan, hamba biarkan kezaliman menghiasi diri. Hamba masih memudahkan lisan berbohong. Lalu, bagaimana mungkin hamba bisa mengasihi dan menyayangi yang lainnya, sebagaimana seharusnya rasa sayang yang Engkau kehendaki dan Engkau ridhoi.

Mudahkanlah ya Allah bagi hamba untuk bertobat, dan menyelesaikan semua masalah serta kepelikan hidup yang kini ada di depan mata hamba, di tengah-tengah kehidupan keluarga hamba.  Tetapkanlah keistiqamahan dalam diri hamba, istri-istri hamba, anak-anak hamba, dan biarkan pintu harapan senantiasa terbuka untuk hamba berserta keluarga hamba serta  segenap orang-orang yang Engkau perkenankan, untuk masuk dan mengecap keindahannya.

Engkau yang Maha Kuat berfirman, lewat Nabiyallah Muhammad Rasul-Mu, bahwa siapa saja yang ingin diringankan penderitaannya, hendaknya ia ringankan penderitaan sesama. Siapa saja yang ingin diangkat kesusahannya, angkatlah kesusahan sesama. Dan bahwa siapa saja yang menginginkan pertolongan-Mu, hendaknya ia menolong sesama.  

Oleh karenanya ya Rabb, berilah kekuatan pada diri hamba untuk bisa memperhatikan dan memperdulikan sesama. Karena hamba tahu, jalan keselamatan, untuk orang-orang seperti hamba yang bermandikan dosa dan berpakaian maksiat, adalah dengan banyak-banyak menolong sesama dan banyak-banyak meringankan penderitaan sesamanya. 


Ketika Aby selesai, dilihatnya Cakra kakaknya masih sujud. Lelaki itu melipat sajadah dan menyampirkannya kembali.  Saat hendak kembali duduk, Aby melihat kakak iparnya masuk.
“Mbak fikir kamu sudah pulang By”
“Belum mbak”
“Jadi kamu sekarang bermaksud menyusul Syifa?”
“Iya”
“Maaf, Mbak  masih sungkan menyebutnya istrimu”
“Tidak apa-apa mbak”
“Bertanggung jawab pada apa yang telah kamu lakukan, memang wajib sifatnya. Apalagi kamu sudah memiliki Abyla. Nantilah aku coba   bicara dengan Rahayu, sebagai sesama wanita”
“Makasih mbak,  maaf sudah merepotkan”
“Itulah gunanya saudara”
“Iya mbakyu”
“Kalau Rahayu dan Syifa memang sudah menjadi jodohmu, tumbuhkanlah cintamu pada mereka, dan jangan berat kepada salah satunya”
“Ya mbakyu”

Malam itu  Aby tidak pulang. Dia memilih tidur di rumah Kakaknya. Mencoba memikirkan semua yang telah terjadi. Bahwa bila kemudian manusia  keluar dari kaidah, maka kacaulah semua langkah.  Lelaki itu sadar dia telah melenceng dari koridor yang seharusnya. Tapi langkahnya tidak akan surut, dia ingin mempertahankan keutuhan kedua rumah tangganya. Ingin menyatukan istri dan anak-anaknya. Tapi terus terang sampai saat ini, masih banyak aral dan kendala, bahkan dalam dirinya sendiri. Seperti tadi saja, saat berterus terang kepada Mas Cakra dan Mbakyu Lastri.  Ada rasa malu serta bersalah berlebihan. Mengakui bahwa dia sudah beristri kembali, dan memiliki buah hati dengan cara seperti itu. Tapi mendustai cerita dan kenyataan yang sebenarnya, juga malah membuat jalan keluar tidak akan pernah ia dapatkan.

Belum lagi membayangkan  kembali kejadian tiga hari yang lalu, ketika Aby juga mengakui kesalahannya di depan orang tua Rahayu. Aby tak kuasa melihat airmata yang mengalir di pipi ibu mertuanya. Terlihat wanita  itu berusaha menahan perasaan, yang Aby tidak bisa dan sukar untuk melukiskannya.
“Kami menghargai kejujuran nak Aby, tapi rasa terkejut dan sakit hati melihat kenyataan bahwa nak Aby menyia-nyiakan kepercayaan Rahayu. Terus terang berat untuk mencernanya. Hati tua saya belum bisa menerimanya nak Aby”
Pak Suko, memandang wajah suram menantunya dengan air muka yang tak kalah muram. Aby tertunduk dalam, menekuri lantai dari ubin taraso abu-abu di bawah kakinya.
“Apalagi ibu nak Aby. Membayangkan Rahayu, anak ibu satu-satunya, sekarang  mengalami masalah seberat ini, sungguh membuat hati ngilu”
“ Laaaa.. kok ya nak Aby tidak berfikir panjang dulu to?”
Timpal Ibu mertuanya. 
“Maafkan kekhilafan saya bu”
“Lalu, apa Rahayu setuju waktu kamu mau menikah kembali?”
“Waktu itu  istri saya hanya mengatakan,  kalau dilarangpun saya akan tetap melakukannya”
“Jadi anakku tidak mengijinkan, dan nak Aby tetap menikah?”
“Aku tidak pasti, Rahayu mengijinkan atau tidak pak, karena Rahayu kemudian cuma bilang. Lakukan saja apa yang sudah menjadi janji saya pada Syifa”
“O…jadi nama perempuan itu Syifa?”
“ Benar Pak”
“Saya tidak mau berbuat zholim kepada putri saya Abyla, atas semua  kesalahan yang saya lakukan dengan ibunya”
“Ya, bapak mencoba untuk mengerti jalan pikiranmu. Walaupun sebenarnya sangat sulit. Karena yang kini kamu sakiti itu adalah perasaan putriku sendiri”
“Betul pak, maafkan saya”
“Permintaan ibu padamu, apapun keinginan Rahayu, tolong kamu penuhi nak Aby”
“Itulah masalahnya bu, sekarang Rahayu justru ingin Syifa pergi dari kehidupan kami”
“Ya seharusnya memang begitu”
 Suara ibu mertuanya ngambang,  Aby bergidik mendengarnya. Oh Tuhan Illahi Rabbi,  ternyata memang hamba telah melakukan kesalahan besar, dan menyakiti banyak hati serta perasaan.
“Lalu apa keinginanmu setelah ini?” Bapak mertuanya sekarang yang bicara
“Aku ingin menyatukan keluargaku pak, walaupun belum tahu caranya. Makanya aku kesini, datang dan mengakui semua kesalahan ini”
“Kami memaafkan kesalahanmu nak Aby, tapi permintaan bapak dan ibu tolong jangan bawa istri mudamu dan anaknya kesini ya. Terus terang Bapak dan Ibu belum siap”

Aby gemetar karena malu hati, dia malu sekali atas kelegowoan sikap yang diperlihatkan mertuanya. Ketegasan dan penolakan mereka atas kehadiran Syifa dan Abyla sangat dimengerti Aby, tapi tak bisa dipungkiri,  Aby sedih telah menciptakan penderitaan panjang pada kehidupan kedua bidadari hatinya itu.  Di masa depan kehidupan mereka.
“Apakah benar tidak ada kebahagiaan dan kemulyaan bagi cinta kedua?”

Ketika pesawat mengangkasa, kata-kata itu selalu melintas-lintas dihati dan pikiran Abimayu.
“Kami memaafkan kesalahanmu nak Aby, tapi permintaan bapak dan ibu,  tolong jangan bawa istri mudamu dan anaknya kesini ya. Terus terang Bapak dan Ibu belum siap”

                                                                        *****


Kesibukannya kembali mengurus Sanggar, sedikit banyak mampu mengalihkan perhatian Syifa pada masalah yang sedang dihadapinya, sebelum ke sanggar, Syifa terlebih dahulu mengantarkan  Abyla sekolah. Rutinitas dan kesibukan memang hal yang paling mungkin  untuk menyelamatkannya sekarang. Syifa tidak ingin terpuruk dua kali. Melamun, bersedih dan menangisi penderitaan, tidak berguna sama sekali. Tidak seperti saat pertama kali penderitaan menghampiri hidupnya. Kala itu Syifa memang sangat terguncang dan tidak siap. Sehingga logikanya sama sekali tidak berfungsi. Tapi ketika penderitaan itu datang untuk kedua kalinya, walau dengan wujud yang berbeda. Ternyata hati perempuan itu lebih siap menerima.

Tubuh Syifa masih terlihat kurus dari biasanya, itulah yang kelihatan dimata setiap orang yang pernah mengenalnya. Tapi wajahnya sudah tidak pasi lagi, tatapan matanyapun lebih bersemangat. Untari berkali-kali bilang kepadanya, kalau hidup sudah sedemikian bersabat dan berbaik hati pada Syifa. Apapun kondisinya,  Syifa telah memiliki hati Aby. Mimpi untuk bersatu dengan lelaki yang dicintainya itu telah menjadi kenyataan.  Terus terang ketika tahu kalau Abyla bukan anak Hans melainkan anak kandung Aby, Untari sangat sock. Tidak pernah dibayangkan kejadian seperti apa yang telah dialami Syifa, dan Untari memang tak ingin mengetahuinya lebih jauh. Untari hanya ingin membuat hati sahabat baiknya ini lebih tentram, itu saja. Bagi Untari, keberadaannya dalam masalah pribadi Syifa, bukan menjadikan dia  harus mencampuri hal-hal yang terlalu detail. Semua sudah terjadi, jadi apapun kondisinya, tak perlu saling mempertanyakan. Hanya mencari solusi dan jalan keluar saja, sehingga semuanya bisa dijalani dengan baik.

Hari yang cukup melelahkan.  Syifa menghabiskan lebih setengah hari,  berburu pernak pernih Abyla. Ada bandana dengan hiasan lucu dan warna-rana menarik. Ada tas sekolah pinky, sepatu pinky. Dan Syifa sudah membayangkan kalau Abyla bakalan senang sekali menerima semua yang dipilihkannya ini. Adalah tugas Uni Dar menjemput Abyla pulang dari sekolah. Karena untuk kembali ke rumah, sangat melelahkan bagi Syifa,  dan kesibukan pagi ini memang menguras semua energinya tapi Syifa sangat menikmatinya.

Sore sudah lembayung ketika Syifa sampai di rumah, setengah perjalanan, perempuan itu merasa perutnya mulas. Entah kenapa, saking mulasnya, Syifa bahkan merasakan pusing yang luar biasa. Ketika mobil memasuki halaman,  sungguh perempuan itu merasakan lega luar biasa, karena tidak terjadi sesuatu yang buruk diperjalanan. Turun dari mobil, Syifa bahkan tak mengenakan High Hillnya. Bertelanjang kaki, perempuan itu menuju teras rumah. Tapi ketika hendak memutar gagang pintu, tak sengaja Syifa menatap betisnya yang telah dialiri darah segar. Mata perempuan itu terbelalak, dan seketika wajahnya pusat pasi.
“Uni Dar”
Syifa memanggil dengan suara agak keras. Darni mendengar namanya dipanggil.  Ia kenal suara syifa, tapi kenapa majikannya itu memanggil dengan nada tinggi seperti itu. Tergopoh Darni meninggalkan pekerjaannya menuju pintu depan.
“Masya Allah  bu. Ibu Syifa kenapa?”
“Sepertinya aku pendarahan Uni, bantu aku masuk, aku pusing sekali”
Syifa mencoba mengatur debaran di dadanya. Ya Tuhan kenapa dia jadi teledor begini. Ternyata masalah yang datang bertubi-tubi, telah membuat perempuan itu lupa dengan keadaan dirinya.
Sudah tiga  bulan ini dia belum datang bulan sama sekali. Menyadari itu syifa,. Meminta uni Dar menghubungi Bimo dan Lisa. Supaya bisa membantunya ke rumah sakit.

Syifa masih berbaring menunggu kedatangan Bimo, sedangkan Abyla di sampingnya berbaring, matanya terlihat kuatir melihat mamanya yang tergolek lemah, tadi gadis kecil itu sempat melihat cairan merah kental yang mengalir di betis  Syifa.
“Bu di luar ada tamu”
“Bimo  ya uni?”
“Bukan bu, ambo tidak kenal “ Uni Dar bicara dalam bahasa campuran. Wanita ini selalu kesulitan berbahasa Indonesia. Logat Minangnya yang kental selalu tak bisa disembunyikan.
“Uni tanya namanya?”
“Belum, tapi katanya dari Jakarta bu”
“Suruh masuk Uni, dan jangan lupa Tanya siapa namanya ya”
“Baik bu”
 Tak berapa lama, Syifa mendengar langkah  uni Dar kembali mendekati kamarnya. Akan tetapi ketika pintu terkuak, Syifa terbelalak tak percaya, melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
“Aby?”
“Ya Tuhan Syif,  kamu kenapa?”
Aby menghambur kearah Syifa. Perempuan yang terlentang di hadapannya itu, terlihat pucat pasi, matanya berkaca-kaca. Abylapun tak kalah terkejut, dengan kemunculan Abimayu.
“Papa Aby?”
“Abyla sayang”
Aby merengkuh buah hatinya, hatinya terharu melihat keadaan kedua perempuan yang dicintainya itu. Untung aku datang, bisik hati Aby berkali-kali. rupanya rasa gelisah yang dia rasakan beberapa hari ini, memang bersebab dan beralasan.
“Kenapa Aby tahu aku ada disini?” Suara Syifa terdengar pelan dan dilumuri keheranan.
“Panjang ceritanya, tapi aku tidak ingin menceritakannya sekarang. Ayo kerumah sakit”

Tanpa pikir panjang Aby menggendong tubuh istrinya, memang bukan saatnya untuk berbicara, saat ini Syifa butuh bantuan. Syifa gemetar ketika menyadari betapa hangatnya rangkulan lengan aby di tubuhnya. Melayang di dalam gendongan suaminya sungguh membuat jiwa tentram. Tak terasa buliran air mata lepas mengalir membasahi sisi wajahnya hingga terasa dingin di dekat caping telinga sampai ke rambutnya.

Sampai di IGD, Syifa langsung mendapat pertolongan, Aby puas dengan pelayanan rumah sakit yang terlihat sangat peduli. Sehingga rasa kuatir disepanjang perjalanan tadi berkurang. Tak berapa lama kemudian, Dokter jaga mendekatinya.
“Bapak suaminya”
“Betul Dok”
“Bapak tahu kalau istri bapak hamil?”
“Hamil?” Aby terperanjat mendengar pernyataan lelaki berseragam putih di depannya.
“Istri saya hamil dok?”
‘Ya, sudah lebih tiga bulan”
“Ya Tuhan, bagaimana kondisi janinnya dokter”
“Lemah.  Maaf Pak, sepertinya istri anda mengalami tekanan bathin, sadar atau tidak itu sangat berpengaruh pada kehamilannya”
“Tapi  janinnya baik-baik saja kan Dok”
“Kami sudah membantu dengan memberi suntikan,  semoga bisa bertahan”
“Terima kasih dok”
“Sebaiknya istri anda rawat inap dulu, sampai pulih kembali”
“Baik dok”
“Kalau begitu silahkan saudara urus ke bagian  Administrasi,  permisi”
“Ya dokter, silahkan”

Bimo, menyaksikan dari jauh keluarga itu, ada rasa aneh menjalari hatinya, menyadari yang berdiri di sebelah Syifa bukan Hans,  tapi lelaki lain. Cuma ketika dia melihat bagaimana lelaki itu memperlakukan istrinya, Bimo tahu ada cinta yang begitu besar dan ada kasih sayang luar biasa buat  Syifa. Lelaki yang ada di sana itu, bukan hanya sekedar mencintai, terlihat jelas kalau dia juga memuja istrinya. Bahkan yang paling membuat Bimo bahagia adalah kenyataan kalau Abylapun terlihat nyaman, begitupun sebaliknya. Lelaki itu juga terlihat sangat mencintai Abyla. Sungguh Allah maha perkasa bila dia berkehendak.  Jadilah..!!  Maka terjadilah semua keajaiban,  yang tak bisa dicerna fikiran manusia sepintar apapun dia.

Setelah berhasil membujuk, dengan dibantu Bimo, Abyla gadis kecilnya,  bersedia kembali ke rumah. Sedangkan Aby tetap berjaga di rumah sakit.
“Yakin bapak  di sini sendiri?” Bimo menatap lekat wajah lelaki di depannya. Sambil menggendong Abyla yang sudah terlihat lelah dan mengantuk.
“Ya Pak Bimo,  terima kasih sudah membantu”
“Sudah semestinya Pak”
“Tolong jaga Abyla Pak Bimo”
“Ya, tentu saja, besok pagi saya akan ke sini lagi ”
“ Ya, hati-hati di jalan”
“Saya Pamit juga Pak” Uni Dar, ragu-ragu mengulurkan tangannya, tapi Aby menyambut dengar ramah
“Iya bu terima kasih”
Genggaman tangan  suami majikannya ini  terasa sangat bersahabat. Alangkah beruntungnya bu Syifa, menemukan suami segagah Abimayu, tidak hanya gagah, kelihatannya juga baik hati,  Darni bergumam. Tidak semua wanita seberuntung itu, aku salah satu diantaranya. Uda Zulkifli, menghilang tak tahu rimbanya. Merantau tak tahu kapan  kembalinya. Dengan dua anak yang berangkat besar, sungguh bukan beban yang ringan, bila semua dilakukan sendiri. Tapi Darni percaya Allah tidak pernah menutup mata. Pertemuannya dengan Syifa, adalah bukti bahwa Allah mendengar doanya selama ini. Syifa adalah majikan yang baik. Tak pernah memperlakukan Darni selayaknya pekerja. Darni malah merasa dia sudah jadi bagian dari keluarga wanita cantik dan baik hati itu. Tutur katanya, sikapnya ke Darni dan anak-anak sangat akrab dan bersahabat.  Abylapun juga demikian, gadis cantik berambut ikal itu  tak pernah sungkan bermain dengan anak-anaknya. Tak pernah sekalipun Darni lihat Abyla bertindak dan memperlihatkan sikap sombong,  karena dia adalah anak seorang majikan, dan anak-anaknya sendiri hanya anak seorang pembantu. Darni dibayar dengan sangat cukup oleh Syifa, begitupun anak-anaknya. Syifa tak pernah terlihat bengis, walau terkadang beberapa kali anak-anak Darni berlaku agak berlebihan  ketika makan. Tak jarang kedua anaknya bertengkar dan berebut makanan. Namun sebaik apapun majikannya,  Darni tetap menjaga jarak.  Walau Syifa berkali-kali mengajaknya,  Darni tidak mau ikut makan di meja yang sama dengan majikannya. Entah mengapa dia merasa sangat sungkan, dan keterlaluan bila melakukan hal itu.

Diruangan itu hanya tinggal mereka berdua, Aby dan syifa.  Syifa terus terang suka menatap wajah sejuk suaminya. Wajah yang selalu dirindukan dan dimimpikannya setiap saat.
“Aku rindu sayang”
“Maafkan aku By”
“Jangan banyak berfikir dulu”
“Aku mencintai Aby dan aku  bahagia Aby ada di sini,  saat aku memang membutuhkannya”
“Aku juga  gembira,   ternyata  istriku masih membutuhkan aku”
“Aku”
“Sudah aku cuma bercanda, jangan dipikirkan.  Istirahat Syifa”
“Ya”
“Aku menyesal sampai tidak menyadari  kalau  sudah tiga bulan tidak haid “
“Karena kamu terlalu sibuk”
“Ya”
“Aby baik-baik saja kan?”
“Rahayu dan anak-anak bagaimana?”
“Nanti aku cerita semuanya, aku ingin kamu istirahat ya”
Aby mengecup kening istrinya dengan lembut. Syifa tak bicara lagi, hanya tersenyum, tak ada yang bisa membohongi cinta. Tak ada yang bisa menepis indah dan nyamannya merasa dicintai. Bukan Cuma dicintai tapi juga mencintai.

Orang yang mencintai  tidak pernah bisa tahu   alasan,  kenapa ia mencintai.  Yang ia tahu,  di matanya hanya ada satu wajah, dan di  hatinya hanya tersimpan satu nama. Orang yang mencintai,  selalu bisa menerima  apa adanya, di mata- nya hanya satu yang  selalu terlihat paling cantik, paling tampan dan paling baik, dan itu adalah orang yang dicintainya, walaupun orang lain  dan dirimu sendiri merasa  biasa-biasa  saja. Jika kemudian kamu menghindarinya atau menolak kehadirannya, maka saat ia menyadari itu,  diapun dengan ikhlas mencoba  menghilang dari kehidupanmu, walaupun hal itu membunuh hatinya sendiri, mengubur impiannya akan keinginan memiliki. Baginya hidup dan kehidupan hanyalah kebahagiaanmu. Jika suatu saat kamu merindukannya dan ingin memberi kesempatan untuk kembali, maka ia akan ada dan selalu ada menunggumu,  karena ia memang tak pernah mencari yang lain. Dia selalu ada, kemaren, sekarang dan nanti. Hanya kamu yang ingin dimilikinya.



Ujung Perjalanan Cinta

Apotik ramai dengan pengunjung, padahal hari sudah menjelang sore.  Pikiran yang kacau membuat Rahayu yang tidak pernah menyerah,  sebanyak apapun pekerjaannya, jadi mengeluh.  Sudah empat hari  suaminya tidak pulang. Dia tidak diberitahu sama sekali, baru ketika wanita itu menghubungi telephone rumah Mbakyu Lastri, dia dikabari kalau Aby menyusul Syifa ke Padang. Hati perempuan itu sakit dan dongkol, menyadari suaminya  memang betul-betul berubah tidak seperti biasa lagi. Dulu dia mengenal Abimayu sebagai pribadi yang selalu mengalah terhadap kemauan istri. Abimayu adalah sosok yang tidak mudah terpancing emosi. Walau Rahayu meminta sesuatu yang sangat sulit sekalipun. Rahayu sangat yakin akan cinta dan kasih sayang suaminya kepada dia dan anak-anak. Masa itu telah berlalu, telah lewat. Aby tidak terpesona lagi padanya, cinta telah terkikis dari relung hati lelaki  itu, dan penyebabnya adalah wanita brengsek itu.
“Syifa Risfana”
Dahi Rahayu berkerut membaca nama yang tertera di resep. Kenapa jadi kebetulan sekali membaca nama yang sama, di salah satu tumpukan resep dokter yang akan  diraciknya.  Jenis  obat dupaston atau gestanon. Ini adalah jenis-jenis obat untuk mencegah keguguran. Rahayu meracik dengan cekatan, sesuai dengan dosis yang dianjurkan dokter. Setelah meramu resep yang lainpun berkali-kali matanya tak sengaja tertumbuk pada nama yang tertera dengan jelas, pada bungkus palstik berisi obat pencegah keguguran dan vitamin-vitamin lainnya itu. Semua untuk wanita hamil yang hendak mempertahankan kandungannya.

Sebesar lima belas persen  sampai empat puluh persen dari ibu hamil, dan enam puluh hingga tujuh puluh persen keguguran terjadi sebelum usia kehamilan tiga bulan.  Jumlah kejadian atau resiko keguguran akan menurun pada usia kehamilan di atas tiga bulan.  Yang disebut sebagai keguguran adalah bila janin keluar pada saat usia kehamilan belum mencapai dua puluh  minggu, sedangkan kematian janin terjadi pada saat janin sudah berumur lebih dari dua puluh minggu.
“Nak Maaf bisa bantu ibu”
Rahayu tersadar dari lamunannya mendengar suara dii celah kecil kaca pembatas,  yang menghubungkan dirinya dengan pemesan obat di apotik.
“Ya bu”
“Ibu tadi pesan obat untuk wanita hamil apa sudah selesai?”
“Nomor  antrian berapa bu?”
“ Delapan nak,  atas nama Syifa Risfana”
“Oo sebentar ya bu”
Rahayu mengerutkan dahi,  Syifa Risfana? Oo….jadi Ibu tua itu, ah tidak mungkin  kalau ibu itu yang punya resep, atau Syifa anak si ibu yang wajahnya tersembul di balik celah kaca?.

Rahayu memeriksa dengan seksama sekali lagi, jenis dan dosis yang dia berikan apakah sudah sesuai dengan yang tertera di resepnya. Ketika itulah dia membaca alamat dokter yang memberikan resep. Jln. Sam Ratulangi no 17 Padang? Resep obat ini dari Padang? Apakah artinya ini benar-benar Syifa si perempuan jahanam itu? Kalau memang dia,  mau rasanya Rahayu menukar semua obat-obat ini dengan racun,  biar sekalian celaka. Tapi bila tidak?

Kalau kemarahan telah menyelimuti hati, seringkali  bisa mengakali logika dan pikiran sehat, bahkan wanita muslimah sekalipun bisa terpedaya. Rahayu cepat mengenyahkan pikiran buruk dari kepalanya, wanita keparat itu tak pantas membuat langkah hidupku menjadi buruk, bisik hati Rahayu.  Dia tak ingin perilakunya yang salah, malah akan menyengsarakan ketiga buah hatinya.
“Ada nak?”
Rahayu tersentak lagi, dan buru-buru meraih kantong plastic serta  memasukkan satu persatu obat yang dipesan.
“Ini bu”
“Makasih ya nak”
"Silahkan ke kasir ya bu"
“Uff”
Rahayu menghembuskan nafas, duduk sejanak meredakan debaran di dadanya. Pergulatan bathinnya barusan,   sungguh melegakan karena berakhir dengan baik, tak ada kesalahan. Syifa Risfana istri baru Aby atau bukan, bukan lah haknya untuk menzolimi. Bukan haknya menghakimi, masih ada Allah, yang berhak menentukan kehidupan dan kematian. Kesengsaraan juga kebahagiaan. Keberhasilan dan keterpurukan. Rahayu, tak langsung menuju rumahnya, perlahan dia melajukan motor Beat abu-abu gelap itu menuju sebuah café tak jauh dari tempatnya bekerja. Saat memasuki haltar parkir, wanita itu sudah melihat sebuah motor lain terparkir lebih dahulu. Jetmatic Yamaha keluaran terbaru, warnanyapun  masih terlihat kinclong.
“Sudah lama Mbakyu”
Lastri menagkat kepalanya dari monitor note book mungil di meja.
“Baru nyampe juga kok dek Ayu”
“Maaf agak telat mba, hari ini apotik rame”
“Enggak apa-apa,  santai saja.  Aku sudah ijin sama Mas Cakra kok, memang sengaja meluangkan waktu buat ketemu sama kamu”
“Gimana kalau Magrib dulu Mbak”
“Ayoo, biar nanti ngobrolnya jadi enak”

Rahayu, menyimak apa yang dikatakan iparnya. Lastri sengaja menguraikannya dengan bahasa yang datar tidak menggebu-gebu. Dia ingin Rahayu bisa meresapi dan memikirkan apa yang dikatakannya
“Jadi,  ibu dek Ayu sekarang di sini?”
“Bukan cuma ibu Mba, bapak Juga. Makanya aku tidak  terlalu kuatir dengan keadaan anak-anak  di rumah”
“Terkadang Allah menguji kita dengan cara dan bentuk yang tidak pernah sama. Tapi semua ujian itu Allah maksudkan hanya untuk meguji, semata-mata menguji. Tidak bermaksud menganiaya atau menyakiti. Dan bila kita lulus dalam ujian yang diberikan, akan ada kebaikan dan janji syurga sebagai imbalannya”
Rahayu membiarkan air matanya jatuh ke pipi. Lastri mengulurkan tissue kepada adik iparnya itu. Sungguh Lastri merasa iba, bila suatu saat nanti Mas Cakra juga melakukan hal yang sama, belum tentu pula Lastri sanggup menghadapinya. Diduakan adalah hal yang paling menjatuhkan harga diri dan mematikan karakter seorang istri. Akan ada perasaan tersisih, tidak layak pakai lagi, tak terlihat menarik bagi suaminya lagi. Sungguh semua hal yang terasa sangat menyiksa.
“Apakah aku harus menerima kehadiran perempuan lain dalam rumah tanggaku Mbakyu?”
“Bila itu memang sudah menjadi takdir buat hidupmu”
“Mengapa takdir jadi begitu buruk dengan kehadiran perempuan itu?”
“Karena ada celah, makanya dia bisa menyelusup masuk. Bila cinta terjalin erat dan kuat dari awal,  tidak akan mungkin berbuah ujian seberat ini”
“Aku memang salah Mbakyu. Selama ini sibuk mengasihani diriku sendiri”
“Mm”
“Aku terlalu tenggelam dengan keinginan dan kebutuhanku sendiri, dan terlalu merasa paling berkorban dalam keluarga. Aku lupa kalau suamiku juga memiliki rasa yang sama, dan keinginan yang tidak jauh berbeda”
“Bagus kalau dek Ayu  mulai menyadarinya”
“Apakah aku harus menerima kehadirannya, yang bagai duri dan siap menusuk dagingku setiap waktu?”
“Aku belum pernah mengalaminya, tapi untuk semua masalahku selain itu  iya. Aku selalu mencoba mencerna setiap problem, tidak menghindarinya. Tidak pula mencoba lari dari kenyataan”
“Apakah dia begitu baiknya sehingga Aby menjadi silau dan lupa akan cinta yang selama ini ada di antara kami”
“Hanya dek Rahayu yang tahu. Bila ingin menyelesaikan permasalahan ini, deh Rahayu harus jujur pada diri sendiri. Jangan membela diri dan jangan terlalu menyalahkan. Coba objektif sehingga masalah yang sebenarnya bisa mendapat solusi secara proporsional”
“Terima kasih Mbakyu sudah membuka mata hatiku yang telah tertutup selama ini”
“Aku turut mendoakan yang terbaik buat masalah yang menimpamu dek”
“Aku berterima kasih  Karena Allah telah memberikan aku keluarga yang peduli dengan diriku, penderitaan dan permasalahan yang sedang aku hadapi”
“Aku menyayangi dek Rahayu sudah seperti adekku sendiri”
“Rahayu tak kuasa membendung tangisannya, rengkuhan dan belaian tangan Lastri di kepalanya,  begitu menyejukkan hati.
“Mbakyu lastri, walau aku sudah menemukan buhul dan jalan keluarnya, kenapa tetap saja hatiku merasa begitu sedih dan tersisih”
“Itu sangat alamiah Yu, berdoa selalu padaNya, mohon diberi kekuatan hati. Keikhlasan menjalani. Dan Semoga Aby selalu adil pada semuanya”

Langit di atas atap rumbia Café telah gelap pekat. Rahayu menelusuri sepanjang jalan protokol di kota Banten yang panas, menuju rumahnya, dimana ketiga buah hatinya telah menunggu mungkin dengan hati  penuh rasa rindu dan gelisah. Karena sampai semalam ini,  mama mereka belum juga kembali.


                                                            ******

Kehamilan Syifa tidak bisa dipertahankan, walau sudah mendapat perawatan selama satu minggu. Aby dengan sabar menunggu proses pembersihan kandungan istrinya. Hatinya diliputi rasa sesal. Begitu banyak kesedihan yang berseliweran dalam kehidupan Syifa. Sehingga berakibat fatal bagi janinnya. Anakku bisik Aby.
“Nak Aby kenapa melamun?”
Ibu Halimah mendekati menantunya  yang terlihat kusut,  wajahnyapun  terlihat tidak segar.
“Saya bersalah untuk keadaan ini bu”
“Tidak By, ini semua kehendakNya”
“Oh, Ibu. Seandainya semua umat selalu tahu apa yang terjadi adalah takdir dan kehendak dariNya”
“Jangan terlalu menyesali diri, tidak baik”
“Betul Mas Aby. Apapun yang kita alami di dunia ini adalah atas kehendak Allah”
Aby mencoba tersenyum, melihat kedatangan Risma
“Suamimu mana Ris?”
“Tuh,  mas Andre sedang bermain dengan Abyla di kamar mba Syifa”

Tiga hari setelahnya Syifa diperkenankan pulang. Ibu Halimah dan Risma serta Andre kembali ke Jakarta. Karena memang Syifa hanya butuh memulihkan kesehatan saja. Masa kritisnya telah berlalu. Tidak ada lagi yang begitu ingin dipertahankan, Allah berbuat sekehendak hatinya. Bila kemudian pesawat yang membawa keluarganya kembali ke Jakarta, Syifa hanya memandang saja dengan bibir terkatup diam dan tidak tersenyum.

Aby menyentuh pundak istrinya perlahan, Syifa menoleh dan menerima handphone milik suaminya denga wajah penuh tanda tanya
“Buat aku?”
“Ya”
“Dari siapa”
“Jawab aja”
Syifa angkat bahu,  dan mendekatkan  handphone Aby ketelinganya.
“Halo?”
“Selamat sore Syif”
“Sore.  Ini dengan siapa?”
“Aku Rahayu”
 Syifa tiba-tiba gemetar,  mendengar nama itu. Apakah ini saatnya Aby harus pergi?  Dari dinyatakan dokter bahwa  dirinya tidak mungkin bisa mempertahankan janin,  yang dia sendiripun tak sadar akan kehadirannya itu.  Syifa sudah terbiasa berpasrah diri. Tawakal saja dengan yang terjadi. Syifa hanya ingin mengalir mengikuti jalan takdir. Jadi, kalaupun Aby memang harus terengut dari sisinya,  sudah tidak masalah. Tempat Aby memang bukan di sini,  Aby sudah terlebih dahulu punya Rahayu dan anak-anaknya.
“Bu Rahayu, tidak usah mengatakan apapun padaku. Aku sudah mengerti, semua yang ibu inginkan”
Aby mengerutkan dahi mendengar kata-kata Syifa, kenapa arah pembicaraan jadi lain?.
“Dengarkan aku dulu Syif”
Syifa mendengar suara Rahayu di seberang,  jelas sekali terdengar di telinganya.
“Aku sudah bilang bu Rahayu. Aku sedang tidak ingin mendengar apa-apa dari ibu. Tidak selamanya. Kalau kemaren aku pergi tanpa memberitahu suamiku. Sekarang aku akan pergi dengan berpamitan terlebih dahulu padanya. Tapi maaf, aku sudah tidak sanggup lagi dititipi  kata-kata yang sarat caci maki dari mulut ibu”
“Syifa dengar dulu”
Suara Rahayu terdengar setengah berteriak, tapi Syifa sudah tidak peduli. Kepalanya berdenyut, jantungnya berdebar. Dia tidak menyalahkan Aby yang telah menyerahkan Handphone ini padanya, karena suaminya memang tidak pernah tahu,  kalau Rahayu  pernah mendatanginya dengan permintaan yang sulit ditolak. Syifa tidak memberi kesempatan pada rahayu, yang lapat-lapat masih meneriakkan namanya. Syifa mematikan handphone di tangannya.
“Syifa kenapa?”
“Tidak ada yang perlu difikirkan Aby”
“Rahayu bilang apa?”
“Aku tidak tahu” Syifa merasakan kepalanya berputar, dan tubuhnya lemas. Handphone di tangan perempuan itu lepas dan jatuh di lantai keramik, hingga tutup baterainya terlepas. Dan Syifapun terkulai. Aby terbelalak menyaksikan pemandangan yang tak terduga dan sangat tiba-tiba di depan matanya. Untung saja  lelaki itu masih sempat meraih tubuh istrinya yang sudah tak berdaya. Abyla menangis melihat mamanya kembali tergeletak lemah  di atas tempat tidur.
“Mama Abyl, kenapa lagi pa?”
“Mama pusing sayang, Abyla jangan nangis dong. Papa sayang sama Abyl dan mama, papa enggak  akan biarkan kalian menderita lagi”
“Mama Abyl kenapa sakit terus  pa”
“Mama  cuma pusing sayang, sebentar lagi mama akan siuman kembali”
“Abyla enggak mau mama pergi, kayak papa”
Gadis kecilnya mulai tersedu, sungguh Aby tidak tahan melihat kesedihan selalu akrab dengan kedua wanita yang dicintainya ini. Tuhan mohon hentikan segala penderitaan ini, sungguh aku sebagi umatMu, tak berdaya dengan segala cobaan dan ujian ini tanpa pertolongan dan bantuanMu untuk bisa melaluinya. Tadi Rahayu bilang padanya, kalau dia ikhlas menerima kehadiran Syifa. Namun kenapa kemudian Syifa bereaksi seperti itui? Apakah Rahayu mengingkari janjinya pada Aby? Apa tadiitu,  hanya siasat Rahayu saja, supaya dapat berkomunikasi dengan Syifa semata.

Aby semakin kehilangan rasa sayangnya pada Rahayu. Mengapa hati Aby, kemudian mengenali  Rahayu hanyalah sebagai sosok wanita yang pernah melahirkan anak-anak semata. Rahayu sudah lama bukan lagi kekasihnya, bukan teman dan sahabat jiwanya. Rahayu terlalu senang menyakiti. Terlalu angkuh dan merasa kebenaran itu hanya ada di genggamannya. Aby tidak pernah benar di mata Rahayu, Aby lelah dipandang sebelah mata dan diperlalukan tak adil oleh wanita yang selama ini disebutnya istri. Apapun yang Aby lakukan selalu salah di mata Rahayu, dia ingin begini Rahayu malah sebaliknya. Semua hal bisa memicu pertengkaran mereka, ya susunan perabotan, menu masakan, tingkah polah anak-anak. Semua bisa membuat Rahayu berteriak dan ngomel panjang lebar, penuh kata-kata ancaman, ultimatum dan aturan-aturan yang dibuatnya sekehendak hati.
“Aku tidak menyangka kamu tega Yu”
“Aku salah apa?”
“Berlagak pilon  kamu Yu, puas kamu?   Syifa sampai dibuat  pingsan seperti ini?  Dia baru saja keguguran Yu,  dan kamu malah tega menyakiti hatinya. Kamu betul betul terlalu Yu”
“Aku tidak bicara apa-apa By, sumpah. Dia saja yang kemudian  tidak memberi aku kesempatan bicara”
“Hmmm, entahlah Yu,  aku tahu seperti apa kamu memandang dan menilai Syifa selama ini. Terus terang aku tidak terlalu percaya kamu tidak mengatakan apa-apa”
“Kamu lebih percaya dia ketimbang aku By”
“Dia tidak mengatakan apa-apa Rahayu, Syifa tidak pernah sekalipun berkata dan memberi penilaian tentang kamu, dulu dan kini, tetap  tidak pernah. Jadi jangan berprasangka lagi. Dia terlanjur pingsan  duluan, mendengar apa yang kamu ucapkan padanya”
“Demi Tuhan Aby, aku belum mengatakan apa-apa”
“Sebaiknya tidak membawa-bawa nama Tuhan Yu”
“Aby, bagaimana lagi cara untuk meyakinkanmu,  aku tidak berkata apa-apa. Jangan salahkan aku kalau Syifa sampai...”
Aby tidak berminat mendengar penjelasan Rahay, terlalu membuat pening. Lelaki itu mematikan Telephone genggamnya.

Tiba-tiba,  Aby merasa sangat benci dan muak mendengar suara itu,  lagu bahasanya maupun  semua umpatan  serta caci maki,  bahkan  tuduhan-tuduhan yang selalu menyalahkan orang lain.  Sedangkan hatinya buta dengan kesalahan dan khilafnya sendiri. Rahayu mengaku tidak berkata apa-apa. Padahal Aby sendiri pernah mendengarkan betapa buruknya umpatan yang dilontarkan Rahayu buat Syifa. Sama sekali tidak bisa diajak kompromi, berapi-api,  bagai lahar Merapi, menghantam semua yang dilewatinya tanpa aampun.

Ketika Syifa siuman,  Aby menggengam jemarinya. Tapi Syifa  menutup mulut Aby dengan jari-jarinya yang kecil dan langsing, saat suaminya itu hendak bicara.
“Jangan jelaskan apapun padaku By”
“Maafkan Rahayu Syif”
Syifa tersenyum. Ia membalas genggaman kuat Aby dengan kekuatan yang sama. Sungguh nyaman bergenggamam tangan dengan suaminya ini. Semua keruwetan, semua penderitaan, terasa  lumer  menguap entah kemana. Sayang.... tidak pernah ada tempat buat wanita kedua. Tidak ada yang ideal bagi yang datangnya belakangan.
“Aby” Suara Syifa lirih
“Ya sayang”
“Aku minta sesuatu boleh?”
“Tentu sayangku”
“Kembalilah ke Jakarta, dan jangan kembali lagi ke sini”
“Apa?”
“Aku tidak ingin Aby sulit memilih. Aku ikhlas, karena memang Rahayulah yang pantas buat Aby”
“Aku mecintaimu dan Abyla, kalian berdua adalah permata hatiku”
“Ya, tetaplah menganggap aku dan Abyla seperti itu. Kalau memang begitu adanya”
“Selamanya Syif”
“Iya, selamanya. Tapi ijinkan aku tetap pada keputusanku semula By”
“Apa maksudmu?”
“Rahayu dan anak-anak pasti akan terasa sangat sakit kehilanganmu. Akupun  juga belum tentu bisa diterima oleh keluargamu. Banyak hal menyakitkan akan terjadi setelah ini,  dalam rumah tangga Aby. Sedangkan aku dan Abyla,  kami adalah Ibu dan anak yang memang sudah tidak memiliki sandaran hati. Papa Abyla sudah meninggal begitu pula suamiku. Kami sudah melalui masa sulit itu,  dan kini saatnya bangkit”
“Kamu ngaco ya. Kamu tahu kan Abyla itu darah dagingku?”
“Iya secara biologis, tapi secara kertas dan Tata Aturan Negara tidak”
“Aku tidak ada urusan dengan Tata Aturan Negara, dimata Tuhan Abyla adalah anak kandungku. Darah dagingku”
“Tidak ada yang ingin mengingkarinya. Aku tidak mau berdebat denganmu By”
“Ya aku juga tidak Syif, dan jangan bicara lagi, kasihan Abyla dari tadi sedih terus, melihat mamanya sakit”
“Iya, aku sudah tidak akan sedih lagi”
“Jangan bersedih lagi ya Syif”
“Iya”
“Istirahat saja sayangku, aku selalu di sini menjagamu”
“Aby”
Suara Syifa terdengar lemah. Aby melihat wajah istrinya berubah menjadi  sangat pias. Tiba-tiba hati lelaki itu diliputi kekuatiran yang dalam. Kenapa Syifa menjadi sepucat ini.
“Kamu kenapa sayang?”
Tanya lelaki itu kuatir, Syifa masih mencoba untuk tersenyum.
“Bawa aku  ke rumah sakit”
“Tapi kenapa?” Aby bingung
“Apa yang kamu rasakan?”
“Aku pendarahan lagi”
“Apa…!!!!”
Aby menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya,  dan terperanjatlah  lelaki itu melihat begitu banyaknya darah merah pekat dan basah di bawah tubuh Syifa. Seketika lelaki itu panik.
“Uniiiiiii…!!!!”
Teriakan Aby, terdengar sampai ke halaman belakang Villa. Uni Darni  yang sedang mengajak Abyla dan kedua anaknya bermain, serta merta bergegas mendatangi.
“Ya Pak”
“Telephone ambulance cepat, ibu pendarahan hebat”
“Ba….baik Pak” Uni Darnipun gemetar menyaksikan pemandangan di depannya. Di bawah tubuh Syifa begitu banyak darah berwarna merah pekat. Tuhan selamatkan perempuan baik ini. Jangan ambil nyawanya, jangan biarkan gadis kecil yang lucu dan menggemaskan ini kehilangan ibunya, setelah dia kehilangan ayahnya. Uni Darni terbata-bata menjelaskan kemana Ambulance akan menjemput pasiennya.

Wajah Aby murung, matanya kosong, sedang rahangnya terlihat keras menahan hati. Bermacam rasa buncah di dadanya. Dua jam lebih,  belum ada tanda-tanda pintu ICU di depannya akan terbuka. Halaman rumah sakit sunyi senyap. Dengan lesu Aby menerima panggilan masuk   dari telephone genggamnya
“Assalamu’alaikum”
“Alaikumsalam,  ibu?”
“Kami sudah sampai nak Aby, alhamudlillah semua sehat-sehat saja. Gimana keadaan Syifa”
“Risma masih di sana bu?”
“Ya masih”
“Bisa  saya bicara sebentar?”
“Oh iya silahkan”
Ketika didengarnya suara Risma, Aby sudah tak kuasa menyimpan galau dan sedih hatinya lagi.
“Aby menangis?”
“Syifa Ris”
“Ada apa dengan Mba Syifa”
“Syifa pendarahan lagi, sekarang masih di ICU”
“Apa?”
Risma gemetarl mendengar apa yang dikatakan Aby, kedua lututnya terasa goyah.  Kakaknya mengalami pendarahan hebat. Bagaimana mungkin,  mereka memutuskan kembali ke Jakarta,  karena melihat kalau Syifa sudah jauh lebih baik?. Ketika berita itu disampaikan Risma pada ibu dan suaminya. Sungguh semua tidak percaya, kenapa kondisi Syifa menjadi memburuk dengan cepat. Andre tanpa pikir panjang kembali menelpon  Biro Perjalanan,  menanyakan jadwal keberangkatan  pesawat terakhir tujuan  Padang. Sedangkan Risma dan bu Halimah hanya menangis dalam doa yang tidak putus-putusnya, buat keselamatan Syifa.

Tidak ada yang tahu, apa yang dikehendaki Allah atas jalan kehidupan. Pergantian siang dan malam. Ada bintang yang gemerap di langit dan matahari yang benderang menerangi siang. Hujan yang turun ke bumi kemudian membasahi tanah mengaliri persawahan dan mengisi sungai-sungai  kosong, beriak hingga jauh menuju lautan lepas. Bumi yang berputar, Gunung-gunung yang memberi kesejukan, pantai pantai yang dipenuhi pasir landai dan hangat ketika tersentuh telapak kaki.

Satu jam kemudian, dokter keluar dan mengabari hal paling pahit, Syifa gagal bertahan, pendarahannya terlalu hebat, perempuan itu terlalu banyak kehilangan darah. Telah tiba Syifa pada akhir sebuah pengembaraan jiwa, dan batas perjalanan hati. Aby merasakan sekujur tubuhnya menggigil. Tatapannya kabur,  dengan linangan airmata. Syifa telah menghentikan pencariannya, karena telah  menemukan  cinta. Kasih sayang telah bertaut dan termiliki,  walau tetap tak utuh ketika  sampai pada hati. Kekasihnya itu kini telah menghentikan pengembaran  dan menyerah pada  pekatnya belantara kehidupan.

Selalu malam yang ditugaskan menutup hari, selalu kematian yang kemudian membuat jarak lebar terbentang. Dari sebuah Rindu anak manusia yang tak akan bersambut lagi. Aby menatap wajah pias istrinya. Air mata itu masih ada di ujung kelopak mata Syifa, butiran yang kemudian jatuh saat Aby mengangkat wajahnya.
“Mengapa engkau pergi juga meninggal aku pada akhirnya kekasihku?”
“Tidakah engkau tahu, cinta kita yang besar akan bisa menautkan segalanya, mengapa engkau bimbang? Sehingga seolah pergimu ini,  karena tidak kuat melihat semua kebaikan menjadi salah di tangan kita?”
Aby menghapus butiran airmata terakhir yang mengalir di pipi istrinya, kekasih hatinya dunia dan akhirat.
“Pergilah dulu kekasihku, jangan kemana-mana. Tunggu aku di pintu syurga. Aku akan datang ketika semua kewajibanku telah dianggap selesai oleh sang khalik. Itulah dimana kita akan bersatu kembali, dan tidak akan pernah berpisah. Tidak akan berpisah Syifa. Aku berjanji”

Semua tertunduk mengelilingi tanah pusara yang masih basah, dimana bersemayam seorang perempuan yang mereka cintai, yang akan selalu dirindukan dengan cara dan persepsi yang berbeda.  Perempuan yang menjalani tidur panjangnya itu, adalah perempuan yang telah ikhlas melepaskan cinta. Yang pergi dengan meminta restu pada suaminya, tidak lari dan meninggalkan seperti sebelumnya. Perempuan yang kini  lelap dalam pelukan bumi itu adalah kekasih, Ibu, anak, kakak, sahabat  yang selalu kaya dengan cinta dan kehangatan. Bagi Aby dan Abyla,  bagi  Risma, ibu Halimah, Andre, Untari, Bimo,  Lisa bahkan Uni Darni dan semua yang mengenalnya.

Bukit Lampu di tengah gelap malam begini, terlihat sangat unik. Bila berdiri di lerengnya yang sejuk, sepanjang tatapan mata yang terlihat hanya kerlap kerlip lampu kapal dan perahu nelayan, berpijar dengan sinar berbeda. Ada yang putih bening, ada yang kemerahan, ada yang pijarnya terang benderang, ada yang redup seperti mata penganten merindu, malu-malu ingin mengisyaratkan kalau dia ada,  dan tetap ingin dinikmati.  Dicumbui oleh balutan malam yang kian dingin, menusuk hingga ketulang. Sisi bukit gelap pekat. Tak ada lagi seorang perempuan duduk selonjoran di kursi teras depan villa, sudah dua hari Syifa pergi dan perginya tak akan pernah kembali lagi, lama Aby  tercenung. Apa yang dialaminya ini, sungguh kenyataan yang tidak tarbantahkan.  Kehidupan ke depan yang akan ia jalani,  tidak akan pernah sama lagi, tidak akan sederhana lagi. Jalan hidup memang berliku, Aby yakin dan percaya tidak  pernah lelah, untuk di lewati.  Ia yakin  akan menjalani kehidupan masa depan yang jelas, dengan pintu, dan sosok perempuan , yang terlihat siap menunggu  dirinya, untuk bersama-sama melangkah memasuki gerbang yang terang benderang.

Rahayu sangat terkejut  mengetahui berita tentang meninggalnya Syifa. Aby tidak bicara, sepatah katapun tidak, tapi Rahayu tahu suaminya itu menyalahkan dirinya atas semua keadaan yang menimpa Syifa Risfana. Tapi kali ini Rahayu tidak perlu merasa benar. Sehingga dengan lembut dia mencoba menghibur hati suaminya.
“By”
“Ya”
“Maafkan aku, untuk semua yang telah terjadi”
“Tidak perlu minta maaf Yu, semua sudah menjadi garis nasib dan takdir yang harus Syifa lalui. Aku tidak ingin membahas ini, karena aku berharap Syifa memperoleh ketenangan  di alam sana”
“Aku juga mendoakan tempat yang layak buat Syifa, aku tak pernah dendam dan sakit hati padanya By”
“Ya, syukurlah”
“Maukah Aby memaafkan aku, atas semua kesalahan aku selama ini”
“Allah saja maha pemaaf Yu. Masak aku yang cuma insan biasa tidak”
Rahayu mengambil tangan suaminya, dan membawa tangan Aby ke dahinya, kemudian mengecup punggung tangan suaminya itu dengan hati diliputi haru yang dalam.
“Beri aku kesempatan By”
“Selalu ada kesempatan Yu, karena engkau adalah ibu dari anak-anakku”
“Aku ingin hatimu”
“Hmm”
“Tidak usah Aby jawab, aku hanya ingin Aby tahu. Aku ingin merubah semuanya menjadi lebih baik. Aku ingin menjadi istri yang mengharapkan syurga dari bakti kepada suaminya”
Aby tersenyum, lama sekali dia harus menunggu kata-kata itu terucap dari mulut Rahayu. Banyak sekali pengorbanan yang harus dilakukan untuk dapat mendengarkan  kalimat itu.
“Aku akan merawat Abyla seperti anakku sendiri”
Aby tersenyum kembali. Mungkin rahayu akan berusaha buat merubah diri dan semua kebiasaannya. Tapi apakah perubahan itu bisa begitu mudahnya sebagai membalik telapak tangan? Aby tidak mau berspekulasi.
“Risma yang meminta untuk merawat Abyla Yu, biarlah seperti itu. Karena mereka sudah dekat dari dulunya. Bahkan ketika aku belum tahu  kalau Abyla adalah anakku,  Risma sudah merawatnya”
“Ya aku mengerti By”

Setiap sore, sepulang kerja Aby selalu membelokkan mobilnya ke jalanan dalam kompleks perumahan dosen yang berjejer rapi, dengan halaman ditumbuhi rumput hijau. Walaupun  tanpa pagar,  pepohonan rindang yang berjejer memayungi halaman rumah, selalu sejuk dipandang mata.  Dari kompleks itulah Aby mengambil jalan pintas menuju Perumahan Ibu mertuanya,  untuk menemui Abyla gadis kecilnya yang bermata bulat berambul ikal.  Abyla selalu rindu padanya, setiap bertemu pasti  menuntut untuk diajak berkeliling kompleks. Aby tidak pernah menolaknya. Risma yang kemudian Aby percayakan untuk mengasuh Abyla, karena meskipun Rahayu menyatakan bersedia, dan akan memperlakukan Abyla seperti anak sendiri, Aby tidak mau ambil resiko. Apalagi masih diingatnya dengan jelas, kalau orangtua Rahayupun belum bisa menerima kehadiran Abyla kecil di tengah-tengah mereka. Kehidupan memang akan terus berjalan, mampu atau tidak kita mengikuti. Hanya waktu yang bisa menjawabnya

Pasir parupuk 23 Oktober 2011
T A M A T